Tuesday 8 April 2008

PEMILU SEBAGAI PROSES DEMOKRASI MENUJU CITA CITA BANGSA

Boby lukman
Peneliti politik dan Parlemen Daerah
pada Yayasan Harkat Bangsa Indnesia Centre Jakarta


Pesta demokrasi terbesar yang melibatkan jutaan jiwa pemilih di negeri ini akan segera dimulai. Ibarat dalam sebuah perlombaan balapan mobil, semua tim sudah mempersiapkan keperluan lomba. Sebuah balapan terbesar akan dumulai dan tentu saja semua harus disiapkan sebaik mungkin. Berbagai acara digelar oleh partai politik peserta pemilu mulai dari rapat akbar, temu kader bahkan acara lain yang dibungkus dengan tema sosial dan bakti masyarakat.

Namun seperti pada pelaksanaan pemilu tahun tahun sebelumnya, khususnya pelaksanaan pemilu tahun 1999 dan 2004 (pasca reformasi tahun 1998) pelaksanaan pemilu tahun 2009 yang akan datang juga diwarnai kekhawatiran yang disebabkan mepetnya waktu persiapan dan sedikitnya waktu untuk sosialisasi aturan serta keberadaan partai. Kita tahu molornya waktu pengesahan UU Pemilu dari yang seharusnya Desember tahun 2007 lalu hingga baru bisa disahkan pada awal Maret tahun ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.

Dalam konteks pelaksanaan Pemilu, pada tahun 2004 lalu, terdapat berbagai pemasalahan yang memerlukan perhatian seperti, sistem pemilihan umum yang berubah dari sistim proporsional murni menjadi sistim proporsional dengan daftar terbuka untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta sistem distrik berwakil banyak (multi-member district) untuk pemilihan anggota DPD. Seperti kita tahu DPD adalah lembaga tinggi Negara baru yang dibentuk pasca amandemen UUD yang mengubah sistim ketatanegaraan kita dari sistim satu kamar menjadi sistim dua kamar.

Melalui sistem proporsional daftar terbuka para pemilih tidak hanya memilih tanda gambar partai, melainkan juga nama-nama calon anggota legislatif yang ditawarkan oleh suatu partai di sebelah tanda gambar partai. Meski sistim sedikit lebih maju dari pelaksanaan tahun tahun sebelumnya namun berbagai kalangan menilai sistim ini belum sepenuhnya memberikan hak kepada rakyat untuk memilih sendiri wakil yang dikehendakinya duduk di parlemen.

Dari aspek sistem pemilu pelaksanaan pemlu tahun 2004 relatif lebih maju dibandingkan pelaksanaan pemilu sebelumnya, meski dinilai kalangan pengamat politik sangat lemah dalam soal pencalonan, baik untuk anggota DPR maupun untuk anggota DPD, karena tidak adanya ketentuan domisili bagi sang calon namun secara umum hasil yang dicapai dari pelaksanaan pemilu tahun 2004 tidaklah mengecewakan.

Dampak dari pelaksanaan pemilu tahun 2004 selain terpilhnya wakil rakyat yang sedikit lebih baik juga adanya lembaga baru yaitu DPD yang beranggota para senator dari 33 propinsi dan kebanyakan berasal dari Jakarta bukan elit lokal yang memang dikenal baik oleh daerah.
Namun seperti pada pelaksanaan sebelumnya, keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan pemilihan juga masih terasa besar karena mulai dari KPU pusat hingga KPUD Propinsi dan Kabupaten/kota kesekretariatan masih dijabat oleh pejabat sipil dan fungsional dari pemerintah.
Kecenderungan melibatkan diri dalam penyelenggaraan pemilu dilakukan pemerintah dengan dua jalan, antara lain dengan keberadaan Sekjen Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat pusat, dan (2) sekretariat-sekretariat pelaksana pemilu di tingkat lokal, mulai provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, bahkan sampai desa atau kelurahan.

Keberadaan Sekjen KPU dan sekretariat pelaksana pemilu daerah sebagai "bagian dari pemerintah " secara tidak langsung telah menimbulkan distorsi peranan dan fungsi KPU sebagai satu-satunya penyelenggara pemilu yang independen.

Diharapkan pada pelaksanaan pemilu 2009 yang akan datang peran dan fungsi pemerintah akan berubah menjadi fungsi "fasilitator", yaitu sebagai lembaga yang menyediakan tenaga, dana, dan fasilitas belaka bagi KPU.

Pemilu sebagai proses demokrasi menuju cita cita bangsa

Diskursus seputar pemilu ternyata hingga saat ini masih menyisakan harapan akan hasil yang lebih baik dari masa ke masa. Pesta demokrasi ternyata masih banyak menyimpan harapan dan mimpi yang hendak akan dicapai.

Sebagai suatu instrumen penting dalam menggapai cita cita demokrasi pemilihan umm haruslah didisain dan dilaksanakan dengan baik dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Hak hak politik rakyat haruslah diperhatikan.

Terbentuknya parlemen yang representatif, serta lahirnya kepala pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat adalah buah dari pelaksanaan pemilu yang berlangsung baik.
Sebagai pelaku utama dalam pemilu (termasuk pilkada), secara sah dan mutlak rakyat jelas mempunyai otoritas tertinggi karena persoalan supremasi kekuasaan pun ada pada rakyat.
Demokrasi sebagai ‘pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat’ (democracy is government from people, by people and for people) tidak sekadar istilah. Pemaknaannya adalah, dengan supremasi (kedaulatan) di tangan rakyat mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersangku paut dengan rakyat harus diberitahukan dan mendapat restu (persetujuan) rakyat.

