Saturday 31 May 2008

Menanti...

26 Mei 2008..
Aku disini, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang darimu...

Selamat ulang tahun ya...semoga bahagia..
Tahun lalu....

Sesaat sebelum semua terjadi..aku ingin ada sedikit cahaya sebagai petunjuk untuk keluar dari kegelapan ini...tidak apalah sedikit dan sesaat saja cahaya itu..tidak apalah, yang penting dia ada dan aku bisa mengikutinya lalu keluar dari ruang gelap dan pekat ini.
Pamit sesaat...

Jika kalian tidak keberatan..
Aku ingin sendiri dulu..
sudah lama benar rasanya tidak memberi diri ini apa yang dia butuhkan...
Lelah..........

Sudahlah...aku sudah lelah bertengkar...

Thursday 29 May 2008

Mewaspadai Kriminalisasi terhadap DPRD

Boby Lukman Piliang
Peneliti Politik dan Parlemen Lokal YHB Indonesia Centre



Pertengahan bulan lalu, seorang anggota DPRD Kabupaten dari salah satu propinsi di Jawa Tengah bertanya kepada saya, apakah seharusnya dia membayar semua hutang yang timbul akibat penerimaan Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Bantuan Operasional Pimpinan (BOP) berdasarkan PP 37 tahun 2006, sementara uang yang diterimanya itu sudah habis terpakai untuk masyarakat (konstituennya), sementara PP 21/2207 yang merupakan revisi dari PP 37/2006 itu mewajibkannya untuk mengembalikan semua tunjangan yang diterimanya (anggota DPRD tersebut-pen).

Sejujurnya saya mau menjawab tidak perlu, karena sampai saat ini perdebatan tentang keberadaan PP 21/2007 tentang pasal krusial pengembalian TKI serta BOP masih berlangsung. Bukan karena saya memprovokasi para anggota dewan itu untuk melawan pada hukum yang berlaku, namun perlu juga sedikit membangkitkan nyali mereka untuk melawan sesuatu tindakan yang menempatkan mereka pada posisi sebagai pesakitan.

Saya tidak hendak membahas lebih jauh tentang PP 21/2007 pasal per pasal, atau juga membahas soal PP 37/2006 atau juga tentang provokasi saya terhadap anggota DPRD yang bertanya kepada saya dalam berbagai kesempatan. Sama sekali tidak, bukan aturan atau masalah tersebut yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Namun dibalik itu, ada satu point penting perlu dicermati oleh para anggota DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota menjelang akhir masa jabatan yang tinggal dalam hitungan bulan ini akan berakhir.

Kalau boleh disebut mengingatkan akan kenangan pahit di beberapa DPRD dan khususnya bagi DPRD Sumbar dan juga beberapa DPRD lainnya di belahan wilayah Indonesia yang mengalami frase menyakitkan sebagai terdakwa korupsi, saya hanya ingin memberikan sedikit gambaran tentang bahaya kirminalisasi terhadap DPRD di akhir masa jabatan.

Bagaimana tidak, fase fase menjelang akhir masa jabatan adalah fase krusial bagi DPRD untuk melanjutkan karir politik. Sebagai calon incumbent anggota DPRD periode 2004 – 2009 tentu berkeinginan untuk maju lagi dalam pemilihan umum legislative tahun 2009 yang akan datang, apakah akan “naik pangkat” ke DPR-RI atau juga ke DPRD propinsi bagi anggota yang saat ini duduk di kursi legislatif DPRD Kabupaten/kota.

Para anggota DPRD yang saat ini masih menjabat sebagai anggota DPRD kembali dihadapkan pada sebuah dilema yang dihadirkan oleh ketidaktegasan atau tepatnya kegamangan pemerintah pusat dalam menjalanlan otonomi daerah.

Seringkalinya terjadi pergantian peraturan pemerintah terkait keuangan DPRD mulai dari PP 24/2004 sebagai tindak lanjut keberadaan UU nomor 32/2004 hingga PP 37/2005 berlanjut ke PP 37/2006 dan terakhir PP 21/2007 adalah bukti sebuah ketidaksiapan pemerintah pusat dalam menjalankan tuntutan otonomi daerah.

