Sunday 15 February 2009

Telaah Kritis Otonomi Daerah

Masih terngiang tentunya dibenak kita ketika hamper seluruh stasiun televise menyiarkan berita yang sampai sekarang masih menghebohkan. Kasus meninggalkan ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat karena tindakan brutal dan anarkis yang dilakukan oleh massa yang mengatasnamakan rakyat yang menghendaki berdirinya Provinsi Tapanuli. Tindakan represif yang dilakukan oleh massa sangat mencoreng substansi demokrasi sesungguhnya. Tindakan yang brutal tersebut akhirnya menjerumuskan tokoh – tokoh intelektual yang berperan dalam suksesi berdirinya Protap (Provinsi Tapanuli) dan yang paling miris adalah keterlibatan mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change.

Hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi jika aparat kemanan bertindak tegas dan sigap alam pengamanan demo anarkis tersebut. Bukan saatnya saling tuduh siapa yang salah karena secara yuridis sudah terbukti siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggung jawab. Pencekalan beberapa tokoh Protap dan kesigapan Kapolri untuk langsung memberhentikan structural Polda Sumut yang dinilai gagal dalam menjalankan tugas. Bukan hanya itu, tokoh BEM Sisingamangaraja yang berperan pun tidak luput dari penahanan. Tindakan yang menurut penulis cukup tegas sehingga komitment untuk menjaga rambu-rambu demokrasi tetap dapat terjaga.

Kasus yang terjadi di Sumut cukup dijadikan referensi saja agar didaerah lain hal serupa tidak terjadi kembali agar wajah demokrasi yang sudah tercoreng tidaka tambah tercoreng dengan tindakan anarkis tersebut. Perlu adanya evaluasi sistemik tentang konsep otonomi daerah yang menurut hemat penulis merupakan factor presipitasi terjadinya demo anarkis tersebut. Tentunya pemerintah, Anggota Dewan yang terhormat, masyarakat dan mahasiswa sebagai penjaga demokrasi harus berperan aktif dalam mencari jalan keluar terbaik terhadap permasalahan ini.

Jika kita cermati tentang UU No 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, menurut penulis masih banyak kelonggaran-kelonggaran yang sangat memudahkan setiap daerah untuk memiliki otonomi untuk dapat berpisah dari kabupaten induk. walaupun dalam petunjuk pelaksanaan UU tersebut sudah diatur dalam PP No 78 tahun 2008 masih saja masih “kecolongan”. Perlu adanya peraturan yang lebih ketat sehingga tidak semudah itu setiap daerah ingin memekarkan daerahnya. Jika peratura disusun lebih ketat dan transparan tentunya setiap daerah akan berfikir dua tiga kali. Bukan artinya dengan peraturan yang ketat bermaksud mengganjal desentralisasi sebagai amanat amandemen UUD 1945. Hanya saja, hal tersebut terlalu mudah untuk dipolitisir oleh kepentingan segelintir orang yang mengatasnamakn rakyat menginginkan kekuasaan absolute.

Fungsi aturan yang ketat tersebut adalah agar setiap daerah benar-benar harus mengkaji dan menganalisa factor kependudukan, factor keuangan, factor ekonomi dan factor potensi daerah guna menjamin kesejehteraan rakyat. Ketika daerah tersebut lepas dari daerah induk tentunya daerah tersebut harus siap dengan segala SDM dan SDA sehingga output kesejahteraan rakyat benar-benar dapat tercapai. Bukan malah sebaliknya, dengan berpisah dari daerah induk malah terjadi retrogresifitas pembagunan dan kesejahteraan rakyat.

Sudah sepuluh tahun otonomi digulirkan. Selama sepuluh tahun tersebut sudah ada sekitar 200 provinsi, kabupaten dan kota yang dimekarkan. Bisa dibayangkan, sejak pertama kali konsep otda ini digulirkan sudah berapa kali pilkada dilakukan dan itu tidak sediki uang yang dihambur-hamburkan, sudah triliunan uang rakyat dibuang hanya untuk memasung demokrasi sebagai semangat desentralisasi. Belum lagi aksi pendukung dari masing-masing calon yang tidak suka jika jagoannya kalah dalam pilkada. Dengan dalih kecurangan, penggelembungan suara dan intimidasi sehingga sedikit-sedikit harus dibawa ke MK menurut hemat penulis bukan sebuah solusi yang cerdas bagi demokrasi. memang masih ada alibi, bagi sebagian orang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi demokrasi. Justru menurut penulis Demokrasi sendiri akan menangis, hatinya merasa disayat-sayat jika demokrasi bisa divisualisasikan . Apakah dengan darah, dengan luka dan dengan kekerasan merupakan bagian dari konsekuensi demokrasi? Apakah dengan triliunan rupiah mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang qualified? Semua itu merupakan spekulasi. Spekulasi yang semakin hari akan menjadi kronis jika sistem tentang otonomi daerah ini tidak dievaluasi justru akan mendatangkan bencana peradaban manusia yang haus kekuasaan.

Sudah saatnya sistem ini dievaluasi. STOP Pemekaran daerah untuk sementara ini. Biarkan bangsa ini focus kedepan karena didepan ada pemilu yang sudah siap menghadang. Setelah Pemilu dengan semangat era kepemimpinan yang baru akan diformulasikan konsep pemekaran daerah yang accountable sehingga daerah harus lebih siap dalam menyongsong era desentralisasi yang sesungguhnya dimana memerlukan kerja keras dan semangat yang pantang menyerang untuk tetap mejaga persatuan dan kesatuan bangsa.

No comments:

Post a Comment