Monday 7 June 2010

Rivalitas Ical vs Paloh


Oleh : derek Manangka
Pada Pipres 2004, keduanya sudah bersaing menjadi calon Golkar untuk jabatan Presiden RI periode 2004-2009. Hanya saja keduanya gagal lolos dari Konvensi Golkar. Yang menang Jenderal purnawirawan Wiranto, kini Ketua Umum Partai Hanura.

Ketidak-cocokan di antara mereka, merupakan hak individu. Sebagai manusia biasa Ical dan Paloh punya hak azasi dengan siapa mereka berkawan dan siapa pula mereka posisikan sebagai lawan.

Yang menjadi persoalan adalah kecenderungan perseteruan dua politisi Golkar itu mulai digiring ke domain publik. Kecenderungan ini cukup berbahaya. Apalagi kalau dibawa ke situasi hanya Paloh yang benar sementara Ical berlumuran kesalahan.

Bila ini terjadi, dapat mengaburkan esensi perseteruan yang sebenarnya. Ical dan Paloh tidak boleh mengecoh publik bahwa seolah-olah mereka berdua tidak ada persoalan.

Sejauh ini belum ada penjelasan kedua pihak menyikapi eksistensi masing-masing. Upaya mempertemukan mereka melalui sebuah dialog bahkan terbuka, nampaknya tak akan bisa diwujudkan.

Oleh karenanya mereka juga tidak pantas mengggiring bahwa yang salah dalam pemberitaan adalah karyawan mereka, pekerja pers, atau wartawan yang keliru memilih berita mana yang patut disorot kemudian ditayangkan.

Kru Metro TV ataupun TV One, tidak patut dipersalahkan. Siapapun yang menjadi ‘komandan wartawan’ di dua stasiun TV tersebut, pasti karena panggilan profesi. Bukan karena panggilan kepartisanan.

Media ingin mengingatkan bahwa publik sudah jauh lebih kritis dan cerdas. Ical dan Paloh punya uang. Wartawan yang bekerja hanya berharap dapat mengaktualisasikan idealisme mereka.

Di sisi lain daya kritis dan tingkat kecerdasan masyarakat sudah banyak berubah. Publik yang semakin cerdas cepat lambat laun akan menilai siapa media yang suka menyebarkan kebohongan dan mana yang lebih jujur.

Singkatnya sulit membohongi publik. Jadi pengetahuan publik tidak bisa disepelekan. Media televisi sangat berperan. Dengan siaran-siaran audio visual masuk ke dalam ruang pribadi pemirsa, publik bisa mengetahui dan mengkritisi hal-hal yang paradoks.

Ketika di awal 2005, Metro TV menciptakan program Indonesia Menangis, jutaan pemirsa terpanggil menyumbang korban tsunami Aceh. Ratusan miliar rupiah terkumpul. Mereka melakukannya karena percaya bantuan tidak akan dikebiri.

Bantuan mereka apakah yang berbentuk bahan baku atau uang tunai, akan sampai ke tangan para korban. Mereka lebih percaya Metro TV, lembaga swasta ketimbang lembaga yang dikoordinir oleh pejabat pemerintah. Kredibilitas Metro TV sebagai media dianggap lebih kuat.

Tapi setelah lima tahun, Indonesia Menangis tak lagi ditayangkan Metro TV, publik merasakan adanya satu paradoks. Lima tahun lalu Metro TV sangat terbuka tentang setiap sen yang disumbangkan si penyumbang. Kini publik merasakan sebuah keterbalikan.

Metro TV dibawah kendali Surya Paloh tidak membuka kepada publik sejauh mana penyaluran dana lebih dari Rp150 miliar tersebut kepada para korban tsunami. Cukupkah Metro TV menyiarkan penggalan liputan tentang penyaluran dana dari yayasan yang dibentuk untuk menampung sumbangan Indonesia Menangis itu? Tentu saja tidak.

Pertanyaan kritis dan terbatas namun semakin kencang, seharusnya menjadi sebuah renungan. Jadi jika publik sepertinya diam, bukan berarti mereka tidak peduli dengan kejujuran. Mereka lebih memilih berbicara dengan naluri dan hati nurani.

Pada masa kampanye pemilihan Presiden RI di 2004, Surya Paloh dikenal sebagai tokoh pers paling gigih mencitrakan SBY. Putera kelahiran Pacitan itu digambarkan Surya dan Metro TV sebagai tokoh yang paling pantas memimpin Indonesia.

Namun masyarakat kemudian dibuat bertanya-tanya. Mengapa setelah SBY berkantor di Istana Merdeka, Metro TV justru tidak lagi banyak memberitakan kegiatan Presiden SBY?

Surya Paloh sempat ‘berbulan madu’ dengan Presiden SBY. Hubungannya dengan Presiden RI sempat ‘mempribadi’. Ketika kedekatan Paloh dan SBY berubah, merenggang, publik tidak bersuara. Karena menganggap hubungan politik mereka berdua merupakan masalah pribadi.

Namun ketika kabar dilarangnya Metro TV meliput kegiatan SBY di Cikeas, kediaman pribadi Presiden, publik bertanya-tanya, ada apa antara Paloh dan SBY? Publik punya hak bertanya dan bertanya dengan cara diam mengingat terjadi sebuah paradoks.

Pada satu masa publik dijejali berita-berita mirip makanan manis tapi masih diberi tambahan gula. Suatu saat, media yang sama menyajikan berita ibarat makanan yang sudah busuk dan basi, tapi masih tetap ditambahi komentar. Padahal makanan busuk dan basi itu tadinya dipromosikan sebagai makanan paling lezat. Akhirnya muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang terjadi.