Sebagai contoh, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam salah satu pasal di PP 37/2006 menyebutkan bahwa anggota DPRD berhak menerima rapelan tunjangan komuniksi intensif dan bantuan operasional pimpinan yang diatur berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang kemudian oleh pemerintah yang sama dan hanya berselang bulan dibatalkan dengan keberadaan PP 21/2007. Bahkan dalam pasal pasal di PP 21 tersebut juga disebutkan semua tunjangan yang sudah diterima atau juga bahkan sudah dipakai itu harus dikembalikan lagi kepada negara utuh.

Jelas ini mustahil dilakukan, karena uang yang sudah diterima oleh anggota DPRD yang jumahnya ribuan orang itu pasti sudah berpindah tangan kemana mana. Namun bukan pemerintah namanya jika bukan memaksakan kehendak, uang rapelan yang sudah diterima harus dikembalikan, juga akan menjadi kewajiban ahli waris untuk mengembalikan jika sang anggota DPRD meninggal.

Tentu ini bukan perkara biasa, pemerintah membuat aturan tentang rapelan TKI dan BOP bagi anggota parlemen lokal, namun kemudian mencabutnya dan meminta pengembalian. Jelas sebuah tindakan yang membingungkan DPRD.

Dalam bahasa kita sehari hari, barang yang sudah diterima jelas tidak bisa dikembalikan, namun oleh pemerintah itu justru tidak berlaku. PP 37/2006 adalah sebuah aturan hukum yang sah, namun oleh pemerintah sendiri aturan yang sah itu mereka anulir hanya karena desakan sebagian masyarakat yang tidak setuju jika anggota DPRD menerima tunjangan yang memang menjadi haknya.

Kekhawatiran saya, mungkin juga akan sama dengan kekhawatrian sebagian besar anggota DPRD saat ini yang sudah terlanjur menerima TKI dan BOP namun belum mengembalikan. Kekawatiran bahwa suatu hari nanti akan terjadi lagi peristiwa dimana banyak anggota DPRD berduyun duyun datang ke pengadilan negeri sebagai terdakwa kasus korupsi. Sebuah hal yang tentu mutlak tidak kita inginkan bersama.

Kriminalisasi DPRD, adalah kalimat yang menakutkan namun harus diantsipasi. Proses hukum yang dijalani oleh anggota DPRD terjadi karena para menjalankan peraturan yang “aneh” karena yang satu bilang boleh yang satu bilang tidak. Hal ini jelas menyebabkan munculnya kebingungan bagi DPRD dan celakanya bisa saja menjadi target politik tertentu.

Kita tentu berharap Mendagri segera menyelesaikan masalah ini, sehingga tidak terulang lagi dengan memaksakan anggota DPRD masuk penjara dan ditahan polisi untuk mengejar setoran angka-angka pemberantasan korupsi semata.

Ungkapan Ketua Komisi III, DPR-RI dari Fraksi PDI-P Yang terhormat Bapak Trimedya Panjaitan bahwa saat ini di Kejaksaan Agung ada 700 perkara dan sebanyak 70% merupakan perkara anggota DPRD, adlah angka yang membuat miris dan terasa menyesakkan dada. Satu pertanyaan muncul, kenapa ? namun kita belum juga menemukan jawabannya.***
Saat saat menjalang akhir...?

Entahlah...selalu saja seperti ini kalau akan berakhir...tidak fokus, mulai mencle mencle dan bertengkar dengan diri sendiri..Sampai kapan Bo..? sampai kapan akan terus seperti ini..?
Kematian dan Ketakutan........

Siapkah kita menghadapi kematian yang begitu tiba tiba...entahlah..masing masing kita tentu punya jawaban..saya, anda dan kita semua tentu punya pandangan berbeda soal yang satu ini...

Beberapa waktu lalu aku sempat mempertanyakan kenapa harus takut akan kematian, dan kenapa pula harus melarikan diri dari itu..? Kematian adalah fase terakhir dari manusia menuju alam baru yang kekal. Sebab siapaun dia dan dimanapun berada kematian akan datang. Seperti saya yang mendapat kabar bahwa orang orang yang saya kenal mengalami kejadian itu.

Cuma aku nggak mau melewati pintu itu tanpa persiapan yang baik. Karena sebaik baik hidup adalah berbuat baik dan sepatutnya lah kematian adalah kematian yang sebaik baiknya..

Aku menyaksikan dengan jelas ketika Ibu meninggal, Ibu pergi dalam keadaan tersenyum seusai kami membaca Al Fathihah. Dan tentu saja aku juga ingin pergi sambil tersenyum dan membaca Al Fathihah serta bersahadat kepadaNya.

