Sunday 2 June 2013

LIPPO GROUP DAN MOCHTAR NAIM


Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah Surat Terbuka dari Cendikiawan Dr. Mochtar Naim yang ditujukan kepada H. Irman Gusman Ketua DPD-RI yang juga anggota DPD utusan Propinsi Sumarera Barat. Surat tersebut, beredar dan menjadi bahan perdebatan di milis Rantau Net tempat dimana Pak Mochtar Naim menuliskannya pertama kali. Bagi saya apa yang ditulis oleh Mochtar Naim itu sangatmenggoda untuk dikomentari. Seiring berita tentang investasi Group Lippo di Kota Padang yang telah juga menjadi pro dan kontra. Surat Terbuka itu ditujukan kepada Ketua DPD RI, Irman Gusman, yang berisi tuduhan dan sindiran keras.

Setelah mencermati paragraf demi paragraf dari Surat Terbuka tersebut, saya akhirnya memberikan beberapa catatan penting.  Hal itu saya lakukan bukan bermaksud untuk membela Group LIPPO, Irman Gusman atau bahkan bersetuju dengan Dr. Mochtar Naim, tetapi hanya ingin menyumbangkan pemikiran atas perkara yang sedang dihadapi.


Saya tidak punya kepentingan apa-apa terhadap persoalan pembangunan RS Siloam dari Group Lippo di Jalan Khatib Sulaiman itu, namun tulisan Dr. Mochtar Naim menurut saya terkesan tendensius dalam menyampaikan maksud. Sungguh tulisan itu berbeda dengan tulisan Mochtar Naim selama ini. Tulisan itu menilai James T. Riady Pimpinan Group Lippo menjalankan misi kristenisasi di bumi Ranahminang.


“Semua orang tahu, bahwa RS Siloam dan sekolah tersebut adalah bahagian yang tak bisa dilepaskan dari upaya James T Riady, sebagai bahagian dari upaya kristenisasi yang dilakukannya di mana-mana.”


Kalimat ini sangat tak patut keluar dari salah seorang sosiolog, cendikiawan yang sangat dihormati di jagad akademik. Tokoh sekaliber Mochtar Naim rasanya tidak patut untuk menulis seperti itu, dan juga saya sangat menyayangkan bisa terjebak dengan anggapan itu. Sungguh bukan sebuah tulisan yang elok.


Saya mengenal Pak Mochtar Naim secara dekat, sejak ia menjadi Ketua DPW Partai Ummat Islam (PUI) Sumbar 1998-2000. Bahkan saat ia menjadi anggota MPR-RI dan anggota DPD RI. Tidak itu saja, saya juga mengenal keluarga besarnya. Atas dasar itu, Saya terkejut, sekaligus kecewa ketika Surat Terbuka diupload ke milis, kenapa pemikiran orang yang saya kagumi itu bisa seperti ini. Ada apa?


Saya sangat menghormati Mochtar Naim. Ia inspirasi anak muda seperti saya. Ketika rezim orde baru berkuasa, ia memiliki sikap yang mampu membawa magnet idealisme anak-anak muda seperti saya untuk melawan. Artinya, ada alasan tertentu bagi seorang Mochtar Naim sampai pada silogisme yang demikian pada Surat Terbuka itu. Tetapi, jika saya ingin setuju dengan pendapat itu, Mochtar Naim  haruslah memaparkan bukti konkrit dari apa yang telah dituduhkan kepada James T. Riady. Kalau tidak ada, minta maaflah! Tidak elok, menuduh seperti itu.


Iman dan Investasi


Kita telah memilih jalan pasar bebas! Sebuah sikap siap tidak siap menerima bagaimana pasar itu berhak untuk siapa saja yang siap menawarkan kehadapan public, yang tentu saja semua harus dimulai dan beranjak dari aturan-aturan yang berlaku serta mesti kita hormati. Bukankah kita orang Minangkabau ini terkenal sangat Egaliter dan itu selalu yang dibangga banggakan.


Ketakutan atas misi kristenisasi di Ranahminang patut dimaklumi dan itu menjadi ranah lain,  tetapi soal investasi adalah domain lain. Kita tidak bisa mencampur-adukannya tanpa menggunakan akal sehat? Rancu jadinya nanti jika kita mencampur adukkan antara sebuah aktifitas ekonomi dengan isu isu SARA. 

Investasi Group Lippo, seperti diberitakan media massa, mencapai Rp. 1,3 Triliun --- sebuah angka yang besar. Mengucurkan dana sebesar itu, bukan perkara mudah dalam konteks hari ini, apalagi di ranahminang. Dimana isu gempa, isu tanah ulayat, terus menghantui investor. 


Tidak itu saja, effect dari investasi sebesar itu nantinya diberitakan akan akan mampu menyerap paling tidak 4000-an tenaga kerja dalam berbagai bidang. Mulai dari dokter, perawat, tenaga professional bidang perhotelan dan segala macamnya. Dalam konteks ini, ia menjadi ranah ekonomi pembangunan yang positif! Rembesan sebuah badan usaha besar yang hadir, akan mempengaruhi harga properti di Kota Padang. Besar kecil akan terimbas tentunya. Ini adalah harapan besar bagi anak kemanakan yang hidup di tanah penuh terror bencana ini.



Jika saja pihak Group Lippo mulai memikirkan isu sensitif ini, lalu menarik diri, dalam bahasa anak mudanya Ngambek  lalu membatalkan investasinya, bukankah ini bisa memupuskan harapan besar itu? Saya sampai bercanda dengan teman, Kemana uang itu akan kita cari dan bagaimana pula rasa hati anak anak yang berharap akan mendapatkan pekerjaan.


