Thursday 30 December 2010

Juara Tanpa Mahkota



Pupus sudah ambisi tim nasional untuk mendapatkan gelar bergengsi piala AFF Suzuki Cup. Setelah di partai final dipecundangi Malaysia dengan agregat 4-2. Untuk yang kesekian kalinya Indonesia harus bertekuk lutut dengan Malaysia, bukan hanya dari aspek sosio politik akan tetapi juga dari aspek olahraga. Terasa berat memang setelah melalui perjuangan yang cukup panjang sampai akhirnya Indonesia harus mampu lapang hati menerima kenyataan ini semua setelah beberapa kali edisi final selalu kandas. Tahun 2000 dan 2001 di pukul Thailand, tahun 2004 di pecundangi Singapura dan tahun 2010 di tekuk negara serumpun Malaysia. Tampak jelas sekali kekalahan Indonesia ketika bermain di Stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur. Ketika Indonesia mampu menahan Malaysia di 45 menit babak pertama walaupun di ancam dengan terror sinar laser dan petasan, namun semangat juang yang tinggi akhirnya runtuh ketika kesalahan kecil yang dilakukan oleh pemain belakang, Maman membiarkan Safee Sali dengan leluasa menguasai bola hingga akhirnya Indonesia harus tertunduk. Gol pertama itulah yang menyebabkan runtuhnya mental bertanding garuda muda hingga akhirnya gol kedua dan gol ketiga lahir dalam tempo yang cukup singkat. Pertahanan Indonesia mampu di koyak oleh terkaman Harimau Malaya. Runtuhnya mental bertanding pemain inilah yang benar-benar menjadi permasalahan sendiri ketika pada pertemuan kedua bermain di Stadion Gelora Bung Karno.


Para pengamat sudah dapat memprediksi bahwa Indonesia akan menang namun belum tentu juara. Hal senada juga di ungkapkan oleh Pelatih Alfred Riedl bahwa peluang Indonesia juara hanya 10 persen. Dengan selisih waktu hanya tiga hari dari pertandingan pertama yang menjadi pekerjaan rumah bagi Riedl adalah masalah mental yang sudah runtuh. Sebenarnya, agak sulit memang mengejar deficit 3 gol sekaligus. Namun ini adalah sepak bola sulit untuk ditebak. Kunci permainan Indonesia terletak pada 15 menit pertama di Gelora Bung Karno. Jika 15 menit pertama mampu membuat gol, kemungkinan besar Indonesia bisa menahan sampai babak perpanjangan waktu atau bahkan babak penalty. Asa itu sepat ada, namun Firman Utina yang dipercaya sebagai penendang penalty tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, arah bola bisa mudah dibaca oleh kiper. Setelah itu praktis gempuran demi gempuran yang dilakukan oleh garuda muda mentah di bawah mistar gawang Malaysia. Hingga akhirnya Maman, untuk yang kedua kalinya kehilangan bola dan peluang itu mampu dimanfaatkan oleh Safee Sali untuk memperdaya Markus Harison. Dua gol Indonesia hasil sumbangan dari Nasuha dan Ridwan seolah-olah tidak ada gunanya. Walaupun Indonesia memenangkan pertandingan, Indonesia buka juaranya.


Banyak pihak yang menyalahkan besarnya Intervensi luar terhadap tim nasional sehingga konsentrasi terpecah. Ada beberapa agenda kegiatan yang tidak penting dilakukan. Pemain harus di wawancarai oleh media, harus melayani foto dan tanda tangan dari penggemar, jamuan-jamuan yang tidak penting hingga istighosah yang melibatkan seluruh pemain tim nasional. Intervensi yang sangat besar dan kesannya tidak menjadi soal oleh Nurdin Khalid sehingga pelatih Alfred Riedl pun hanya pasrah mengikuti kemauan Nurdin. Sepak bola di intervensi terlalu besar hingga ke ranah politik. Seharusnya, begitu Indonesia masuk semifinal pemain harus tertutup dari ekspos media yang berlebihan agar tenaga dan konsentrasi serta mental lebih di fokuskan pada pertandinga. Ini pelajaran berharga buat semua. Di bawah kendali Nurdin Khalid, Indonesia belum menjadi juara. Sudahlah, tidak usah mencari siapa kambing hitam kegagalan Indonesia pada piala AFF kali ini. Bukan petasan yang disalahkan dan bukan pula sinar laser yang disalahkan, yang seharusnya disalahkan adalah diri kita sendiri tidak mampu menahan emosi dan berfikir lebih arif dan bijak dalam melihat permasalahan.

Terlepas dari itu semua, kontribusi tim nasional untuk perdamaian, solidaritas dan kekompakan bangsa Indonesia patut di puji. Football for unite benar-benar terwujud disana. Jika kesan selama ini sepak bola Indonesia penuh dengan anarkisme, melalui tim nasional ini semuanya melebur menjadi satu dari sabang sampai merauke. Indonesia menjadi bangsa yang bersatu. Patut kita apresiasi pencapaian tim nasional sejauh. Terima Kasih Indonesia, Terima Kasih Garuda Muda.

Saturday 25 December 2010

Euforia yang Berlebihan


Prestasi tim nasional Indonesia memang patut untuk diberi apresiasi. Mengingat sejarah panjang sepak bola di Indonesia penuh dengan dinamika yang pasang surut. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah merasakan panggung Piala Dunia tahun 1930 yang lalu di Uruguay ketika masih bernama Hindia Belanda. Namun sejak saat itu, nama besar Indonesia tenggelam hingga medio tahun 1987 ketika menjadi jawara ASEAN untuk pertama kalinya. Naik surut prestasi itu kemudian sampai pada puncaknya ketika berturut-turut masuk final Piala AFF tahun 2000, 2002, dan 2004. Namun, ketika gelar juara selangkah lagi di genggaman tangan pupus ditekuk Thailand dan Singapura. Euforia itu kemudian membumbung tinggi ketika pencapaian Indonesia di tahun 2010 menembus hingga babak final dengan menekuk Malaysia, Laos bahkan raksasa ASEAN Thailand pada babak penyisihan dan di semifinal memukul Filipina.

