Monday 12 May 2008

Bangsa yang Butuh Hiburan

Boby Lukman
Pengamat Politik YHB Indonesia




Sudah sejak awal tahun ini kita menyaksikan sebuah fenomena menarik dari perjalanan proses demokrasi di bangsa ini. Meski sesungguhnya itu sudah lama terjadi, namun, gejala semakin menguat ketika pada April lalu, apa yang sudah lama diprediksi akan terjadi menjadi kenyataan sebenarnya.

Gejala bangsa ini sangat ingin dan membutuhkan sebuah hiburan terlihat pertama kali pada pelaksanaan Pemilu 2004 lalu, dimana para artis/komedian dan pesohor di dunia showbiz berlomba-lomba masuk partai politik dan dicalonkan menjadi anggota parlemen. Ada yang terpilih, dan beruntung duduk di Senayan sebagai anggota DPR, seperti Marissa Haque, Adjie Massaid, Angelina Sondakh, Komaruddin, dan Yusuf Macan Effendi atau yang akrab disapa Dede Yusuf, namun ada juga yang kemudian harus menerima nasib mendulang suara terbanyak, tapi harus rela memberikan haknya kepada kandidat lain seperti NuruL Airifin. Namun yang jelas, gejala tersebut sudah ada dan kini kian nyata.

Sesungguhnya apa yang menjadi penyebab semua ini ?, kenapa para pesohor dunia gemerlap itu berpolitik atau diajak untuk masuk ke partai politik ?, apakah karena memang karena mereka mampu memainkan kartu kartu politik lalu kemudian membutuhkan sarana untuk itu ?, ataukah hanya untuk sebuah strategi atau vote getter belaka ?, yang jelas kehadiran mereka dipentas politik semakin membuat ranah perpolitikan kita semakin gemerlap dan bercahaya.
Sejenak marilah kita playback ke belakang, pada awal seruan reformasi disampaikan, sudah ada nama nama seperti Wanda Hamidah, Rieke Dyah Pitaloka dan Nurul Arifin sudah lebih dahulu masuk ke kancah politik. Mereka memang mampu menarik simpati warga, namun beberapa ilmuwan politik menyebutkan bahwa keberhasilan para artis menembus jajaran elit partai dan masuk ke gedung parlemen bukan dikarenakan oleh kemampuan (knowledge) namun lebih karena popularitas yang timbul karena keartisan mereka.

Di tahun 2004 fenomena ini makin menguat dengan semakin banyaknya para artis berpolitik (baca masuk ke partai politik). Nama nama seperti Chandra Utomo Samiaji Massaid, Angelina Sondakh, dan Yusuf Macan Efendi, dan H.Komaruddin melenggang ke Senayan. Tidak berhenti sampai disitu, partai kembali memakai popularitas sang artis untuk meraih kursi eksekutif. Jika pada pelaksanaan Pemilu legislatif banyak artis yang terpilih, maka pada pelaksanaan pilkada, ketenaran sang pesohor kembali dimanfaatkan. Nama nama seperti Marissa Haque Fauzi, SH muncul dalam persaingan memperebutkan kursi orang nomor satu di Propinsi Banten, kemudian disusul oleh nama Rano Karno, dan terakhir Dede Yusuf panggilan akrab dari Yusuf Macan Efendi.

Artis berpolitik sebenarnya tidak lepas dari kebutuhan masyarakat negeri ini akan hiburan yang mampu membuat mereka sejenak melupakan kesedihan. Masyarakat yang ikutan bingung karena pemerintahnya tidak tegas dalam berbagai hal. Ketidaktegasan dalam memberantas kasus korupsi yang dipertontonkan tanpa malu oleh sebagian orang di negeri ini serta marebaknya kesedihan akibat bencana alam dan kenaikan harga bahan pokok.

Kebutuhan akan hiburan itu kian jelas ketika banyak nama nama yang diprediksi akan memang karena kemampuan justru harus menelan pil pahit dikalahkan oleh si ganteng dan si cantik dari ranah show bizz.

