Tuesday 17 February 2009

Realita dan Idealita Pasien Skizofrenia

REALITA


Stigma yang muncul di masyarakat ketika mendengar pasien skizofrenia adalah skeptisme bahwa orang dengan gangguan jiwa merupakan aib dalam keluarga dan masyarakat sehingga banyak dikucilkan, bukan hanya dalam masyarakat tetapi juga oleh keluarga sehingga kecenderungan dibuang dan dikucilkan oleh lingkungan. Tidak jarang ditemukan dalam masyarakat orang tua yang membuang anaknya sendiri atau mencampakkan keluarganya karena penyakit yang disebut banyak orang dengan sebutan penyakit jiwa ini. Keluarga cenderung tidak mau mengurus orang dengan gangguan jiwa karena merepotkan, menyita waktu dan menguras tenaga. Keluarga harus mengontrol minum obat pasien kemudian mengawasi aktivitas sehari-hari dan lain sebagainya sedangkan masyarakat pun gerah dengan tingkah polah pasien skizofrenia karena kecederungan pasien agitatif seperti melempari rumah tetangga, merusak barang-barang dan sebagainya.


Pasien skizofrenia adalah bagian integral dari masyarakat, hanya saja proporsi dalam menempatkan pasien tersebut haruslah tepat. Kita sebagai bagian dari masyarakat harus melihat pasien ini secara holistik tidak parsial karena sekali lagi saya tekankan bahwa pasien skizofrenia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial.


Stigma dalam masyarakat yang mendeskriditkan pasien skizofrenia haruslah di insisi perlahan-lahan. Fenomena yang muncul dalam masyarakat bahwa pasien gangguan jiwa merupakan aib masyarakat sehingga dengan semudah itu masyarakat menginjak-injak hak dan martabat. Ekuivalen dengan hal tersebut pasien skizofrenia merupakan sampah yang harus disingkirkan atau dimarginalkan dalam lingkungan sosial. Anggapan yang salah dan keliru jika pemahaman yang dangkal tersebut terus menerus terpatri dalam pikiran person by person. Mereka lupa bahwa hak-hak mereka juga diatur sama dalam UUD 45 sama dengan manusia sehat lainnya. Sehingga tidak ada alasan yang esensi ketika mereka kembali ke masyarakat lantas kemudian masyarakat memerginalkan mereka. Pelaggaran yang sangat mendasar dalam perspektif hukum dan HAM. Menurut hemat penulis hal tersebut sudah merupakan pelaggaran HAM yang harus ditindak tegas.

IDEALITA


Berangkat dari permasalahan tersebut secara idealita, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang dapat melegitimasi pasien skizofrenia. UU tersebut dapat menjadikan kontrol yang sifatnya tegas dan mengikat sehingga pasien skizofrenia tidak dipandang dengan mata kiri saja. Secara implisit sebenarnya masalah hak dan kewajiban warga negara dan jaminan kebebasan berkumpul sudah dijelaskan dalam UUD 1945, bahkan dijelaskan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Secara substatitf pasal tersebut mengejawantahkan setiap warga negara yang termasuk golongan tidak mampu dilindungi oleh negara termasuk pasien skizofrenia. Argumentasi penulis didasarkan bahwa pasien skizofrenia tidak mampu bukan hanya dalam finansial (kebanyakan pasien skizofrenia dari kalangan ekonomi lemah), tetapi juga ketidak mampuan dalam hal penyesuaian diri di lingkungan sosial serta tidak mampu karena mereka sakit yang disebabkan bukan hanya karena gangguan organik tetapi juga gangguan non organik.


Perlunya UU yang dapat secara eksplisit mengatur bahwa pasien skizofrenia memiliki hak yang sama dalam hubungan dimasyarakat. Sehingga tidak ada alibi bagi masyarakat untuk memerginalkan pasien tersebut. Sangsinya pun harus jelas dan tidak bisa hanya sangsi yang bersifat moral dan hukum adat. Akan tetapi juga sangsi pidana. Undang-undang tersebut juga tidak membatasi harus memiliki hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Dalam arti lain bahwa pasien skizofrenia juga berhak menjadi pemimpin berhak dipilih dan memilih. Hal ini pastinya akan menimbulkan pro dan kontra, menurut hemat penulis memang dalam penyusunan draft UU tersebut tidak bisa setengah-setengah, harus komprehensif. Misalkan jika orang skizofrenia itu mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, biarkanlah rakyat yang menilai apakah cukup capable atau tidak. Serahkan semua ditangan rakyat karena di Indonsia ini kita hidup dialam demokrasi kerakyatan. Dimana seperti dikatakan oleh
Abraham Lincoln "Democracy from the people, by the people and for the people" . Untuk pelaksanaan teknis UU ini dapat diatur melalui Peraturan pemerintah cq. Menteri Kesehatan R.I


Uraian diatas adalah sekelumit tentang perlunya UU yang mengatur hak, tugas dan kewajiban khusus pada pasien skizofrenia. Karena perlu adanya jaminan yang pasti sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.


Pasien skizofreni itu memerlukan penanganan khusus dalam masyarakat. Karena jika hanya mengandalkan obat yang diminum tidak bisa sembuh total sehingga kesembuhan 100% menurut hemat penulis adalah kesembuhan lingkungan sosial dan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan banyak sekali panti-panti rehabilitas yang mana kegiatan-kegiatan panti tersebut difokuskan dalam terapi kerja dimasyarakat. Hanya saja ketika seluruh proses sudah dilalui dengan baik melalui rehabilitasi tersebut. Ketika dikembalikan ke masyarakat mereka akan terbentur dana. Bagaimana akan dapat diaplikasikan jika masalah dana lagi-lagi menjadi gugatan utama. Pemerintah harus mengalokasikan dana khusus untuk dapat memfasilitasi hal tersebut. Dana alokasi tersebut dibuat sesederhana mungkin untuk kegiatan yang juga sangat sederhana seperti pertukangan, perbengkelan dan sebagainya. Tidak cukup sampai disitu, perlu adanya pengawas yang ditunjuk langsung oleh Dinkes (semacam DOTS pada TB), untuk mengontrol mulai dari kteraturan minum obat sampai alokasi penggunaan dana tersbut apakah applicable atau justru dipergunakan untuk kepentingan lain. Fungsi pengawas tersebut adalah untuk mengotrol dan mengawasi karena jika hanya mengandalkan keluarga dan masyakarat sangat sukar sehingga diperlukan pengawas khusus agar kriteria mencapai sembuh sempurna dapat tercapai.

"Sebuah pemikiran dari seorang pemikir yang prihatin terhadap permasalahan bangsa yang tidak pernah sehat karena seluruh elemen bangsa ini sakit kronis"

No comments:

Post a Comment