Dengan naturalisasi sebagai kunci keberhasilan Indonesia pada piala AFF kali ini, ditangan Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim sebagai pemain kunci dalam tim. Seolah belum cukup dengan itu semua, bahkan PSSI sendiri memiliki rencana untuk melakukan naturalisasi Kim Kurniawan, Victor Igbonefo dan Ronald Fagundez. Menag tidak dapat dipungkiri kemampuan diatas rata-rata pemain naturalisasi menjadi kunci keberhasilan. Namun itu bukan merupakan segalanya, yang terpenting adalah kolektivitas yang membangun semangat kebersamaan dalam tim.

Jika melihat fenomena saat ini, di tayangan media cetak dan media elektronik dalam kurun waktu satu bulan ini berita yang ditayangkan sangat berlebihan. Tidak ada berita yang mampu menandingi prestasi tim nasional Indonesia saat ini, bahkan keistimewaan DIY saja pupus ditiup angin lalu. Bahkan infotainment yang biasa menyiarkan gossip ikutan memberitakan seputar prestasi tim nasional yang mengalahkan segalanya. Ada semacam penutupan isu hangat dalam politik nasional karena berita ini, masalah RUU Keistimewaan DIY, masalah IPO Kratakau Steel. Inilah yang kemudian disebut euphoria yang berlebihan. Coba bayangkan, euphoria ini mencapai titik puncak. Jika menjadi juara Piala AFF, mimpi tersebut terwujud namun jika ternyata menjadi pencundang, kalah di babak final oleh Malaysia apa yang akan terjadi? Siapkah rakyat Indonesia menerima kekalahan tersebut dengan jiwa besar? Apalagi secara politik, naik turun ketegangan hubungan Indonesia Malaysia menjadi bumbu sedap tersendiri bagi kedua pihak.

Terlepas dari pencapaian tim nasional saat ini banyak yang masih harus dibenahi hingga tuntas, masalah tiket yang semrawut, sampai masalah kesiapan Indonesia menggelar event-event skala Internasional tidak harus terpatok pada ajang piala AFF saja. Tapi kesiapan Indonesia jika suatu saat nanti masuk dalam putaran final Piala Dunia sekalipun. Pekerjaan rumah yang cukup besar agar dikemudian hari kegiatan seperti ini bisa berjalan dengan baik dan lancar. Semoga..

Piala Dunia dan Konsep Perdamaian Bangsa


Artikel ini sudah lama ditulis, namun karena sempat hilang filenya sehingga terlambat di upload. Mari kita diskusikan bersama..

Oleh : dr. Sani Rachman Soleman

Konflik yang melanda dunia yang terjadi sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu semakin memperlebar kesenjangan sosial masyarakat, baik konflik yang sifatnya horizontal maupun yang vertikal. Konflik yang masih hangat dalam ingatan kita dan terjadi sejak puluhan tahun yang lalu adalah konflik Israel Palestina. Konflik kepentingan yang dibungkus oleh konflik ideologi keagamaan telah membuat ratusan, ribuan atau bahkan jutaan rakyat Palestina mati syahid. Konflik lain yang masih hangat dalam ingatan kita adalah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan di semenanjung Korea. Korea Utara dengan paham komunismenya semakin liar memproduksi uranium untuk pengembangan senjata nuklir, siap menodongkan moncong Tae Po Dong di tanah Korea Selatan. Konflik ini diprediksikan juga sukar sekali untuk menemukan titik ideologis untuk dipersatukan. Konflik di Afrika Selatan antara ras kulit hitam dan ras kulit putih yang riak-riaknya masih berkembang sampai saat ini, walaupun Nelson Mandela sudah menghapuskan politik Apartheid dari negerinya. Disamping konflik tersebut masih banyak sekali konflik di dunia yang melibatkan rezim-rezim berkuasa anti kemapanan untuk melawan hegemoni Amerika Serikat seperti yang terjadi pada negara-negara Amerika Selatan.