Masyarakat kita juga semakin haus akan hiburan karena sudah terlalu banyak kemuraman yang terjadi akibat ulah para politisi lama yang seolah tak henti bertengkar dan memperebutkan kursi kekuasaan. Meski sesekali mereka mendapat angin segar dari sikap bermoral para politisi, namun lebih banyak yang mereka dapatkan adalah tontotan menjemukan yang memaksa mereka murka atau hanya terpaksa mengurut dada menyaksikan ulah politisi yang sudah kehilangan kendali diri.

Siapa akan menyangka, seorang Rano Karno yang seniman layar lebar serta Dede Yusuf yang pemain sinetron dan mantan atlet Tae Kwon Do akan terpilih. Cobalah tanya para ibu ibu di komplek perumahan, siapa yang akan mereka pilih ketika dalam pilkada ada artis yang menjadi calon, jawabannya pastilah si artis. Mereka (para ibu-ibu dan anak gadis itu) tidak peduli dengan kemampuan, bagi mereka hiburan ditengah kepedihan akibat kenaikan harga jauh lebih penting. Saya ingat ketika baru saja proses penjaringan nama calon Gubernur DKI dilakukan pada awal tahun lalu, seorang teman dari lembaga survey politik memperlihatkan hasil surveynya yang menempatkan nama Rano Karno sudah berada dalam tangga teratas sebagai calon gubernur ibukota.

Jadi tidaklah mengherankan jika pada Pilkada Kabupaten Tanggerang dilaksanakan Rano yang berpasangan dengan Ismet Abdullah melenggang ke kursi Wakil Bupati. Atau sekarang nama Dede Yusuf duduk di kursi yang lebih tinggi Wakil Gubernur di Jawa Barat.

Ungkapan bahwa mereka terpilih karena orang baru dan bebas dari kepentingan masa lalu tidak sepenuhnya bisa diamini, sebab justru di beberapa daerah calon calon incumbent juga meraih kemenangan.

Kita bisa saja kemudian menyebutkan bahwa bahwa masuknya artis ke ranah politik adalah karena peralihan agar kualitas diri mereka lebih terasah dan tidak hanya sekedar menebar pesona dilayar opera sabun yang membosankan.

Dilain pihak, partai politik juga perlu untuk menggaet para artis untuk terciptanya sebuah simbiosis yang saling menguntungkan, artis dapat jabatan, partai dapat kekuasaan. Bukankah ini sebuah sinergi yang saling menguntungkan satu sama lainnya.

Dalam ranah politik yang penuh warna, semestinya diperhitungkan oleh sang artis. Mengandalkan popularitas jelas tidak cukup untuk melawan derasnya persaingan dan intrik dalam pekatnya rimba perpolitikan. Artis juga dituntut memiliki konowlegde dan faham dalam membaca arah angin perpolitikan. Dengan arti kata, modal tampang tidak cukup untuk jika sudah masuk ke dunia yang satu ini.

Ungkapan bahwa dunia politik adalah dunia profesi, kian jelas harus dimodali oleh wawasan. Masyarakat akan lebih terhibur jika sang artis tidak hanya senyam senyum di kursi kedudukan yang berhasil diraihnya, namun juga berbuat nyata. Tuntutan akan realisasi janji kampanye justru akan menjadiu boomerang jiak sang artis lengah dan lupa akan hal hal tersebut.
Mereka para artis itu seperti lazimya dalam dunia hiburan, akan mudah dilupakan jika tidak mampu menampilkan kemampuan terbaiknya.

Saya kira tantangan terbesar bagi artis dalam berpolitik bukanlah pada bagaimana meraih simpati pemilih, namun pada bagaimana mereka kemudian mampu bermain apik sebagai politisi di banding berakting di layar kaca atau berseni peran di panggung hiburan. Bukankah kedua dunia ini jauh berbeda meski dalam beberapa sudut selalu ada kesamaan. ***

No comments:

Post a Comment