Aku ingin hidup seribu tahun lagi agar bisa mempersiapkan diri dengan baik, karena sebaik baiuknya kematian adalah kematian yang orang yang berbuat baik sesamanya. Amiin..
Satu Persatu Semua Pergi....!!!

Sekarang satu persatu semua orang yang kukenal dan mengenal ku pergi menghadapNya..Sudah pasti aku akan menyusul, namun kepan...Aku tidak tahu...Semua adalah rahasiaNya..

Semoga aku kembali padaNya dalam keadaan yang baik dan sebaik baiknya kepergian..Amiin

Friday 23 May 2008

Ganti Lay Out............

Terima kasih...sudah mau berkunjung dan mengisi buku tamu...

Monday 12 May 2008

Bangsa yang Butuh Hiburan

Boby Lukman
Pengamat Politik YHB Indonesia




Sudah sejak awal tahun ini kita menyaksikan sebuah fenomena menarik dari perjalanan proses demokrasi di bangsa ini. Meski sesungguhnya itu sudah lama terjadi, namun, gejala semakin menguat ketika pada April lalu, apa yang sudah lama diprediksi akan terjadi menjadi kenyataan sebenarnya.

Gejala bangsa ini sangat ingin dan membutuhkan sebuah hiburan terlihat pertama kali pada pelaksanaan Pemilu 2004 lalu, dimana para artis/komedian dan pesohor di dunia showbiz berlomba-lomba masuk partai politik dan dicalonkan menjadi anggota parlemen. Ada yang terpilih, dan beruntung duduk di Senayan sebagai anggota DPR, seperti Marissa Haque, Adjie Massaid, Angelina Sondakh, Komaruddin, dan Yusuf Macan Effendi atau yang akrab disapa Dede Yusuf, namun ada juga yang kemudian harus menerima nasib mendulang suara terbanyak, tapi harus rela memberikan haknya kepada kandidat lain seperti NuruL Airifin. Namun yang jelas, gejala tersebut sudah ada dan kini kian nyata.

Sesungguhnya apa yang menjadi penyebab semua ini ?, kenapa para pesohor dunia gemerlap itu berpolitik atau diajak untuk masuk ke partai politik ?, apakah karena memang karena mereka mampu memainkan kartu kartu politik lalu kemudian membutuhkan sarana untuk itu ?, ataukah hanya untuk sebuah strategi atau vote getter belaka ?, yang jelas kehadiran mereka dipentas politik semakin membuat ranah perpolitikan kita semakin gemerlap dan bercahaya.
Sejenak marilah kita playback ke belakang, pada awal seruan reformasi disampaikan, sudah ada nama nama seperti Wanda Hamidah, Rieke Dyah Pitaloka dan Nurul Arifin sudah lebih dahulu masuk ke kancah politik. Mereka memang mampu menarik simpati warga, namun beberapa ilmuwan politik menyebutkan bahwa keberhasilan para artis menembus jajaran elit partai dan masuk ke gedung parlemen bukan dikarenakan oleh kemampuan (knowledge) namun lebih karena popularitas yang timbul karena keartisan mereka.

Di tahun 2004 fenomena ini makin menguat dengan semakin banyaknya para artis berpolitik (baca masuk ke partai politik). Nama nama seperti Chandra Utomo Samiaji Massaid, Angelina Sondakh, dan Yusuf Macan Efendi, dan H.Komaruddin melenggang ke Senayan. Tidak berhenti sampai disitu, partai kembali memakai popularitas sang artis untuk meraih kursi eksekutif. Jika pada pelaksanaan Pemilu legislatif banyak artis yang terpilih, maka pada pelaksanaan pilkada, ketenaran sang pesohor kembali dimanfaatkan. Nama nama seperti Marissa Haque Fauzi, SH muncul dalam persaingan memperebutkan kursi orang nomor satu di Propinsi Banten, kemudian disusul oleh nama Rano Karno, dan terakhir Dede Yusuf panggilan akrab dari Yusuf Macan Efendi.

Artis berpolitik sebenarnya tidak lepas dari kebutuhan masyarakat negeri ini akan hiburan yang mampu membuat mereka sejenak melupakan kesedihan. Masyarakat yang ikutan bingung karena pemerintahnya tidak tegas dalam berbagai hal. Ketidaktegasan dalam memberantas kasus korupsi yang dipertontonkan tanpa malu oleh sebagian orang di negeri ini serta marebaknya kesedihan akibat bencana alam dan kenaikan harga bahan pokok.