Badan Dunia PBB bahkan sudah melakukan berbagai macam strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Di mulai dari cara diplomasi sampai perundingan damai dan bahkan instruksi PBB jelas, penghentian gencatan senjata. Namun semua instruksi tersebut tidak dipernah direspon dengan baik dan jika direspon semuanya sudah terlambat karena sudah ratusan atau bahkan ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban. Kecaman demi kecaman yang dilontarkan oleh negara-negara dibelahan bumi lainnya seolah-olah tidak ada gunanya. Peran dari organisasi-organisasi di dunia untuk ikut urun rembug menyelesaikan permasalahan ini seolah-olah hanya lip services belaka untuk menenangkan sesaat gejolak yang terjadi. Sebagai contoh, peran dari Liga Arab dalam proses perdamaian di Timur Tengah, apakah negara-negara Arab juga ikut tutup mata memanfaatkan konflik tersebut agar harga minyak dunia menjadi fluktuatif yang dimanfaatkan oleh segelintir orang berdasi untuk mengeruk keuntungan. Jelas dipertanyakan peran dari Liga Arab yang notabene secara teologi sama, mereka adalah negara-negara Islam seharusnya memiliki solidaritas yang kokoh antar ummat. Coba dicermati peran negara-negara OKI termasuk didalamnya Indonesia, sejauh mana kontribusi Indonesia yang mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam untuk berperan serta untuk menjaga ketertiban dunia dan berperan serta menciptakan perdamaian abadi serta keadilan sosial sesuai dengan amanat UUD 1945. Semua wacana dan konsep perdamaian yang digodog dalam meja perundingan hanya bualan semata tanpa ada konsep implemetasi yang jelas. Badan Dunia PBB, Liga Arab dan OKI sendiri harus mampu merumuskan suatu konsep perdamaian yang melibatkan organisasi dunia lain karena disanalah akan ditemukan suatu titik perdamaian yang sudah ditunggu-tunggu. Sebuah titik perdamaian yang masuk melalui olahraga yang digemari oleh seluruh dunia, sepakbola.
Badan Dunia PBB sudah harus berfikir ulang untuk melibatkan FIFA dalam proses perdamaian, bukan hanya berkutat pada organisasi yang concern tentang proses perdamaian saja. Terbukti proses perdamaian yang dibungkus melalui sepak bola cukup efektif dalam menjaga kondusifitas daerah konflik. Sepak bola dharapkan dapat menjadi pemersatu disparitas yang sempat membelah kepentingan individu dan kelompok menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Sepak bola terbukti mampu menyatukan ideologi yang sempat terkoyak oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu. Sepertinya titik ini merupakan sebuah celah perdamaian yang harus dijembatani agar proses perdamaian bukan hanya sebagai retorika belaka. Jika flashback pengalaman Piala Asia beberapa waktu yang lalu di negara-negara ASEAN, siapa yang dapat memprediksi bahwa Iraq akan keluar menjadi jawara Piala Asia. Ditengah-tengah konflik ideology yang berkembang subur di negara tersebut disamping itu dengan persiapan tim Iraq yang tidak matang karena nightmare yang menghantui pemain Iraq. Tentunya semua pihak lebih menjagokan Korea Selatan ataupun Arab Saudi sebagai pemegang tampuk juara. Disamping lebih siap, stabilitas keamanan negara tersebut lebih terjamin. Namun semuanya terbalik dan berimbas positif terhadap kondusifitas dalam negeri Iraq saat itu yang benar-benar hancur lebur pasca kirisis. Ketika para punggawa Iraq pulang ke negeri seribu satu malam tersebut disambut bak pahlawan. Betul mereka adalah pahlawan, pahlawan untuk pemersatu konflik kepetingan Sunni-Syiah yang tumbuh subur di Iraq. Semua rakyat tumpah ruah bersuka cita, tidak pandang buluh apakah mereka muslim atau nasrani, apakah mereka suni atau syiah, yang jelas semuanya saling bergandengan tangan dan saling berpelukan. Semuanya melebur menjadi satu dalam euphoria sesaat.
Sungguh sayang, euphoria perdamaian ini tidak berlangsung lama karena setelah semua rakyat Iraq klimaks dengan kemenangan, semuanya akan kembai sepert sedia kala. Suni dan syiah kembali mengambil jarak, muslim dengan nasrani kembali membuat gap, terror demi terror mengancam stabilitas keamanan, bom dijadikan barang halal untuk melegalkan terror. Semuanya kembali sedia kala. Permasalahan ini tidak dicermati secara komprehensif bahwa ternyata sepak bola mampu meredam gejolak yang memanas. Badan Dunia PBB seolah-olah tidak mau ambil pusing dengan euphoria sesaat yang ternyata sangat efektif untuk menciptakan perdamaian. Liga Arab pun seolah-olah ingin cuci tangan acuh melihat permasalahan ini. Idealnya memang harus ada jembatan untuk menjaga euphoria damai tersebut agar tidak hilang ketika trofi itu sudah tidak dalam genggaman. Perlu duduk bersama untuk merumuskan suatu postulat yang mampu menjaga stabilitas perdamaian dunia. Sudah saatnya PBB merangkul FIFA untuk duduk bersama. Inilah saatnya, momentum Piala Dunia yang mempertemukan seluruh bangsa-bangsa di dunia hadir memberikan sajian damai.
Momentum Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan adalah titik kulminasi untuk bicara satu kata, damai. Dimana dalam momentum ini, mempertemukan seluruh bangsa-bangsa di dunia yang ambil bagian untuk mensukseskan hajatan dunia ini. Negara-negara konflik pun ikut serta dalam turnamen tersebut, Korea Utara dan Korea Selatan mewakili Asia. Negara-negara Amerika Selatan dengan Amerika Serikat yang semakin menegang. Belum lagi negara-negara Afrika sendiri yang dalam negerinya juga terdapat embrio-embrio konflik. Untuk Afrika Selatan sendiri, momentum ini dapat dijadikan sebagai stabilisator damai yang masih tersisa pasca penghapusan politik Apharteid. Piala Dunia yang diamanahkan ke Afrika Selatan tahun ini dapat mempersatukan ras kulit hitam dan kulit putih dalam satu payung perdamaian. Untuk negara-negara di semenanjung Korea sendiri, untuk sesaat melupakan konflik yang sudah lama terjadi. Paling tidak untuk satu bulan kedepan rakyat Korea masih bisa merasakan hangatnya kekeluargaan dan kebersamaan mengingat mereka masih satu rumpun budaya. Sedangkan untuk negara-negara Amerika Selatan yang antikemapanan hegemoni Amerika Serikat sesaat dapat melupakan konflik yang terjadi. Semua itu dibungkus dalam satu momentum Piala Dunia. Sudah saatnya dunia ini hidup dalam damai, jauh dari konflik kepetingan, jauh dari konflik horizontal maupun vertikal. Semua elemen dunia bukan hanya PBB, akan tetapi negara-negara dunia harus ikut menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu kunci yang harus dibuka untuk dapat mewujudkan impian bersama adalah Piala Dunia. Kran-kran perdamaian melalui negara-negara peserta diharapkan mampu menahan arus perpecahan ideologi. Sudah saatnya sepak bola melalui Piala Dunia dijadikan simbol pemersatu, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat terjadi. Perlu komitmen dan konsistensi untuk dapat merealisasikannya. Kedepan harus ada satu kesepakatn damai melalui sepakbola sebagai olahraga dunia untuk perdamaian, sehingga muncullah sebuah diktum yang mengatakan Football for Unity.