Amanat konstitusi (UUD 1945) bahwa ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan berdasar UUD’, sesungguhnya telah cukup mengisyaratkan Indonesia adalah negara demokrasi meski tidak ekplisit dinyatakan demikian. Hanya ditegaskan ‘Indonesia adalah negara hukum’. Negara Hukum (rechtstaat) adalah ciri negara modern (negara demokrasi).

Jika prinsip demokratisasi bergandengan dengan peran serta (partisipasi) masyarakat dan prinsip keterbukaan serta akuntabilitas, niscaya penyelenggaraan pemerintahan/negara berdasarkan atas hukum akan lebih baik. Keterwakilan rakyat melalui lembaga yang representatif tidak akan memunculkan ‘gugatan’ baru berkenaan dengan adanya keraguan rakyat pada persoalan kapabilitas dan kredibilitas wakilnya.

Oleh karena persoalan moral juga ada tempatnya di dalam aturan hukum itu, maka perilaku hukum adalah perilaku yang bermoral. Sebaliknya, rakyat (yang direh) pun hendaknya demikian. Ketika prinsip demokrasi harus dilaksanakan, ada persoalan aturan dalam pelaksanaannya. Aturan dimaksud ada di dalam hukum atau peraturan perundangan (law). Aturan yang disepakati itu mulai dari UU tentang Pemilu, UU tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD, serta peraturan perundangan lain sebagai penjabarnya. Pelaksanaan demokrasi dalam sistem pemilu tergambar dalam pelbagai peraturan perundangan dimaksud.

Pilkadal

Pilkada adalah subsistem dari sistem pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan rakyat/masyarakat daerah ini mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di daerah. Jika demikian, pilkadal memiliki dasar aturan yang seragam karena ia merupakan bagian dari sebuah sistem yakni sistem pemilu.

Peletakan dasar penyelenggaraan pilkada pertama-tama ditegaskan melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah melalui pasal 24 ayat (5) yang menegaskan, ‘Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan’. Demikian pula pasal 56: "Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil’.

Dengan demikian, jelas bahwa aturan yang seragam dimaksud berpedoman mulai dari UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan perundangan lain sebagai penjabarannya. Oleh karena semua ada dan berpedoman pada UU, maka tidak ada aturan lain (yang baru) yang dibuat secara khusus oleh daerah melalui Peraturan Daerah masing-masing.

Jika wacana pemilihan kepala daearah dan wakilnya berkembang, bisa saja pemilihan secara langsung yang dilaksanakan di daerah itu memilih anggota legislatif (DPRD)-nya. Ini berarti, mekanisme pemilu secara nasional untuk memilih keanggotaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD itu harus berubah/diubah. Sistem pemilunya pun tentu akan mengalami perubahan. Persoalannya adalah, dapatkah sistem pemilu yang kini berlangsung itu mengecualikan terhadap pemilihan anggota DPRD, padahal sistem kepartaian melekat secara umum dalam pemilu tersebut.
Pemilu daerah secara langsung, untuk saat ini adalah memilih kepala daerah beserta wakilnya, tidak menyertakan pemilihan anggota legislatif (DPRD) karena pemilihan anggota legislatif daerah ini telah dilakukan pada even pemilu anggota legislatif secara keseluruhan bersama-sama pemilihan anggota MPR, DPR, DPD. Dengan demikian, spesifikasi pemilu daerah ini adalah dalam rangka memilih dan menentukan pemimpin daerah. Tidak untuk memilih wakil rakyat daerah, sehingga wahananya disebut Pemilihan Kepala Daerah (dan Wakil Kepala Daerah) Secara Langsung (Pilkadal).

Asas Bebas Dan Rahasia

Dalam kerangka pemilu yang demokratis, terpenting adalah persoalan berlakunya asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber). Ditambah asas jujur dan adil (jurdil), karena asas ini akan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pemilu termasuk pilkadal.

Kita semua mengetahui tentang asas tersebut, tetapi tidak semua orang mengerti dan memahaminya terutama berkenaan dengan asas bebas dan rahasia. Bebas dimaknai sebagai suatu yang berhubungan dengan keinginan/kehendak untuk menentukan (memilih) tanpa ada paksaan, arahan, suruhan, dan sebagainya. Tetapi bebas berkait erat dengan rahasia, yang dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun (kecuali Tuhan) dalam rangka menentukan pilihan yang bebas dimaksud.

Meskipun rahasia itu sebenarnya tidak perlu dalam demokrasi, karena demokrasi menghendaki keterbukaan, ketegasan. Persoalan beda pendapat bahkan beda pilihan adalah sesuatu yang biasa.

Dengan demikian pertanyaannya adalah, mengapa pemilu harus rahasia di samping bebas. Jawabnya, bisa saja alasan logika bahwa rahasia itu akan menjamin kebebasan orang untuk menentukan (memilih) dan pilihannya itu tidak siapa pun mengetahuinya. Artinya, akan tetap menjadi rahasia bagi yang bersangkutan. Atau rahasia untuk lebih menjamin ‘keamanan’, karena orang takut berterus terang untuk berbeda pilihan (meski tidak berbeda pendapat).

Logiskah alasan yang demikian? Lalu, bagaimanakah sesungguhnya demokrasi dalam pemilu itu? Jawabnya ada pada rakyat yang melakukan dan pemerintah yang menentukan, atau rakyat yang menentukan dan pemerintah yang melakukan.

Pemilu berkenaan dengan sistem, dan sistem akan bersandar pada asas, yakni asas pemilu yang luber dan jurdil, diikuti dan ditaati oleh semua komponen bangsa/rakyat dan pemerintah negara ini.***

No comments:

Post a Comment