Monday 7 February 2011

SBY Perlu JK


Oleh : dr. Sani Rachman Soleman
Permasalahan yang muncul di Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan gejolak politik yang cukup berat dihadapai oleh Presiden. Sebut saja, mulai dari kasus bank Century, kasus mafia pajak, kasus kebocoran tabung gas, bahkan kasus vandalisme berkedok keagamaan. Pemerintah tidak pernah tegas terhadap permasalahan tersebut, bahkan jawaban-jawaban normative yang muncul mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memiliki solusi yang konkrit terhadap permasalahan tersebut.JK

Kita merindukan sosok pemimpin yang tegas dan bergerak cepat dalam merespon kebutuhan rakyat. Kepemimpinan kharismatik bukan artistic dalam sikap dan sifat akan tetapi kepemimpinan yang menjadi jembatan stabilitas politik di Indonesia. Sosok yang berani mengambil sikap melawan arus di saat yang lain terlelap dan terlena dengan fana. Mungkin sosok itulah yang mampu memberikan inspirasi dan pencerahan ketika terjadi kebuntuan politik di era politik transaksional non transformative.

Tidak lain dan tidak bukan sosok itu adalah mantan Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla. Era Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama, JK dikenal berani membuat terobosan-terobosan disaat pucuk pimpinan nasional “ngerong” dalam membuat kebijakan. Pada awal-awal pemerintahan ketika itu, JK dengan cepat dan lugas segera membentuk Bakornas penaggulangan Tsunami Aceh dan Gempa DIY. Ketika semua orang berfikir tentang pengadaan minyak tanah, JK berfikir bagaimana konversi minyak tanah ke gas. Belum lagi ide-ide progresif tentang perundingan damai antara RI dengan GAM yang dilaksanakan di Helsinki dengan perantara mantan perdana menteri Islandia. Sampai masalah pengadaan KUR bagi rakyat tidak mampu. Semua itu merupakan terobosan dinamis yang dibuat oleh JK.

Kini, pasca pilpres 2009 duet kepemimpinan nasionak pasca reformasi ini harus pecah kongsi karena perbedaan arah politik. Sementara itu disatu sisi, keberadaan Boediono sebagai Wakil Presiden tidak mampu segesit dan selincah JK. Pak Boed, sepertinya hanya menjadi ban serep belaka berbeda dengan JK yang tidak ingin menjadi cadangan pidato jika Presiden berhalangan hadir. Coba bayangkan, sudah hamper dua tahun kepemimpinan SBY Boediono memimpin Indonesia namun tidak ada perubahan yang bermakna yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Bahkan, penjajahan intelektual masih berkembang subur hingga detik ini. Seolah dictum Bung Karno yang mengatakan bahwa, Indonesia harus mandiri dalam ekonomi, berkedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam budaya hanya retorika belaka.

Jika melihat berita di statsiun televise beberapa hari yang lalu, SBY memanggil JK ke Istana dengan dalih silaturahmi. Tidak mengerti apa sebenarnya bungkus yang terkandung dalam pertemuan tersebut. Jika saya sebagai orang awam melihat bahwa, panggilan itu adalah sebagai sharing permasalahan bangsa yang tidak kunjung usai. Lantas, kemanakah Pak Boed? Sebagai seorang wakil presiden seharusnya mampu memberikan masukan kepada presiden tentang permasalahan tersebut, namun mangapa SBY justru memanggil JK? Dari sinipun sudah dapat diketahui bahwa SBY memang masih memerlukan sosok JK. Walaupun pasca lengser dari Wakil presiden dan memegang amanah ketua umum PMI, gebrakan JK justru sangat terasa sampai ke daerah. JK punya impian untuk membuat pabrik donor darah dengan bekerja sama Jepang dan bahkan yang sudah jelas, JK membeli mobil amphibi yang ketika erupsi merapi beberapa hari yang lalu diturunkan ke lapangan.

Melihat permasalahan tersebut timbul pertanyaan dalam sanubari, dosa siapakah ini? Dosa kita sebagai rakyat Indonesia? Atau dosa pemimpin-pemimpin kita yang tidak mampu membawa rakyat menjadi lebih sejahtera. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena jawaban itu akan meninggalkan sesak yang mendalam. Goreskanlah jawaban itu dalam hati untuk merenungi dan meresapi apa yang telah terjadi..


No comments:

Post a Comment