Wednesday 15 December 2010

Karengkang. Mada, Kareh Angok

Teman saya diwaktu kecil, namanya Ardian Hamdani, SH, yang bekerja sebagai sebagai staf ahli anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI sana menyebut saya “Karengkang”. Ia menyebut itu dulu waktu saya kecil, waktu kami berdua sepermainan di dekat rumah. Saya tentu saja membalas dengan sebutan khas anak kecil. Saya sebut Dhani dengan sebutan Kareh Angok.

Karengkang dan Kareh Angok itu tidak jauh bedanya, keduanya sama sama bisa diartikan sebagai keras kepala, tidak mau diajak kompromi apalagi mendengarkan masukan/kritik dari orang lain.

Dhani tentu tidak asal menyebut saya karengkang, maklum dia tahu saya lahir bathin, sejak kecil kemi berkawan, Selain, Dhani, gank kami di waktu kecil juga ada Thomas, Rony, dan Ricky. Yang terakhir sudah tidak ada kabarnya, karena memang selain dia lebih berada dari kami, orang tuanya melarang Ricky bermain dengan kami karena alas an status social pada waktu itu. Ricky orang kaya, sementara kami orang semenjana kalau tidak mau disebut miskin dan papa.

Kembali ke kata Karengkang, kami adalah anak anak karengkang itu. Namun Ke-Karengkang-an kami itulah yang membuat kami menjadi seperti ini. Dhani jadi pengacara dan staf ahli anggota DPR, Thomas jadi Fotografer handal anggota di AFP (Asosiasi Foto Penganten), Rony bekerja di Batam dan saya bekerja sebagai Wartawan.

Penggunaan kata Karengkang juga sering saya dengar dari ibu saya yang marah karena ulah saya yang agak pemalas dan membangkang. Hingga tepatlah menurut saya, penggunaan kata karengkang sangat pas untuk mempresentasikan kekesalan kita pada anak kecil yang tidak menurut perintah atau berhenti jika dilarang.

Tapi tepatkah jika kata kerengkang kita sebutkan pada orang dewasa atau orang yang sudah sepuh. Rasanya tidak, meski kadang perlu juga karena kita sudah kehabisan kata kata untuk melarang orang tua melakukan apa yang tidak sepatutnya mereka lakukan.

Terkait itu, saya jadi teringat dengan hal yang saat ini tengah terjadi di ranah minang. Bahkan di status Facebook saya beberapa waktu lalu, saya membuat quote bahwa saat ini Ranah Minang sudah berubah menjadi ranah pertempuran antara orang tua karengkang melawan anak - anak muda nakal. Kenapa saya tulis seperti itu. Karena saat ini tengah marak terjadinya penolakan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) yang digagas oleh Gebu Minang yang sudah sejak berbulan lalu ditolak oleh masyarakat melalui elemen elemennya seprerti LKAAM, Bundo Kanduang, DKSB, dan bahkan media juga member porsi yang berlebih pada aksi penolakan ini.

Kongres ini tolak disana sini, di undur entah sudah berapa kali, sudah di perangin perambunkan segala, mungkin diasapkan saja yang belum, namun tetap saja Kongres akan dilaksanakan. Jika tidak didemo, Insya Allah hari ini sampai besok siang/malam akan berlangsung Seminar Kebudayaan Minangkabau di Best Western Basko Hotel di Padang. Namanya berubah dari Kongres menjadi Seminar atas izin dan kearifan Walikota Padang Dr. Fauzi Bahar. Sebab, kata Pak Wali, daripada ditolak disana sini, tak baik nanti diliat orang, jadikan sajalah Kongres itu sebagai Seminar.

Artinya, kita tidak perlu membuat resolusi atau keputusan yang mengikat, namun cukup semacam membuka wacana dan membuat rekomendasi saja untuk kemudian diserahkan pada lembaga berwenang. Sebab tidak ada kuasa apalagi kewenangan dari sebuah LSM seperti Gebu Minang untuk menghasilkan resolusi yang mengatur kehidupan dan tataran adat masyarakat Minangkabau.

Namun budayawan Darman Moenir dalam note di akun Facebooknya menuliskan bahwa ternyata atas informasi dari koleganya Drs. Yulizal Yunus, M.Ag, undangan acara hari ini yang tadinya berjuluk Seminar berubah menjadi Kongres. Sungguh, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, saya heran, dan saya kembali teringat Dani yang pernah menyebut saya Karengkang dan saya balas dengan Kareh Angok.