Kebutuhan akan hiburan itu kian jelas ketika banyak nama nama yang diprediksi akan memang karena kemampuan justru harus menelan pil pahit dikalahkan oleh si ganteng dan si cantik dari ranah show bizz.

Masyarakat kita juga semakin haus akan hiburan karena sudah terlalu banyak kemuraman yang terjadi akibat ulah para politisi lama yang seolah tak henti bertengkar dan memperebutkan kursi kekuasaan. Meski sesekali mereka mendapat angin segar dari sikap bermoral para politisi, namun lebih banyak yang mereka dapatkan adalah tontotan menjemukan yang memaksa mereka murka atau hanya terpaksa mengurut dada menyaksikan ulah politisi yang sudah kehilangan kendali diri.

Siapa akan menyangka, seorang Rano Karno yang seniman layar lebar serta Dede Yusuf yang pemain sinetron dan mantan atlet Tae Kwon Do akan terpilih. Cobalah tanya para ibu ibu di komplek perumahan, siapa yang akan mereka pilih ketika dalam pilkada ada artis yang menjadi calon, jawabannya pastilah si artis. Mereka (para ibu-ibu dan anak gadis itu) tidak peduli dengan kemampuan, bagi mereka hiburan ditengah kepedihan akibat kenaikan harga jauh lebih penting. Saya ingat ketika baru saja proses penjaringan nama calon Gubernur DKI dilakukan pada awal tahun lalu, seorang teman dari lembaga survey politik memperlihatkan hasil surveynya yang menempatkan nama Rano Karno sudah berada dalam tangga teratas sebagai calon gubernur ibukota.

Jadi tidaklah mengherankan jika pada Pilkada Kabupaten Tanggerang dilaksanakan Rano yang berpasangan dengan Ismet Abdullah melenggang ke kursi Wakil Bupati. Atau sekarang nama Dede Yusuf duduk di kursi yang lebih tinggi Wakil Gubernur di Jawa Barat.

Ungkapan bahwa mereka terpilih karena orang baru dan bebas dari kepentingan masa lalu tidak sepenuhnya bisa diamini, sebab justru di beberapa daerah calon calon incumbent juga meraih kemenangan.

Kita bisa saja kemudian menyebutkan bahwa bahwa masuknya artis ke ranah politik adalah karena peralihan agar kualitas diri mereka lebih terasah dan tidak hanya sekedar menebar pesona dilayar opera sabun yang membosankan.

Dilain pihak, partai politik juga perlu untuk menggaet para artis untuk terciptanya sebuah simbiosis yang saling menguntungkan, artis dapat jabatan, partai dapat kekuasaan. Bukankah ini sebuah sinergi yang saling menguntungkan satu sama lainnya.

Dalam ranah politik yang penuh warna, semestinya diperhitungkan oleh sang artis. Mengandalkan popularitas jelas tidak cukup untuk melawan derasnya persaingan dan intrik dalam pekatnya rimba perpolitikan. Artis juga dituntut memiliki konowlegde dan faham dalam membaca arah angin perpolitikan. Dengan arti kata, modal tampang tidak cukup untuk jika sudah masuk ke dunia yang satu ini.

Ungkapan bahwa dunia politik adalah dunia profesi, kian jelas harus dimodali oleh wawasan. Masyarakat akan lebih terhibur jika sang artis tidak hanya senyam senyum di kursi kedudukan yang berhasil diraihnya, namun juga berbuat nyata. Tuntutan akan realisasi janji kampanye justru akan menjadiu boomerang jiak sang artis lengah dan lupa akan hal hal tersebut.
Mereka para artis itu seperti lazimya dalam dunia hiburan, akan mudah dilupakan jika tidak mampu menampilkan kemampuan terbaiknya.

Saya kira tantangan terbesar bagi artis dalam berpolitik bukanlah pada bagaimana meraih simpati pemilih, namun pada bagaimana mereka kemudian mampu bermain apik sebagai politisi di banding berakting di layar kaca atau berseni peran di panggung hiburan. Bukankah kedua dunia ini jauh berbeda meski dalam beberapa sudut selalu ada kesamaan. ***