Wednesday 24 November 2010

Aku dan Mbah Sarimah, Refleksi Pengalaman Relawan Merapi


Pengalaman yang paling menyentuh selama menjai relawan saat tanggap darurat merapi adalah ketika bertemu langsung dengan salah seorang pengungsi. Namanya mbah Sarimah. Seorang pengungsi asal kabupaten Magelang yang jarak rumahnya sekitar 5 Km dari puncak Merapi. Mbah Sarimah hidup sebatang kara di Magelang, suaminya sudah meninggal dan tidak memiliki anak. Ia hidup hanya dengan saudara-saudaranya. Mbah sarimah tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi pada dirinya kelak ketika merapi sudah kembali sedia kala. Rumahnya hancur, binatang ternak entah keberadaannya dan ia kehilangan sepasang cincin pemberian si mbok. Ia sekarang sudah tidak memiliki apa-apa.

Mbah sarimah yang hidup sendiri dirumah yang kecil menceritakan kepada saya tentang kisah pilu yang menerpa dirinya ketika wedhus gembel menerjang desanya.

Ketika itu, setelah menunaikan sholat Isya di mesjid. Mbah sempat pulang ke rumah membuka lemari pakaian kemudian mencari cincin (ali-ali) yang ia simpan di lemari. Ketika cincin itu ia taruh di atas tempat tidur. Tiba-tiba keributan terjadi, seluruh warga desa teriak wehus gembel.. wedhus gembel.. Ia dijemput oleh saudaranya disuruh cepat-cepat keluar rumah hingga semuanya sangat panic. Ia melupakan cincin peninggalan orang tuanya begitu saja diatas meja. Hingga ia sadar ketika diatas truck yang membawanya bahwa cincin itu tertinggal diatas tempat tidur. Ia tidak sempat membawa apa-apa, yang ia bawa hanya sepasang baju dan jarit yang melekat ditubunnya dan satu lagi, ia hanya membawa sebuah tasbih, mukena dan sajadah lusuh yang biasa ia pakai untuk sholat (Subhanallah)

Mbah sarimah menceritakan pengalaman getir itu kepada saya dan kawan-kawan sambil menangis meneteskan air mata. Mbah menangis tersedu karena dia sekarang sudah tidak memiliki apa-apa. Seekor sapi yang biasa ia pelihara hilang entah kemana. Ia hanya menggantungkan hidupnya pada kuasa Yang Maha Kuasa. Ia bingung setelah semuanya selesai ia akan tinggal dimana. Rumahnya yang kecil sudah hancur tertimbun abu vulkanik. Ia mendapatkan informasi dr kepala dusun setempat. Pak kadus berkata bahwa desanya sudah tertutup abu vulkanik seluruhnya.

Mbah sarimah hanya pasrah kepada Allah, ia sekarang hanya mengikuti arus yang membawanya pergi entah kemana. Ia tidak tahu setelah ini akan tinggal dimana. Ia menceritakan pengalaman ini sambil tersedu-sedu (dengan menggunakan bahasa jawa). Sejak hujan abu vulkanik tersebut, kondisi kesehatan mbah sarimah semakin sering sakit-sakitan. Batuk yang semakin parah membuat tenggorokan sakit untuk memakan nasi sementara kondisi perut terasa lapar. Jadinya serba salah. Mau makan tenggorokan sakit, sementara perut terasa perih lapar.

Mbah Sarimah satu diantara sekian banyak pengungsi yang nasibnya masih tidak jelas. Tergantung-gantung tanpa kepastian. Dibalik itu semua, coba teman-teman bayangkan. Kami sat itu menemuinya disebuah mushola kecil ketika akan melaksanakan sholat duhur. Yang membuat hati ini terasa tidak berguna di depan Allah semangatnya tidak pernah padam memakmurkan mesjid ketika musibah menimpa, semangatnya untuk sujud selalu ia lakukan dari dulu sebelum bencana sampai sekarang. Buktinya, ketika semua orang panic, lupa dan kalut hingga lari tunggang langgang. Yang ia bawa hanya sebuah MUKENA, sebuah, SAJADAH dan TASBIH, itulah HARTA tersisa yang Allah beri agar Ia selalu ingat bahwa Allah selalu bersamanya. Yakinlah, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya.

Sampai berjumpa mbah sarimah, semoga ketabahan dan kesebaran mbah di dengar dan dikabulkan oleh Allah SWT. Sang Pemilik Semesta.

Ngluwar, Kab. Magelang, 21 November 2010 pukul 13.05 WIB

Salam hangat Relawan Merapi

dr. SRS

No comments:

Post a Comment