Jika benar undangan dan acara hari ini berubah menjadi Kongres, saya mau tanya pembaca, apakah patut kita gunakan kata Karengkang untuk menyempurnakan kekesalan kita pada orang orang yang tidak mau mendengarkan kritik dan masukan. Jawab dalam hati sajalah…malu kita pada orang yang bukan Minang apalagi dia urang Sumando.***

Tulisan dikirim ke Haluan Minggu karena saya punya kolom khusus di edisi minggu Harian Haluan


mereka yang koment di FB


Femmy Sutan Bandaro
Eril Anwar
Muhammad Ibrahim Ilyas
Early Rahmawati
Ust-kj Jumin
FriendYusri Zal

Komen---->
Firdaus Hb Indak bautak !!! Ha.ha.ha...lapehkan berang tu sadono...bia lapang kapalo. Jan berang bakapanjangan sajo.
December 11 at 3:46pm · Like

Boby Lukman Piliang Heheheh...habih kato kato lai Da...paniang wak...Lai sehat Da...dima kini...
December 11 at 3:47pm · Like

Emeraldy Chatra Loro Ciek nan jadi angan2 diambo kini.Adolah handaknyo peserta kongres bersampul seminar tu nan maraso dikicuah, sudah tu mereka protes karano dianggap urang bodoh dek panitia. Kok dapek handaknyo sudah tu mereka rami-rami pai sambia malapeh kantuik sagadang-gadangnyo arah ka SC nan, kecek engku Firdaus, "indak bautak" tu.
December 11 at 3:55pm · Like

Boby Lukman Piliang Hua ha ha ha...AAAAAAAAAAAAAAMMMMMMMMMMMMMMIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNNNN.......
December 11 at 3:56pm · Like

Doni Hendri ondehhh.. alah tamakan tulang pulo gaek ko komah
December 11 at 4:10pm · Like

Doni Hendri apaknyo kan kareh ka ikua antu iyo
December 11 at 4:18pm · Like

Silvia Erfan Ganti se karengkang tu jo kerangkeng bob..wkwkwkwk
December 11 at 4:38pm · Like

Nofend DeMarola Lare alah ambo jawab dalam hati sidi, sasuai saran sidi, tapi sidi kalah nampek e...
kwakakakaa
December 11 at 5:14pm · Like

Hilman Satria Ko kopi paste kato2 ayah ka bobo ko? Hahahahaha
December 11 at 5:47pm · Like

Asraferi Sabri ‎@Bob: Indak pernah awak bapikia bisanyo urang2 tu melakukan sesuatu yang tidak lain adalah menipu. bahaso urang awaknyo; mangicuah. Kalau karengkang atau kareh kapalo, masih bisa dipahami, tapi mangicuah di siang hari bolong, iyo indak tau awak ilmu apo nan dipakai urang2 tu.
December 11 at 7:01pm · Like

Muhammad Ruski emang angku karengkang, kareh angok bo.. tapi itulah diri kito dan peniggalan urang gaek salai warisan harto pusakao..
December 11 at 9:08pm · Like

Silfia Hanani Syafei Iya, si bobby LP, mada. Terutama gelitik penanya yang "nakal" kalau tidak mada "gelitik" penanya tidak akan di dengar, karengka paralu kawan
Sunday at 8:36am · Like

Ardian Hamdani bagi2lah honor tulisan Bob..namo kito basabuik di dalam tu mah..:)
Monday at 12:24pm ·












Wednesday 8 December 2010

Antara Obama Jr, Gayus Tambunan dan Cinta Laura

Minggu ini, kita dibuat heboh oleh dua berita besar, menggemparkan, menyedihkan sekaligus mengharu biru. Saya sebut menggemparkan karena terbitnya beberapa foto di Koran Kompas yang memuat gambar seseorang yang sangat mirip dengan Gayus H Tambunan seorang pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu tengah nyengir nonton pertandingan tenis WTA di Nusa Dua Bali.

Terbitnya foto foto itu tidak saja menyentak kita sebagai orang Indonesia yang tengah berada pada titik terendah dalam sejarah kepercayaan pada penegakkan hukum, namun juga menggelikan, dan membuat amarah memuncak (meski tidak sampai pada dorongan berbuat anarkis).

Gayus entah siapapun dia yang ada dalam foto itu, yang pasti dia telah berhasil membuat kita semakin sadar bahwa ada yang tidak beres di negara ini dan tentu saja kita menuntut "pemberesan" secepatnya dan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Tercatat pemberitaan tentang seseorang yang amat sangat mirip Gayus ini menyita perhatian kita.

Sosok lain minggu ini yang begitu menyita perhatian media adalah Barrack "Barry" Husein Obama Jr. Presiden Amerika Serikat yang ke 44 ini begitu lekat dalam ingatan orang Indonesia, pun sebaliknya, Obama seperti yang diakuinya adalah bagian dari republik ini. "Indonesia adalah bagian dari hidup saya," begitu kata Obama dalam pidatonya di Balairung Kampus UI Depok Kamis lalu. Obama dengan bahasa Indonesia yang masih lancar dan amat bersemangat berpidato dan tentang masa depan hubungan dan kerjasama Indonesia dengan negara yang dipimpinnya. Obama sekali lagi merasuki ruang ruang baca dan bahkan pribadi kita setelah pada tahun 2008 lalu menghentikan perlawanan John McCain seorang Republikan pada Pilpres AS.

Obama dan Gayus adalah dua kutub pemberitaan yang amat jauh berbeda, yang satu menjadi cerita dan buah pena kaum jurnalis karena kehebatannya dalam mengelola opini publik di bidang politik, yang satu lagi menjadi buah cerita dan pena karena "kehebatannya" menumpuk kekayaan hingga puluhan miliar rupiah di usia yang masih sangat muda. Obama dan Gayus telah menjadi ikon pemberitaan dan fenomenal di dunianya masing masing.

