Saturday 24 July 2004

Antara Vox Populi dan Vox Pop(ularitas)*

Oleh Sidi Lukman Piliang**



Kemenangan pasangan SBY-Kalla dalam pemilihan presiden tahap pertama, dengan mengalahkan seniornya Wiranto/Sholah dan Amien/Siswono sudah diprediksi sebelumnya oleh berbagai kalangan baik akademisi, pemerhati dan praktisi politik, bahkan saya sendiri yang awam politik sudah memprediksi jauh hari SBY akan jadi (masuk ke putaran kedua pilpres), bahkan mungkin akan mereaih tiket ke istana. Bukan karena saya pendukung SBY, atau bersimpati kepadanya…tapi karena memang gejala itu sudah terlihat jelas beberapa saat sebelum pencoblosan dilakukan.



Ada beberapa hal yang menjadi dasar utama kenapa saya berkeyakinan bahwa pasangan militer dan pengusaha sipil ini akan menang setelah melaju ke putaran kedua. Yang pertama karena popularitas SBY pasca pengunduran diri dari kabinet Megawati. Mundurnya SBY dari kabinet yang diramaikan oleh pemberitaan media masa nasional, disadari atau tidak secara tidak langsung menguntungkan mantan kasospol TNI ini. Ditambah lagi dengan pernyataan First Gentleman Taufik Kiemas yang meledek SBY sebagai Jendral kekanak kanakan telah menimbulkan simpati yang mendalam atas “penderitaannya ’ di kabinet megawati.



Meski tidak sama alur ceritanya hal yang sama juga pernah dialami oleh megawati ketika Soeharto berkuasa, Megawati dan keluarga mantan Presiden Soekarno lainnya mengalami pemasungan politik oleh orde baru selama bertahun tahun, hingga peristiwa 27 Juli tahun 1996 adalah awal kebangkitan Megawati dalam menarik simpati masyarakat termasuk dunia internasional.



SBY juga diangap demikian, ia ditasbihkan sebagai simbol orang tertindas yang akan mampu melawan kekuatan yang menindasnya dan membalikkan keadaan. Penderitaan SBY yang dikucilkan dalam rapat rapat kabinet, hanya karena iklan 30 detik di beberapa stasiun televisi telah menempatkan rasa simpati masyarakat kepadanya. Hal kedua adalah dukungan mesin politik yang tertata rapi dan efisien, keberadaan partai demokrat yang baru dibuktikan pula dengan langsung masuk menembus lima besar dalam pemilihan legistlatif..adalah sebuah bukti bahwa jaringan politik yang baik dan tertata rapi serta dukungan penuh pemilih dapat dimanfaatkan. Orang orang dekat SBY di PD, kerja yang tidak banyak bicara serta strategi jitu telah mengantarkan SBY ke tanga urut nomor satu dalam Pilpres tahap pertama. Hal Ketiga adalah SARS (Sindrom Amat Rindu Soeharto) dan era militeristik yang ketat dan serba disiplin telah pula mengantarkan harapan masyarakat pada SBY agar mampu mengembalikan era kembali keseperti era soeharto. Pertanyaannya kenapa bukan Wiranto, Mbak Tutut, atau Prabowo Subianto yang jelas jelas dalam orasi dan famlet kampanyenya berjanji akan mengembalikan kejayaan seperti era Soeharto, jawabnya adalah masa lalu. Rakyat ini memang ingin kembali seperti ke zaman Soeharto. Tapi bukan bersama Wiranto, Tutut atau Prabowo yang sangat dekat dengan mantan penguasa orba itu. Rakyat memang ingin seperti dulu. Tapi yang mereka inginkan adalah suasana bukan orangnya.. Wiranto masih dianggap sebagai orang dekat Soeharto yang dimata masyarakat harus ditutup habis. Disamping banyak hal lain seperti keterlibatan Wiranto dalam kasus Timor Leste seperti yang dituduhkan oleh Amnesti Internasional kepadanya, meski Wiranto sudah membantahnya. Kasus Mei 1998 yang juga menyebut nyebut nama Wiranto sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kejadian itu. Serta yang paling gress adalah peryataan Wiranto yang akan tetap melindungi Soeharto dan keluarganya pasca pengunduran diri 21 Mei 1998 lalu adalah dosa politik yang sulit diterima oleh pemilih..



Yang keempat adalah faktor Megawati yang diangap gagal melanjutkan reformasi politik, meski sedikit sukses dalam pembangunan ekonomi, namun hal itu dianggap sebagai berkah dari membaiknya perekonomian regional dan bukan karena sukses Megawati dan kabinetnya. Masyarakat pada awalnya memang percaya bahwa Megawati akan mampu melanjutkan cita cita reformasi dan melakukan peneggakkan hukum. Akan tetapi jauh pangang dari api, masyarakat ternyata harus menelan kekecewaan. Megawati telah gagal mempertahankan simpati rakyat, isu isu privatisasi aset negara yang dilakukan oleh Laksanama Sukardi tokoh PDI-P, lemahnya penegakan hukum dan seabrek abrek kekecewaan lain telah menjatuhkannya dimata rakyat negara yang diproklamasikan sendiri oleh sang ayah.



