Wednesday 8 December 2010

Sinetron...



Suatu hari sambil bagarah saya katakan pada istri saya, saya akan mengundang ustad dan jemaah masjid di dekat rumah untuk mau datang kerumah kami besok malam seusai Shalat Isya. “Saya mau mandoa salamaik”, itu yang saya katakan pada istri saya. Ia heran bukan kepalang, lalu dengan muka wajah serius dia bertanya kepada saya, selamatan untuk apa, memangnya saya dapat proyek baru atau berhasil, atau ada keuntungan lain hingga kita perlu menggelar selamatan. Saya langsung menjawab Selamatan atas berhentinya tayang sinetron yang tiap hari ditunggu dan ditontonya.

Yah, istri saya sangat menyukai sinetron, opera sabun yang bagi saya aneh, irasional dan tentu saja mengada-ada. Kami bahkan sampai berebut remote TV kalau sudah masuk pada jam tayang sinetron itu. Saya menyukai menonton siaran berita, talkshow atau dialog, sementara istri saya hampir setiap malam tidak mau melewatkan tayangan sinetron di tv swasta kesayanganya.

Kembali ke soal sinetron, saya sungguh tidak mengerti, apa yang ada dikepala penulis skenario atau mungkin produsernya, tayang setiap hari,tapi tidak ada satupun poin dari sinetron itu yang bisa dijadikan bahan untuk dicontoh, atau tokohnya dijadikan tauladan atau apa sajalah. Cuma ya itu tadi, selalu saja penontonnya ramai, bahkan hasil poling ACNielsen (lembaga pemeringkat siaran TV) yang saban Rabu sore merilis hasil polingnya menyebutkan sinetron yang sering ditonton oleh istri saya dan orang lain itu menempati peringkat yang cukup tinggi dengan audience share yang cukup tingi.

Saya tidak hendak dan tidak akan menyebutkan judul sinetron itu, takut saya, karena pasti banyak yang akan marah. Maklumlah, survey kecil kecilan saya di sekitar rumah membuktikan bahwa 7 dari 10 ibu ibu menjadi penonton sinetron itu setiap hari dan hanya 3 yang menonton sambil tidur tiduran. Jadi, jelas saya tidak mau digebuk 7 orang ibu ibu yang amat bernafsu untuk mengantam saya dan 3 orang yang ogah ogahan tadi. Alamat sengsara saya kalau itu terjadi.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sinetron, dulu ketika TV swasta belum ada, TVRI sudah pula menyiarkan sinetron, saya ingat judulnya, “JENDELA RUMAH KITA” atau “RUMAH MASA DEPAN” tapi tidak setiap hari, hanya sekali sepekan dan ceritanya sangat bermutu. Memang ada tokoh jahat, ada pula tokoh baik hati, ada tokoh yang mengalasau se lalu ada pula tokoh yang serius.

Tapi kini dengan banyaknya TV swasta dimana hanya 2 stasiun TV yang mengklaim sebagai TV berita, maka maraklah ruang ruang keluarga kita dengan tayangan sineteron itu. Judulnya, jangan ditanya, bamacam, mulai dari yang pakai bahasa Indonesia, sampai yang sakarek ula sakarek baluik. Bahkan kalau kita akumulasikan jam per jam tayangan sinetron di televise swasta kita, mungkin lebih dari 80 persen tayangan adalah sinetron dan sisanya musik serta hanya kurang dari 10 persen yang bermuatan informasi pengetahuan.

Saya jadi ingat dengan Sinetron Rumah Masa Depan yang digarap oleh sutradara Ali Sahab. Seorang pekerja film jempolan yang mampu menghadirkan tontotan berkualitas bagi masyarakat meski hanya sekali dalam sepekan. Rumah Masa Depan, judulnya memang seperti mimpi, tapi isinya adalah kenyataan yang terjadi disekitar kita. Skenario yang membumi, tokoh yang tidak (sangat) kejam, meski jahat, namun tidak pula ada tokoh yang sangat baik meski berhati mulia.

Tapi lihatlah sinetron saat ini, peran orang jahat digambarkan sangat kejam, bahkan cenderung psikopat, lalu tokoh baiknya, digambarkan selalu teraniaya, kalah melulu dan menangis terus. Sinetron saat ini seperti mimpi, kekayaan tokohnya digambarkan sangat besar, perusahaan dimana mana tanpa dijelaskan kekayaan itu (perusahaan) berupa dan bergerak dibidang apa serta yang disajikan justru konflik perebutan harta tanpa jelas harta apa yang dijadikan obyek pertengkaran.

Saya jadi berpikir, dengan kemajuan zaman, mudahnya mengakses informasi serta ruang ruang diskusi yang kian terbuka lebar, kenapa kreatifitas kita makin rendah mutunya. Hari ini, setidaknya saya mendapatkan jawaban bahwa nafsu untuk berbuat telah mematikan urat kreatif kita dan yang tinggal hanya rutinitas kejar tayang.

Jadi kalau tidak bisa membeli mimpi menjadi orang kaya, baik hati dan pemaaf, maka buatlah sinetron sebanyak banyaknya, karena mimpi jauh lebih enak daripada bangun dan melihat kenyataan. Sakit.***

---terbit di HARIAN HALUAN Padang - edisi Minggu 5 Desember 2010---

No comments:

Post a Comment