Obama Jr, seorang ayah dua putri, pemimpin negara adidaya, kehadirannya di tunggu publik sejak lama, setidaknya dua kali meng-cancel kunjungan ke Indoneisa dan dimaafkan, adalah bukti bahwa kedatangannya (kembali) ke Indonesia amat penting artinya. Beda dengan Bush Jr, pendahulu Obama, kedatangan Barry yang lengkap dengan keramahannya dan juga "Ke-Indonesia-anya membuat kita tertawa lepas, senang dan juga terharu (maupun pura pura) bahwa ia masih sedikit Indonesia. Obama bahkan memakan bakso, sate, kerupuk emping dan mengenang Sarinah dan Menteng Dalam untuk membuktikan itu bahwa ia masih menjadi bagian dari anak Jakarte. kita bangga dan bertepuk senang karenanya.

Lain halnya dengan Gayus, lengkapnya Gayus Halomoan Tambunan, anak muda yang sekilas terlihat cengengesan, tapi kaya raya itu telah membuat kita geram, marah dan begitu benci tidak hanya kepadanya, tapi juga kepada pengelola negara ini. Gayus telah menjungkir balikkan semua kepercayaan kita yang memang telah miring kepada aparat hukum, penyelenggara negara lainnya. Gayus juga telah meruntuhkan puing puing kepercayaan yang kita pertahankan sedemikian kuatnya, namun ia dengan menjentikkan jari meruntuhkan semuanya dalam sekejab. Kita geram dan memaki sejadi jadinya.

Sejenak marilah kita lupakan Gayus, Obama, atau duka lara akibat letusan Gunung Merapi di Jogja, Tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai atau Banjir Bandang di Wasior Papua Barat, kita sejenak berpaling ke Cinta Laura. A ha, kenapa Cinta Laura, apa hubungannya antara Cinta Laura, dengan Obama, atau Gayus ?. Memang tidak ada hubungannya, Cinta Laura meski berbapak bule, bapaknya bukan American, atau ibunya bukan dari marga Tambunan seperti marga bapaknya Gayus. Cinta Laura menjadi menarik saya bahas karena Obama Jr.

Ya, Presiden AS yang anak Menteng Dalam itu begitu fasih berbahasa Indonesia, ucapannya seperti "Assalamualaikum", "Selamat Pagi", "Selamat Sore", "Terima kasih" dan bahkan "Pulang Kampung Nich" atau "Indonesia adalah bagian dari diri saya", dan tentu saja kalimat pamungkas, "Saya ingin mengungkapkan", memperlihatkan betapa ia masih Indonesian meski menjadi Presiden bagi jutaan anak kemenakan "Abang Sam".

Obama tidak seperti Cinta Laura yang dengan pronounce-nya terdengar aneh di telinga kita. Taruhan, jika Obama kita suruh bertanding pidato dalam bahasa Indonesia melawan Cinta Laura, saya yakin Obama lebih lancar berbahasa Indonesia dibanding si artis kemarin sore itu.

Lihat dan dengarkan suara Cinta Laura di TV, atau suaranya ketika menyanyi, awww, aneh benar bunyinya. Saya hanya berdoa semoga Cinta Laura mendapatkan guru bahasa Indonesia yang top dan hebat dan bukan guru bahasa Inggris yang pandir dan sok british. Semoga.

Sejenak saya juga merasa risih dengan sebagian besar kawan kawan yang saya jumpai, berbicara dalam bahasa Indonesia yang diselingi beberapa kosa kata Inggris, mereka menggunakan kata "at least", "I beg your pardon" atau kata kata lain yang tentu saja diucapkan dengan lidah melayu yang dipaksa berbahasa Inggris. Menangis rasanya jika mengingat itu.

Sok benarlah kita rasanya, orang Indonesia, berbicara dalam bahasa Inggris kepada sesama orang Indonesia. Semoga kita tetap menjadi orang Indonesia dalam keseharian kita yang dibuktikan dengan tingkah laku dan pola bicara.

Semoga para pemuda yang bersumpah pada 28 Oktober di tahun 1928 lalu di gedung Stovia tidak mengutuk kita karena sok British seperti ini. Amiin.

Sinetron...



Suatu hari sambil bagarah saya katakan pada istri saya, saya akan mengundang ustad dan jemaah masjid di dekat rumah untuk mau datang kerumah kami besok malam seusai Shalat Isya. “Saya mau mandoa salamaik”, itu yang saya katakan pada istri saya. Ia heran bukan kepalang, lalu dengan muka wajah serius dia bertanya kepada saya, selamatan untuk apa, memangnya saya dapat proyek baru atau berhasil, atau ada keuntungan lain hingga kita perlu menggelar selamatan. Saya langsung menjawab Selamatan atas berhentinya tayang sinetron yang tiap hari ditunggu dan ditontonya.

Yah, istri saya sangat menyukai sinetron, opera sabun yang bagi saya aneh, irasional dan tentu saja mengada-ada. Kami bahkan sampai berebut remote TV kalau sudah masuk pada jam tayang sinetron itu. Saya menyukai menonton siaran berita, talkshow atau dialog, sementara istri saya hampir setiap malam tidak mau melewatkan tayangan sinetron di tv swasta kesayanganya.

Kembali ke soal sinetron, saya sungguh tidak mengerti, apa yang ada dikepala penulis skenario atau mungkin produsernya, tayang setiap hari,tapi tidak ada satupun poin dari sinetron itu yang bisa dijadikan bahan untuk dicontoh, atau tokohnya dijadikan tauladan atau apa sajalah. Cuma ya itu tadi, selalu saja penontonnya ramai, bahkan hasil poling ACNielsen (lembaga pemeringkat siaran TV) yang saban Rabu sore merilis hasil polingnya menyebutkan sinetron yang sering ditonton oleh istri saya dan orang lain itu menempati peringkat yang cukup tinggi dengan audience share yang cukup tingi.

