Tuesday 8 April 2008

Mendampakan Parlemen Lokal yang Kuat

Boby Lukman
Peneliti Politik dan Parlemen Lokal
Pada Yayasan Harkat Bangsa Indonesia Centre Jakarta
dan Media dan Capacity Building Officer di Seknas ADKASI




Pertanyaan seputar, apakah DPRD itu pejabat negara atau pejabat daerah, memiiliki kekuatan untuk memainkan peran yang lebih besar di daerah atau malah hanya akan jadi pelengkap saja bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah, menjadi isu utama yang saat ini menggelayut di benak anggota DPRD baik di Propinsi maupun Kabupaten atau Kota.

Bagi anggota DPRD, ketidakjelasan kedudukan mereka dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah adalah sebuah problem yang harus segera diselesaikan. Bagaimana tidak, disatu sisi dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa kedudukan DPRD adalah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, namun disisi lain, posisi DPRD juga disebutkan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah.

Ada beberapa persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh DPRD yang menuntut segera diselesaikan. Persoalan ini membawa dampak yang tidak baik bagi DPRD, contohnya, masih belum jelasnya fungsi check and balances yang hingga saat ini belum juga optimal dijalankan karena pengaruh seringnya terjadi gonta-ganti regulasi yang membuat DPRD bingung, yang kedua desentralisasi yang masih belum sepenuhnya dijalankan. Padalah semangat reformasi yang dicanangkan pada tahun 1998 lalu adalah pelaksanaan desentralisasi yang memberikan kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur kehidupannya sendiri tanpa ada lagi campur tangan pusat didalamnya.

DPRD baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten dan Kota, juga diberi “hadiah” berupa kebingungan akan kewenangan mereka sebagai unsur dari pelaksana pemerintahan di daerah. Hal ini makin diperparah dengan kedudukan keuangan yang tidak jelas serta berbagai bentuk diskriminasi lainnya yang diterapkan oleh pemerintah pusat.

Di kalangan anggota Pansus RUU Susduk DPR-RI-pun, memang masih mempertanyakan “jenis kelamin” DPRD yang tidak jelas. Hal ini tentu saja dapat dibenarkan dengan melihat realitas yang ada. Lemahnya posisi tawar DPRD dimata pemerintah pusat juga dapat terlihat dari berbagai regulasi yang merugikan DPRD.

Dengan masih dilakukannya pembahasan RUU Susduk saat ini, diharapkan adanya perubahan mendasar pada fungsi dan kewenangan DPRD. Perubahan yang tentunya membawa arah yang lebih baik termasuk menciptakan hubungan kerjasama (Interkoneksi) antara DPRD di daerah dengan DPR-RI di pusat.

Dalam kesempatan perbincangan dengan Pengamat dari The Akbar Tanjung Institute Dr. Alfan Alfian beberapa waktu lalu, juga memunculkan pemikiran yang sama. Seharusnya, sebagai reperesentasi suara rakyat di daerah, dan representasi suara yang lebih besar di pusat, harus ada sebuah jalur komunikasi yang terus menerus dilakukan oleh kedua belah pihak. Alfan bahkan menyebutkan sarana yang bisa dipakai adalah mekanisme komunikasi dalam internal partai. “Kalaupun tidak bisa antar lembaga, mekanisme yang bisa dimanfaatkan adalah mekanisme komunikasi antar kader partai”.

Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru diharapkan mampu memberikan kejelasan tentang kewenangan, fungsi dan peran DPRD dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Parlemen lokal seharusnyalah ditempatkan sebagai lembaga pengontrol kebijakan Pemda dan bisa melakukan tindakan “keras” seandainya eksekutif melakukan kesalahan dalam melaksanakan kebijakan anggaran dan pemerintahan.

Melepaskan DPRD dari kedudukan di bawah Departemen Dalam Negeri juga menjadi wacana, namun hal itu tentulah harus melalui mekanise yang tepat dan menghasilkan keputusan yang baik bagi DPRD dan Depdagri.

Banyaknya persoalan daerah yang harus menjadi isu pusat sering terkendala disini. Tidak adanya komunikasi antara dua lembaga wakil rakyat berbeda level itulah yang membuat persoalan-persoalan yang dihadapi oleh DPRD menjadi tidak sampai ke pusat dan ditindaklanjuti dengan baik. DPRD bekerja sendiri sebagai institusi resmi penyalur aspirasi warga daerah di daerah, sementara DPR-RI juga berjalan sendiri sebagai lembaga yang menyalurkan aspirasi yang mereka serap sendiri ditingkat pusat. Akibat dari kerja sendiri-sendiri ini juga membuat banyak anggota DPR-RI yang datang ke daerah tidak mengikutsertakan anggota DPRD baik ditingkat kabupaten dan bahkan provinsi dalam setiap kunjungannya ke masyarakat. Bagi mereka, mengikutsertakan kepala dinas dan Gubernur jauh lebih penting daripada mengajak sesama wakil rakyat.

Namun terkjadang para anggota DPRD juga dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian anggota atau komisi-komisi di DPR-RI yang melakukan kunjungan ke daerah justru hanya melakukan pembicaraan dengan eksekutif di kantor Bupati atau ruang yang dipenuhi oleh para pejabat pemerintah, sementara anggota DPRD yang seharusnya diprioritaskan hanya kebagian duduk di pinggir dan menjadi penonton.

Idelanya dalam sebuah sistem parlemen yang baik, komunikasi yang lancar antara para legislator di daerah dengan para legislator di pusat haruslah terjalin. Namun hal itulah yang justru tidak ada di dalam Undang-Undang Susduk selama ini. Hubungan antar lembaga penyampai aspirasi rakyat itu terputus begitu saja.

Kelemahan lain yang menjadi sorotan dari persoalan DPRD adalah tidak adanya kewenangan DPRD dalam menentukan Sekretaris Dewan, padahal sebagai user seharusnya DPRD berhak menentukan siapa yang akan menjadi “pelayan” mereka. ***

No comments:

Post a Comment