Friday 30 January 2009

Sepenggal cerita dari Grhasia...

Setelah masuk stase jiwa di RSG, banyak sekali inspirasi yang mengalir di hatim ketika melihat dan menyaksikan kisah pilu dan sedih banyak pasien skizofrenia..

Satu kisah yang patut diangkat ketika jaga di IGD RSG kemarin. Seorang ayang datang ke RSG ditemani oleh beberapa orang polisi. Sang ayah datang dengan lusuh dan kusam seolah-olah menyimpan suatu perasaan yang dalam meratapi keadaan keluarganya. Singkat cerita, sang ayah membawa anaknya yang memiliki gangguan psikotik. Sang anak mengamuk, membanting barang-barang di rumah dan memecahkan kaca-kaca dirumah. Memang sich, ketika dilakukan anamnesis terhadap anak tersebut, anak tersebut emosional sehingga harus di isolasi.

Ketika dilakukan alloanamnesis, sang ayah menceritakan keadaan keluarganya yang memiliki 5 orang anak, tiga dari lima orang anaknya ternyata mengalami gangguan jiwa dengan gejala yang berbeda-beda. Melihat fenomena tersebut sebenarnya sangat memilukan hati, bayangkan saja sang ayah harus mengajak kontrol rutin anak-anaknya setiap bulan belum lagi obat yang harus dibeli setiap persediaan obat habis, belum lagi harganya yang cukup mahal. Sang ayah bekerja sehari-hari sebagai buruh tani, sementara itu orang dengan gangguan jiwa memerlukan terapi yang lama. Coba dibayangkan akan habis berapa rupiahkah uang yang digunakan untuk mengobati penyakit sang anak???

Ayah tersebut, terakhir ketika aku melihat pulang ke rumah dengan menggunakan bis, rumahnya cukup jauh didaerah sewon, Bantul. Sementara untuk menempuh jarak ke Sleman memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Kisah kedua ketika seorang kakak yang dengan setianya mengantarkan sang adik datang ke RSG ditengah hujan deras yang mengguyur Jogja. Hujan sedari siang tidak henti-hentinya turun. Sang kakak datang ke RSG dengan menggunakan sepeda ontel yang sudah butut, berkarat seolah-olah dimakan usia. Dengan rasa penuh kasih sayang sang kakak mengantar adiknya masuk ruang IGD sambil berkeluh kesah dengan penyakit adiknya. Terlihat dari keadaannya mereka orang tidak punya. Miris sebenarnya ketika melihat dua bersaudara yang nyaris kembar tersebut datang karena adik ternyata mengalami gangguan jiwa, sang adik sering tertawa dan meringis-meringis sendiri. Tatapannya kosong seolah olah ingin menyampaikan suatu hal namun dia terlena dialam dunianya sendiri.

Sebuah gambaran fenomena hidup bahwa banyaknya stressor yang kita hadapi memang menunggalkan bekas yang sukar untuk dihilangkan. Belum lagi anggapan masyarakat bahwa orang dengan gangguan jiwa sepertinya masih dimarginalkan dalam masyarakat. Suatu konsep yang keliru sehingga memang adalah tugas kita untuk dapat meluruskannya.

No comments:

Post a Comment