Saya tidak hendak dan tidak akan menyebutkan judul sinetron itu, takut saya, karena pasti banyak yang akan marah. Maklumlah, survey kecil kecilan saya di sekitar rumah membuktikan bahwa 7 dari 10 ibu ibu menjadi penonton sinetron itu setiap hari dan hanya 3 yang menonton sambil tidur tiduran. Jadi, jelas saya tidak mau digebuk 7 orang ibu ibu yang amat bernafsu untuk mengantam saya dan 3 orang yang ogah ogahan tadi. Alamat sengsara saya kalau itu terjadi.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sinetron, dulu ketika TV swasta belum ada, TVRI sudah pula menyiarkan sinetron, saya ingat judulnya, “JENDELA RUMAH KITA” atau “RUMAH MASA DEPAN” tapi tidak setiap hari, hanya sekali sepekan dan ceritanya sangat bermutu. Memang ada tokoh jahat, ada pula tokoh baik hati, ada tokoh yang mengalasau se lalu ada pula tokoh yang serius.

Tapi kini dengan banyaknya TV swasta dimana hanya 2 stasiun TV yang mengklaim sebagai TV berita, maka maraklah ruang ruang keluarga kita dengan tayangan sineteron itu. Judulnya, jangan ditanya, bamacam, mulai dari yang pakai bahasa Indonesia, sampai yang sakarek ula sakarek baluik. Bahkan kalau kita akumulasikan jam per jam tayangan sinetron di televise swasta kita, mungkin lebih dari 80 persen tayangan adalah sinetron dan sisanya musik serta hanya kurang dari 10 persen yang bermuatan informasi pengetahuan.

Saya jadi ingat dengan Sinetron Rumah Masa Depan yang digarap oleh sutradara Ali Sahab. Seorang pekerja film jempolan yang mampu menghadirkan tontotan berkualitas bagi masyarakat meski hanya sekali dalam sepekan. Rumah Masa Depan, judulnya memang seperti mimpi, tapi isinya adalah kenyataan yang terjadi disekitar kita. Skenario yang membumi, tokoh yang tidak (sangat) kejam, meski jahat, namun tidak pula ada tokoh yang sangat baik meski berhati mulia.

Tapi lihatlah sinetron saat ini, peran orang jahat digambarkan sangat kejam, bahkan cenderung psikopat, lalu tokoh baiknya, digambarkan selalu teraniaya, kalah melulu dan menangis terus. Sinetron saat ini seperti mimpi, kekayaan tokohnya digambarkan sangat besar, perusahaan dimana mana tanpa dijelaskan kekayaan itu (perusahaan) berupa dan bergerak dibidang apa serta yang disajikan justru konflik perebutan harta tanpa jelas harta apa yang dijadikan obyek pertengkaran.

Saya jadi berpikir, dengan kemajuan zaman, mudahnya mengakses informasi serta ruang ruang diskusi yang kian terbuka lebar, kenapa kreatifitas kita makin rendah mutunya. Hari ini, setidaknya saya mendapatkan jawaban bahwa nafsu untuk berbuat telah mematikan urat kreatif kita dan yang tinggal hanya rutinitas kejar tayang.

Jadi kalau tidak bisa membeli mimpi menjadi orang kaya, baik hati dan pemaaf, maka buatlah sinetron sebanyak banyaknya, karena mimpi jauh lebih enak daripada bangun dan melihat kenyataan. Sakit.***

---terbit di HARIAN HALUAN Padang - edisi Minggu 5 Desember 2010---

Sia Sia



Di ujung waktu...
pada waktu yang telah kita sepakati...
aku mengais sisa hadirmu...
sia sia...
tak berdaya...

(BLP - Jogja 2010)

Sunday 5 December 2010

Monarkhi dan Demokrasi


Perpolikan nassional saat ini sedang hangat membicarakan tentang status DIY yang menuai banyak kontroversi. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY (RUUK DIY) yang memicu perseteruan antara Jogja dan Jakarta. Pernyataan SBY yang menyatakan bahwa tidak ada monarkhi dalam Negara demokrasi menuai konflik di jogja yang terkenal kondusif.

Diantara 4 daerah otonom di Indonesia, termasuk Aceh, Papua, Jakarta dan Jogjakarta, hanya Jogjakarta yang regulasinya belum diatur komprehensif. Oleh karena itu sekitar tahun 2006, pemerintah daerah DIY mengajukan RUUK DIY. Namun pembahasan RUU itu kemudian terkatung-katung tanpa ada kejalasan status. Hingga akhirnya, SBY mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan perdebatan di Indonesia.

Ada beberapa hal yang patut dijadikan acuan tentang status DIY. DIY sebagai salah satu provinsi tertua di Indonesia melalui dekrit Sultan Hamnegkubuwono IX pada tahun 1950 menyatakan diri bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Jogja secara historis rela menawarkan diri menjadi ibu kota Negara saat Negara dalam keadaan genting memainkan peran penting dalam proses kemerdekaan. Adalah Hamengkubuwono IX yang rela pasang badan untuk Indonesia.

Jika melihat dari aspek sejarah, sudah sepantasnya DIY mendapatkan hak atas keistimewaannya karena peran sentral dalam kemerdekaan. Monarkhi yang dimaksud bukan dari aspek pemerintahan, karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi di Indonesia. Monarkhi yang dimaksud dalah monarkhi dalam aspek sosio cultural. Sama dengan daerah kerajaan lain di Indonesia, monakhi terbentuk dari aspek sosio cultural. Hanya di DIY saja yang menjadi masalah, karena Gubernur merangkap sebagai Raja Jawa. Mungkin jika Gubernur bukan merangkap sebagai raja jawa permasalahannya tidak serumit ini.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah terkait masa jabatan Gubernur jika nantinya di setujui RUUK ini. Sampai kapan Sultan akan menjabat menjadi Gubernur? Jika nantinya dalam perjalanannya, diangkat Sultan yang masih belum cukup umur untuk memimpin DIY apakah akan tetap diangkat menjadi Gubernur?