Hanya selang kurang lebih sebulan setelah Surya Paloh gagal merebut jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar, tiba-tiba Surya mendirikan organisasi masyarakat Nasional Demokrat.

Bersama para aktivis lainnya, Nasional Demokrat dideklarasikan sebagai gerakan moral yang bertujuan merestorasi Indonesia. Melalui kemasan iklan dan pencitraan, dikesankan Nasional Demokrat tidak akan menjadi partai politik baru.

Cara ini tidak salah dan menjadi hak individu masing-masing. Tetapi ini juga merupakan sebuah paradoks. Karena ketika bangsa Indonesia sudah jenuh dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan atau pengerahan massa, media yang berkantor pusat di kawasan Kebon Jeruk justru mempromosikan hal-hal yang mulai dijauhi masyarakat. Memang masih terlalu dini menilai apalagi mencurigai.

Namun masyarakat tentu akan mancatat dan menunggu. Setidaknya sampai 2013 atau menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, masyarakat akan bisa mengetahui dimana titik temu antara yang diucapkan tahun ini dengan yang dilakukan kelak.

Bertitik tolak dari contoh kasus di atas, yang perlu dicegah kalau media mulai digunakan untuk memasyarakatkan ego dan kepentingan pribadi masing-masing.

Cara Ical tidak menjawab pertanyaan wartawan Metro TV tetapi menjawab pertanyaan yang sama kepada wartawan media lain, bisa dianggap sebuah sikap diskriminatif. Ical merupakan tokoh milik publik. Seharusnya Ical tidak boleh menerapkan diskriminasi.

Tetapi cara Metro TV yang menugaskan wartawan-wartawannya untuk mencecer Ical atas sebuah kasus yang melibatkan nama dan perusahaannya, memang patut dicurigai. Terutama media milik Surya Paloh ada kecenderungan melipat gandakan isu yang berdampak negatif bagi Aburizal Bakrie.

Wartawan Metro TV yang ngotot saat bertanya atau mengejar sumber berita, wajar. Tetapi etika dalam bertanya pun sebetulnya ada aturannya. Etika inilah yang seringkali dilupakan. Sebuah pertanyaan sensitif, tidak akan melukai perasaan orang yang ditanya, apabila entry point yang digunakan tepat.

Semarah-marahnya Ical kepada Metro TV atau lawan bisnisnya Surya Paloh, akan tetapi apabila sang jurnalis yang ditugaskan melakukan pendekatan secara benar, besar kemungkinan ketersinggungan Ical tidak akan tersentuh. Ical tidak akan terperangkap dengan sikap eksplosif dan reaktif.

Tidak bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan Surya Paloh apabila wartawan atau anak buahnya Ical mengejar Surya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menimbulkan ketersinggungan. Misalnya, apa betul Bambang Trihatmodjo, putera Soeharto, Presiden kedua RI merasa tersinggung karena Hotel Jimbaran Inter-Continental di Bali sudah dikuasai Surya Paloh?

Memang tidak mudah bagi wartawan memposisikan diri sebagai pihak non-partisan apabila sejak awal sudah diindoktrinasi atasannya. Sebab selain menyangkut masalah kepatuhan dan loyalitas, pada era sekarang tidak gampang memperoleh pekerjaan, sang wartawan akhirnya dihadapkan hanya pada dua pilihan. Menuruti kemauan atasan atau melawan dengan konsekuensi hukuman, mulai dari tidak diberi penugasan sampai akhirnya dirumahkan.

Kalaupun tidak menerapkan etika, setidaknya memilih entry point yang benar. Persoalannya entry point itu mungkin terlanjur dilupakan wartawan Metro TV karena Ical oleh redaksi memang sudah dijadikan semacam ‘target operasi’.

Rapat budged redaksi Metro TV boleh jadi sudah memutuskan, hari itu harus ada komentar dan visual dari Ical tentang masalah pajak PT Kaltim Prima Coal.

“Pokoknya hari ini harus ada berita tentang Ical..,” begitulah kira-kira kurang lebih nuansa yang ada di jajaran redaksi Metro TV. Atau kalaupun tidak melalui rapat budged, topik tersebut ditugaskan melalui pesan singkat atau komunikasi lainnya.

Dengan cara ini wartawan Metro TV terjebak. Apalagi jika jam terbangnya sebagai reporter relatif masih sedikit. Fakta yang mau disajikan, tetapi yang terjadi faktanya dibungkus opini. Pekerja media, wartawan dipaksa si pemilik mengemas sebuah opini menjadi fakta.

Keadaan seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan profesi wartawan. Wartawan hanya akan menjadi seperti buruh dan robot. Sebagai buruh, harus siap menerima apapun kehendak si majikan.

Sebagai robot hanya mengerjakan apa yang sudah diprogram si pemilik. Kreativitas dan intelektualitas yang menjadi modal kuat seorang jurnalis, tidak lagi penting. Wartawan akhirnya tidak lagi menjadi sebuah profesi tetapi dikonversi menjadi aktifis dan partisan.

Bila hal seperti ini terjadi, masyarakat, publik akan mengkonsumsi informasi yang dikemas secara tidak benar. Masyarakat menjadi korban sebab hak mereka memperoleh informasi yang benar dan menyeluruh tidak terpenuhi. Kecenderungan untuk itu ada dan mulai terjadi. Menyedihkan!
Sumber :www.inilah.com

No comments:

Post a Comment