Gerakan Lippo Group yang bersedia menanamkan uangnya untuk berinvestasi di Sumbar, secara tidak langsung juga akan member stimulus bagi investor lain agar penanaman modal di Sumbar terus bertambah dari waktu ke waktu. Angka kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan. Ingat, gempa bumi 2005, 2007 dan 2009 telah meluluhlantakkan keadaan. Tidak hanya bangunan tapi juga mental anak kemanakan.


Lalu, apakah kita bisa terpancing saja dengan isu SARA seperti Kristenisasi ini? Mana bukti atas ketakutan itu? Kita tanpa sadar mencerabut diri dari akar pemikiran ranah sendiri, yang bisa menerima perubahan. Apakah dengan pembangunan Sekolah Pelita Harapan, RS Siloam, sebagai alat untuk mengkristenkan orang Minang? Naif sekali tuduhan ini. Begitu mudahkah aqidah kita berubah?


Soal data Pak Mochtar tentang turunnya angka penganut Islam di Sumbar, tidak sepenuhnya bisa dipercaya disebabkan oleh adanya kritenisasi, bisa jadi jumlah kelahiran factor lain. Seperti angka kelahiran dan perpindahan penduduk. Pak Mochtar tentu tahu bahwa kesulitan ekonomi di kampung menyebabkan banyak diantara sanak saudara kita bermigrasi ke daerah lain mencari penghidupan. 


Cobalah cek ke RS Siloam yang sudah ada, apakah ada pasien muslim yang dirawat di RS itu lalu kemudian mengganti aqidahnya seusai dirawat ? Bahkan kalau tidak salah, salah satu putra Pak MN Uda Emil Naim pernah pula dirawat di RS Siloam Gleneangles dulu. Puteri beliau Meuthia juga lahir di Mount Elizabeth Hospital Singapura, ia tetap muslim sampai saat ini bahkan berhijab. Tidak ada yang salah dengan RS Siloam itu. Tidak ada. Ini investasi bukan pekerjaan sesat. 


Tuduhan ke Irman Gusman

Lalu soal tuduhan kepada Irman Gusman, politisi Ranahminang yang juga Ketua DPD-RI itu, terlepas dari pandangan masih ada kekurangan yang mungkin saja masih terasa, tetapi paling tidak, ada yang patut dibanggakan dari ranah ini. Masih ada putra terbaik yang menjadi penerus dari orang-orang besar dari Ranahminang ini.

Pak Mochtar memang menggunakan kata “Kalaupun” namun, alangkah terkejutnya kita, ada kalimat seperti itu dari Pak Mochtar Naim terhadap Irman Gusman. Irman dalam surat Pak Mochtar ditakutkan menerima bantuan terkait dana dari Group Lippo untuk menjadi Calon Presiden. Sinyalemen ini sangat terasa lebay dan tidak mendasar.

Saya kenal Irman Gusman juga seperti mengenal Mochtar Naim. Bahkan saya mengenalnya lebih dekat dari Pak Mochtar Naim mengenalnya. Meski keduanya pernah bersama-sama di DPD. Membaca buku Irman Gusman yang ditulis Uda Hasril Chaniago, kita tahu, Irman Gusman itu anak orang kaya. Dia sudah punya uang berlebih semenjak kecil. Menjadi Calon Presiden yang dilakukannya saat ini adalah untuk berbuat pada negerinya. Apa kita tidak bisa sedikit berbangga atas ini.

Saya juga tidak yakin Irman Gusman terpilih! Catat itu.  Jujur saja, seperti yang pernah ia sampaikan kepada saya, meski 100 persen pemilih Sumbar memilih Irman Gusman sebagai Presiden pada pilpres 2014 yang akan datang, tidak jaminan dia akan menang di Pilpres. Saya pribadi melihat langkah Uda Irman Gusman adalah langkah untuk menunjukkan dan mengajak anak-anak muda lainnya untuk maju, agar tercipta regenerasi politik politisi di NKRI ini. 

Rasionalitas Persoalan

Atas semua itu, kita memang akhirnya dituntut tidak sekedar menerima berita sekilas dan langsung menelannya bulat-bulat. Investasi punya cara kerja tersendiri dalam kehidupan ini. Sementara, iman ada di dada dan jadi pegangan diri. Dua hal yang berbeda tidak bisa serta merta punya hubungan yang linear. Kalaupun ada, kita patut curiga dan menyelesaikannya. Tidak bisa menduga dan memvonis sesegera mungkin.

Kearifan budaya kita menghendaki kita agar cerdas menyikapi masalah. Tidak mudah diprovokasi dan terpancing emosi yang justru akan merugikan lebih banyak pihak. Bisa kita bayangkan, pembangunan Mall, Hotel, Sekolah dan Rumah Sakit ini tentu akan membutuhkan setidaknya 60 sampai 70 persen konten local seperti pasir, tanah, batu bata, Semen dan lain sebagainya. Sebuah simbiosis mutualisme akan terjadi dengan sendirinya.


Bagi saya, Pak Mochtar Naim, adalah seorang ilmuan hebat, beliau menjalani kehidupan di banyak negara di belahan dunia ini, kuliah di Jogja, melanjutkan study S2 Montreal Kanada, lalu berpindah ke New York, Singapura, Jepang lama di Makassar, lalu pernah pula ke Inggris, dan Amerika tentu sudah banyak pengalaman. Karena sebagian besar hidup dilalui di luar negeri, banyak ilmu dan pengalaman yang didapatkan. 

Agaknya, perlulah berbagi dengan kami yang muda-muda ini. Berikanlah kearifan.. Apakah sekali ini, sedikit tergelincir dari logika akademik, lalu pincang dan sumbang dalam berpendapat? Semoga itu sebenarnya yang terjadi. Salam hormat! [] 



No comments:

Post a Comment