Masalah RUUK DIY memang masih menimbulkan debat yang mendalam oleh para pakar. Bola panas ada di tangan pemerintah (Menteri Dalam Negeri) untuk memutuskan. Fraksi democrat di DPR setuju pemilihan gubernur melalui pemilihan langsung sedangkan fraksi lain setuju realisasi RUUK DIY. Sultan sendiri menawarkan opsi referendum untuk memutuskan keistimewaan DIY.

Apapun hasilnya nanti, yang terpenting dari semua itu adalah NKRI harga mati. Jangan hanya masalah ini kemudian memantik api untuk memecah belah kesatuan dan integritas bangsa. Diperlukan kearifan dan kebijaksanaan para pemegang jabatan untuk lebih bisa menerima keputusan dengan cerdas.

Saturday 4 December 2010

Duet “BB” dalam system Peradilan Indonesia


Terpilihnya Busyro Muqoddas dan Basrief Arief sebagai pioneer penegakkan hukum di Indonesia menjadikan dua korps penegakan keadilan Indonesia menjadi buah bibir sentral. Pada saat hari yang bersamaan, Busyro yang sedang dipilih DPR melalui mekanisme voting dan penunjukan Basrief sebagai Jakgung oleh Presiden. Tentunya, banyak pihak menaruh sejuta harapan kepada mereka. Khususnya dalam pemberantasan korupsi, penegakkan keadilan dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Kasus demi kasus sudah menunggu dihadapan mereka, mulai dari kasus gayus, pemilihan DGS Bank Indonesia, kasus century dan sebagainya. Kasus demi kasus yang harus dipecahkan memang termasuk kasus kakap yang banyak kepentingan bermain disana. Ada invisible hand yang mengatur scenario agar berjalan dengan mulus.

Busyro Muqoddas yang merupakan ketua KY demisioner, masuk mendaftar menjadi ketua KPK pada hari terakhir penutupan bakal calon. Ketika diskusi dengan beliau beberapa bulan yang lalu sempat beliau menjelaskan untuk menjadi balon ketua KPK dorongan dari teman-teman sejawat, kolega dan keluarga. Sehigga setelah melalui istokharah yan mendalam keputusan itupun akhirnya dibuat. Setelah melalui beberapa tahapan pemilihan akhirnya lolos dua kandidat ketua yaitu Bambang Widjojanto da Busyro Muqoddas. Sebenarnya diantara kedua figure tersebut memiliki kredibilitas dan integritas yang kuat dan mengakar untuk menguatkan fungsi kelembagaan KY.

Basrief Arief adalah mantan petinggi di Korps Adhyaksa. Jabatan tertinggi diembannya sebagai wakil jaksa angung sebelum akhirnya pension. Pada dasarnya Basrief bukan orang baru di korps adhyaksa. Sehingga keputusan pengangkatan Basrief dari kalangan internal menurut kalangan internal sudah tepat. Namun untuk kalangan eksternal, proses ini menyebabkan tertundanya reformasi internal kejaksaan agung.

Duet BB inilah tampuk penegakan supremasi hukum berada, semoga amanah yang dilaksanakan dapat menjadi pahala tersendiri buat keduanya. Teringat kata-kata pak Mahfud, dua hal yang saya hindari ketika menjadi pejabat yaitu Korupsi dan Selingkuh. Pak Busyro sendiri pernah berkata yang beliau kutip dalam hadist, “Ya Allah masukanlah hamba dalam keadaan baik-baik dan keluarkanlah hamba dalam keadaan baik-baik dan keluarkan hamba dalam keadaan baik-baik.

Friday 3 December 2010

Finally Back Home

Hey..
What's your name...
Do you live around here..
Don't I know your face..
You say i've been stranger for too long..
I did'nt notice i was gone..
And i wanna come back home..
Kutipan lirik lagu Westlife diatas dalam album Back Home menjadi tema sentral dalam postingan kali ini.. secara, dah lama ga pulang kampung..
setelah melanglang buana merangungi lembah melewati gunung, moment pulang ini memiliki arti sendiri, secara soulmate SMA nikah "Giri & Dian" jadi harus di buru-buru waktu padahal tugas dijoja masing menggunung.. :P
lama ga pulang karena tugas, so pasti.. koass gitu loo.. kumpulan orang-orang salah.. tahun 2008 waktu mau pulang ga bisa, wisuda sedangkan tahun berikutnya mau pulang koass.. lebaran di Sragen.. tahun ini juga begitu udah niat pulang mau kumpul bareng teman-teman ternyata ortu dan keluarga besar lebaran dijogja semua.. la pulangnya kapaaaaaan...
moment pulang kali ini selain untuk menghadiri acara nikah teman tentunya ada aspek politis menghadapi persiapan tesis, minta doa dari teman-teman semua semoga diber kelancaran, mau coba buka link ke Chevron buat masukin proposal tesis, jika Allah memberi jalan Insya Allah ada peluang, banyak hikmah yang dapat diambil..
Tapi Insya Allah ga lama kok di Kaltim, karena mau settle praktek sm banyak baca tentang biostatistik..

Ya Allah, berilah hamba kemudahan dan kelancaran..
Masukanlah hamba dalam keadaan baik-baik dan keluarkan hamba dalam keadaan baik-baik..
Amien..