Lalu bagaimana dengan Golkar…disinilah kehebatan mesin politik orde baru itu..jauh jauh sebelum konvensi pemilihan calon presiden dari partai Golkar dimulai tahun lalu, sang ketua umum Akbar tanjung sudah mengeluarkan peryataan bahwa Golkar tidak bergitu berminat dengan kursi RI1, bagi Golkar, kursi RI 2 juga boleh…sebuah peryataan yang sangat paradoks dengan gawean partai beringin ini yang akan menggelar konvensi menentukan cvalon presiden yang akan mereka usung. Itu jugalah sebabnya Golkar merelakan Yusuf kala maju mendampingi SBY dalam pemilihan presiden, seperti diketahui kala adalah salah seroang peserta konvensi yang mengundurkan diri beberapa hari menjelang final konvensi partai Golkar..bagi Golkar,,menguasal parlemen jauh lebih bermanfaat dari pada menguasai pemerintahan.. dengan menguasai parlemen, kendali politik dapat dimainkan. Sementara jika mengusai pemerintahan bagi Golkar mungkin belum saatnya. Sebab hal itu akan sangat rentan akan adanya perlawanan dari parlemen. Itulah sebabnya Golkar tampil habis habisan merebut kursi DPR, DPRD Propinsi dan Kabupaten serta kota..



Terbangnya Kalla ke partai Demokrat, diyakini Golkar membawa serta suara IRAMASUKA kelompok yang dikenal vokal menyuarakan pemerataan dikawasan timur. Terpilihnya Wiranto juga menguntungkan partai Golkar sendiri, termasuk sang ketua umum Akbar Tanjung, dapat dibayangkan apa jadinya partaio Golkar jika yang memenangkan konvensi adalah Akbar yang tengah terbelit kasus korupsi. Kalahnya Akbar dalam konvensi partai Golkar adalah berkah, karena dengan demikian, sinisme yang mengatakan bahwa konvensi adalah akal akalan untuk menjadikan akbar sebagai presiden mentah dengan sendirinya. Artinya Akbar selamat, dan Golkar juga tidak tercela.



Gejala kekalahan carpres Golkar dalam pemilihan presiden sudah terlihat sejak pemilu legislatif usai. Popularitas Wiranto dan Gus Sholah yang jauh dibawah SBY dan Kalla serta tidak efektifnya mesin politik partai Golkar dalam menjalankan fungsinya memenangkan Wiranto terlihat sejak awal. SBY yang di klaim sebagai capres jauh sebelum pemilu dimulai meski masih malu malu mengaku jadi Capres, jauh sebelumnya sudah melakukan persiapan matang ketika pemilu legislatif berlangsung, sementara Golkar menghadirkan kebingungan dengan peserta konvensinya yang belum juga diputuskan jadi pemenang. Wiranto baru dishakan jadi Capres setelah pemilu DPD/DPR/DPRD berakhir. Artinya warga baru menetapkan pilihan dalam waktu yang sangat singkat yaitu tiga bulan. Beda dengan SBY, Amien, Mega yang sudah maju jauh sebelum pemilu dimulai.



Koalisi Golkar dan PKB dalam memadukan Wiranto dan Solahuddin Wahid telah gagal dan diangap sebagai koalisi nostalgia. Bahkan jauh jauh hari koalisi ini sudah diangap gagal dan tidak pas..bagaimana mungkin PKB bersatu dengan Golkar. Gus Dur saja yang tokoh dan pendiri PKB sudah mengeluarkkan dekrit membubarkan Partai Golkar.



Meski dipandang tidak mungkin namun ada juga yang menilai koalisi ini akan mampu mentarkan Wiranto ke kursi Presiden, dengan dasar perolehan suara dalam pemilu terdahulu. Golkar yang meraih suara terbanyak serta basis masa PKB yang lumayan significant di Jawa Timur dan Tengah, akan tetapi mentah percuma setelah perhitungan berjalan lima puluh persen.



Wiranto/ Solah serta Amien/ Siswono harus tersingkir dari persaingan. Begitu juga dengan Hamzah/Agum yang malas malasan maju jadi Capres dan Cawapres. Kini marilah berhitung kemana suara akan diberikan pada tanggal 20 September nanti.



Hanya ada dua pilihan saat ini dan menunggu disyahkan kembali oleh KPU, SBY-Kalla dan Megawati Hasyim. Namun juga ada pilihan lain yang dipilih oleh sebagian masyarakat yaitu Golput. Sebuah pilihan yang harus diterima dan dipahami sebagai hak masyarakat.



Prediski pengamat politik menempatkan SBY-Kalla pada posisi teratas, namun disinilah mesin politik partai partai dan lobi elit politis harus kembali bekerja keras. Berbagai manuver sudah dilakukan, pertemuan pertemuan dengan dalih makan singkong bersama sudah dimulai, yang terbaru adalah pertemuan Gus Dur dan Megawati. Dua saudara lama ini kembali bertemu dan makan singkong bareng. Lalu dapatkah pertemuan ini diartikan sebagai dukungan Gus Dur.



Selain pertemuan antara Gus Dur dan Megawa juga ada pertemuan antara Megawati dan Siswono, Cawapres dari PAN, meski mengatakan bahwa pertemuannya hanya sebagai silaturrahmi biasa guna menjalin komunikasi politik, bagi pemilih ini tentu lain. Pertemuan Siswono dengan Mega dapat diartikan sebagai sebuah komitmen politik. Pertemuan itu bias diterjemahkan sebagai bahwa Siswono akan membawa organisasi yang dipimpinnya HKTI untuk memilih Megawati pada pemilu Pilpres tahap kedua.



Namun saya berkeyakinan dengan alasan pertama tadi, rakyat akan memilih SBY sebagai presiden mereka, karena mereka menginginkan yang baru, meski angka yang akan Golput diyakjini juga akan semakin meningkat...kita tidak boleh protes...karena Golput juga sebgai pilihan yang harus sama sama dihormati...







BLP







No comments:

Post a Comment