Thursday 29 May 2008

Mewaspadai Kriminalisasi terhadap DPRD

Boby Lukman Piliang
Peneliti Politik dan Parlemen Lokal YHB Indonesia Centre



Pertengahan bulan lalu, seorang anggota DPRD Kabupaten dari salah satu propinsi di Jawa Tengah bertanya kepada saya, apakah seharusnya dia membayar semua hutang yang timbul akibat penerimaan Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Bantuan Operasional Pimpinan (BOP) berdasarkan PP 37 tahun 2006, sementara uang yang diterimanya itu sudah habis terpakai untuk masyarakat (konstituennya), sementara PP 21/2207 yang merupakan revisi dari PP 37/2006 itu mewajibkannya untuk mengembalikan semua tunjangan yang diterimanya (anggota DPRD tersebut-pen).

Sejujurnya saya mau menjawab tidak perlu, karena sampai saat ini perdebatan tentang keberadaan PP 21/2007 tentang pasal krusial pengembalian TKI serta BOP masih berlangsung. Bukan karena saya memprovokasi para anggota dewan itu untuk melawan pada hukum yang berlaku, namun perlu juga sedikit membangkitkan nyali mereka untuk melawan sesuatu tindakan yang menempatkan mereka pada posisi sebagai pesakitan.

Saya tidak hendak membahas lebih jauh tentang PP 21/2007 pasal per pasal, atau juga membahas soal PP 37/2006 atau juga tentang provokasi saya terhadap anggota DPRD yang bertanya kepada saya dalam berbagai kesempatan. Sama sekali tidak, bukan aturan atau masalah tersebut yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Namun dibalik itu, ada satu point penting perlu dicermati oleh para anggota DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota menjelang akhir masa jabatan yang tinggal dalam hitungan bulan ini akan berakhir.

Kalau boleh disebut mengingatkan akan kenangan pahit di beberapa DPRD dan khususnya bagi DPRD Sumbar dan juga beberapa DPRD lainnya di belahan wilayah Indonesia yang mengalami frase menyakitkan sebagai terdakwa korupsi, saya hanya ingin memberikan sedikit gambaran tentang bahaya kirminalisasi terhadap DPRD di akhir masa jabatan.

Bagaimana tidak, fase fase menjelang akhir masa jabatan adalah fase krusial bagi DPRD untuk melanjutkan karir politik. Sebagai calon incumbent anggota DPRD periode 2004 – 2009 tentu berkeinginan untuk maju lagi dalam pemilihan umum legislative tahun 2009 yang akan datang, apakah akan “naik pangkat” ke DPR-RI atau juga ke DPRD propinsi bagi anggota yang saat ini duduk di kursi legislatif DPRD Kabupaten/kota.

Para anggota DPRD yang saat ini masih menjabat sebagai anggota DPRD kembali dihadapkan pada sebuah dilema yang dihadirkan oleh ketidaktegasan atau tepatnya kegamangan pemerintah pusat dalam menjalanlan otonomi daerah.

Seringkalinya terjadi pergantian peraturan pemerintah terkait keuangan DPRD mulai dari PP 24/2004 sebagai tindak lanjut keberadaan UU nomor 32/2004 hingga PP 37/2005 berlanjut ke PP 37/2006 dan terakhir PP 21/2007 adalah bukti sebuah ketidaksiapan pemerintah pusat dalam menjalankan tuntutan otonomi daerah.

Sebagai contoh, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam salah satu pasal di PP 37/2006 menyebutkan bahwa anggota DPRD berhak menerima rapelan tunjangan komuniksi intensif dan bantuan operasional pimpinan yang diatur berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang kemudian oleh pemerintah yang sama dan hanya berselang bulan dibatalkan dengan keberadaan PP 21/2007. Bahkan dalam pasal pasal di PP 21 tersebut juga disebutkan semua tunjangan yang sudah diterima atau juga bahkan sudah dipakai itu harus dikembalikan lagi kepada negara utuh.

Jelas ini mustahil dilakukan, karena uang yang sudah diterima oleh anggota DPRD yang jumahnya ribuan orang itu pasti sudah berpindah tangan kemana mana. Namun bukan pemerintah namanya jika bukan memaksakan kehendak, uang rapelan yang sudah diterima harus dikembalikan, juga akan menjadi kewajiban ahli waris untuk mengembalikan jika sang anggota DPRD meninggal.

Tentu ini bukan perkara biasa, pemerintah membuat aturan tentang rapelan TKI dan BOP bagi anggota parlemen lokal, namun kemudian mencabutnya dan meminta pengembalian. Jelas sebuah tindakan yang membingungkan DPRD.

Dalam bahasa kita sehari hari, barang yang sudah diterima jelas tidak bisa dikembalikan, namun oleh pemerintah itu justru tidak berlaku. PP 37/2006 adalah sebuah aturan hukum yang sah, namun oleh pemerintah sendiri aturan yang sah itu mereka anulir hanya karena desakan sebagian masyarakat yang tidak setuju jika anggota DPRD menerima tunjangan yang memang menjadi haknya.

Kekhawatiran saya, mungkin juga akan sama dengan kekhawatrian sebagian besar anggota DPRD saat ini yang sudah terlanjur menerima TKI dan BOP namun belum mengembalikan. Kekawatiran bahwa suatu hari nanti akan terjadi lagi peristiwa dimana banyak anggota DPRD berduyun duyun datang ke pengadilan negeri sebagai terdakwa kasus korupsi. Sebuah hal yang tentu mutlak tidak kita inginkan bersama.

Kriminalisasi DPRD, adalah kalimat yang menakutkan namun harus diantsipasi. Proses hukum yang dijalani oleh anggota DPRD terjadi karena para menjalankan peraturan yang “aneh” karena yang satu bilang boleh yang satu bilang tidak. Hal ini jelas menyebabkan munculnya kebingungan bagi DPRD dan celakanya bisa saja menjadi target politik tertentu.

Kita tentu berharap Mendagri segera menyelesaikan masalah ini, sehingga tidak terulang lagi dengan memaksakan anggota DPRD masuk penjara dan ditahan polisi untuk mengejar setoran angka-angka pemberantasan korupsi semata.

Ungkapan Ketua Komisi III, DPR-RI dari Fraksi PDI-P Yang terhormat Bapak Trimedya Panjaitan bahwa saat ini di Kejaksaan Agung ada 700 perkara dan sebanyak 70% merupakan perkara anggota DPRD, adlah angka yang membuat miris dan terasa menyesakkan dada. Satu pertanyaan muncul, kenapa ? namun kita belum juga menemukan jawabannya.***

No comments:

Post a Comment