Thursday 30 December 2010

Juara Tanpa Mahkota



Pupus sudah ambisi tim nasional untuk mendapatkan gelar bergengsi piala AFF Suzuki Cup. Setelah di partai final dipecundangi Malaysia dengan agregat 4-2. Untuk yang kesekian kalinya Indonesia harus bertekuk lutut dengan Malaysia, bukan hanya dari aspek sosio politik akan tetapi juga dari aspek olahraga. Terasa berat memang setelah melalui perjuangan yang cukup panjang sampai akhirnya Indonesia harus mampu lapang hati menerima kenyataan ini semua setelah beberapa kali edisi final selalu kandas. Tahun 2000 dan 2001 di pukul Thailand, tahun 2004 di pecundangi Singapura dan tahun 2010 di tekuk negara serumpun Malaysia. Tampak jelas sekali kekalahan Indonesia ketika bermain di Stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur. Ketika Indonesia mampu menahan Malaysia di 45 menit babak pertama walaupun di ancam dengan terror sinar laser dan petasan, namun semangat juang yang tinggi akhirnya runtuh ketika kesalahan kecil yang dilakukan oleh pemain belakang, Maman membiarkan Safee Sali dengan leluasa menguasai bola hingga akhirnya Indonesia harus tertunduk. Gol pertama itulah yang menyebabkan runtuhnya mental bertanding garuda muda hingga akhirnya gol kedua dan gol ketiga lahir dalam tempo yang cukup singkat. Pertahanan Indonesia mampu di koyak oleh terkaman Harimau Malaya. Runtuhnya mental bertanding pemain inilah yang benar-benar menjadi permasalahan sendiri ketika pada pertemuan kedua bermain di Stadion Gelora Bung Karno.


Para pengamat sudah dapat memprediksi bahwa Indonesia akan menang namun belum tentu juara. Hal senada juga di ungkapkan oleh Pelatih Alfred Riedl bahwa peluang Indonesia juara hanya 10 persen. Dengan selisih waktu hanya tiga hari dari pertandingan pertama yang menjadi pekerjaan rumah bagi Riedl adalah masalah mental yang sudah runtuh. Sebenarnya, agak sulit memang mengejar deficit 3 gol sekaligus. Namun ini adalah sepak bola sulit untuk ditebak. Kunci permainan Indonesia terletak pada 15 menit pertama di Gelora Bung Karno. Jika 15 menit pertama mampu membuat gol, kemungkinan besar Indonesia bisa menahan sampai babak perpanjangan waktu atau bahkan babak penalty. Asa itu sepat ada, namun Firman Utina yang dipercaya sebagai penendang penalty tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, arah bola bisa mudah dibaca oleh kiper. Setelah itu praktis gempuran demi gempuran yang dilakukan oleh garuda muda mentah di bawah mistar gawang Malaysia. Hingga akhirnya Maman, untuk yang kedua kalinya kehilangan bola dan peluang itu mampu dimanfaatkan oleh Safee Sali untuk memperdaya Markus Harison. Dua gol Indonesia hasil sumbangan dari Nasuha dan Ridwan seolah-olah tidak ada gunanya. Walaupun Indonesia memenangkan pertandingan, Indonesia buka juaranya.


Banyak pihak yang menyalahkan besarnya Intervensi luar terhadap tim nasional sehingga konsentrasi terpecah. Ada beberapa agenda kegiatan yang tidak penting dilakukan. Pemain harus di wawancarai oleh media, harus melayani foto dan tanda tangan dari penggemar, jamuan-jamuan yang tidak penting hingga istighosah yang melibatkan seluruh pemain tim nasional. Intervensi yang sangat besar dan kesannya tidak menjadi soal oleh Nurdin Khalid sehingga pelatih Alfred Riedl pun hanya pasrah mengikuti kemauan Nurdin. Sepak bola di intervensi terlalu besar hingga ke ranah politik. Seharusnya, begitu Indonesia masuk semifinal pemain harus tertutup dari ekspos media yang berlebihan agar tenaga dan konsentrasi serta mental lebih di fokuskan pada pertandinga. Ini pelajaran berharga buat semua. Di bawah kendali Nurdin Khalid, Indonesia belum menjadi juara. Sudahlah, tidak usah mencari siapa kambing hitam kegagalan Indonesia pada piala AFF kali ini. Bukan petasan yang disalahkan dan bukan pula sinar laser yang disalahkan, yang seharusnya disalahkan adalah diri kita sendiri tidak mampu menahan emosi dan berfikir lebih arif dan bijak dalam melihat permasalahan.

Terlepas dari itu semua, kontribusi tim nasional untuk perdamaian, solidaritas dan kekompakan bangsa Indonesia patut di puji. Football for unite benar-benar terwujud disana. Jika kesan selama ini sepak bola Indonesia penuh dengan anarkisme, melalui tim nasional ini semuanya melebur menjadi satu dari sabang sampai merauke. Indonesia menjadi bangsa yang bersatu. Patut kita apresiasi pencapaian tim nasional sejauh. Terima Kasih Indonesia, Terima Kasih Garuda Muda.

No comments:

Post a Comment