Wednesday 30 April 2008

SMS ANCAMAN DAN GANGGUAN KEPADA SAYA..........

YANG MEMBACA BLOG INI...SAYA BERITAHUKAN BARU SAJA HARI INI RABU 30 APRIL 2008 jam 15:40 WIB SEBUAH SMS MASUK KE HANDPHONE SAYA DARI NOMOR +6281513715759 yang isinya sebagai berikut

Ada apa Pak ?
Penasaran?
Memang itu yang Kumau. Kamu gak akn tau aku siapa. karna aku adlh bayangan yg akn slalu mengikutimu dan akan slalu ada di setiap lngkhmu. I am your bad dream. I will always disturb u.



SMS ini jelas mengganggu saya...Ini siapa ?. saya sengaja menuliskan ini jika ada diantara kita yang kenal dengan nomor ini...Jika tidak, nggak apa apa...namun jika suatu saat nanti terjadi apa apa pada saya, nomor ini telah membuat saya jadi cemas dan nggak enak perasaan..

Terima kasih...
(Saya berdoa kepada Allah SWT akan diberi keselamatan siang dan malam)

Tuesday 15 April 2008

Wahai Kaum Muda Berpolitiklah Segera
Boby Lukman
Peneliti Politik dan Parlemen Lokal YHBI Centre


Senin sore lalu, ketika menikmati kopi di ruang kantor yang udah kelewat dingin, saya iseng chating dengan seorang teman yang juga aktif sebagai peneliti politik. Beda dengan saya yang secara tidak langsung memfokuskan penelitian pada parlemen lokal, teman yang satu ini lebih fokus ke riset politik dan perubahan sosial di tengah masyarakat.

Perbicangan kami dimulai dari situasi politik kekinian pasca launching website (situs internet) pribadi mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung di Balairung Kirana Hotel Kartika Chandra Jakarta yang dihadiri oleh tokoh tokoh politik bangsa ini sampai pada kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat yang menurut kami berdua adalah sinyal kuat pergerakan politik kaum muda baik ditingkat daerah maupun nasional.

Kemenangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf mengalahkan pasangan Dany Setiawan dan pasangan Agum Gumelar semakin menguatkan sinyal bahwa kaum muda sudah mendapat tempat dalam kancah perpolitikan. Tidak hanya di Jawa Barat, mungkin juga didaerah lain yang selama ini sudah memulai namun tidak terpublikasikan kepada khalayak ramai.

Kemenangan Ahmad dan Dede hanyalah satu dari sekian gumpalan bola salju yang akan terus menggelinding menandai kebangkitan kaum muda dalam kancah politik. Kebosanan hampir semua warga terhadap perangai kaum tua sudah sampai pada titik jenuh yang tidak lagi bisa di toleran. Mereka (warga masyarakat itu) membutuhkan suatu yang baru dan fresh. Dan pasangan Ahmad Heryawan/Dede Yusuf menjadi jawabannya.

Jauh sebelum kedua orang itu maju dalam pemilihan Gubernur, sejarah telah mencatat nama nama anak muda seperti Sukarno, Hatta, Yamin, Maramis, bahkan sebelumnya Sutomo dan Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara dan pendiri Taman Siswa adalah patron bagi anak muda pada masanya.
Waktu yang terus bergulir telah pula mencatat nama nama orang muda dipentas politik pada tahun 1966, 1974, 1978 dan 1999 lalu. Beberapa kemiripan terjadi pada rentang waktu itu sebagai titik tolak pergerakan kaum muda. Rasa kebangsaan, resah pada keadaan dan keinginan untuk lepas dari keterkungkungan dan serta ketidakpuasan pada pemerintahan yang berkuasa membuat anak anak muda itu kemudian bersatu, menyamakan pikiran dan bergerak bersama meski ada sebagian menjadi tumbal dari perubahan itu sendiri. Namun sudahlah, bukankah sebuah perubahan jelas memerlukan tumbal.

Saat ini kita juga mendengar nama nama baru dalam pentas elit perpolitikan nasional. Nama nama seperti Dr. Anas Urbaninggrum, Budiman Sudjatmiko, Yudi Crisnandi dan Jeffrie Geovanie, telah pula menjadi actor actor politik muda yang siap maju dalam kancah perpolitikan nasional.

Mereka menjadi patron politik kaum muda yang bergabung dengan kekuatan politik tertentu di negara ini, Anas yang bersahaja, tenang dan cenderung kalem masuk dalam lingkaran partai demokrat dan mendapatkan jabatan mentereng sebagai Ketua bidang Politik, sementara Budiman dan Yudi masing masing menjadi bagian dari fungsionaris DPP Partai PDI-Perjuangan dan Partai Golkar, sementara nama terakhir menjadi buah bibir kaum muda karena pemikiran- pemikiran cerdasnya banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan seminar, kolom kolom di Koran dan menjadi narasumber di berbagai acara di televisi. Bahkan “JG” sebutan khas Jeffrie sempat maju dalam pemilihan Gubernur DKI sebagai Cawagub meski gagal karena tidak cukup suara dalam pencalonan.
Kini hanya berselang bulan menuju Pemilu tahun 2009 yang akan datang, atau tepatnya tanggal 5 April dalam rencana KPU sebagai hari pencoblosan, tentu sudah banyak nama nama anak anak muda yang akan maju dalam pesta demokrasi itu nanti.

Saya pribadi menilai, pemilu 2009 adalah saat yang tepat bagi kaum muda untuk maju dalam pentas politik lokal dan nasional. Betapa tidak, melihat tokoh tokoh di partai yang saat ini masih dikuasai oleh ormag orang tua, maka tahun 2008 dan 2009 adalah masa masa krusial bagi kaum muda untuk menunjukkan eksistensi kepada elit parpol yang sudah usia lanjut itu untuk melepas kepercayaan untuk memimpin.

Memang di sebagian partai baru yang ada saat ini, nama nama orang muda sudah masuk dalam jajaran elit partai seperti Partai Matahari Bangsa, Partai Bulan Bintang dan lainnya namun itu dirasa belum merupakan representasi dari keberadaan kaum muda secara keseluruhan.

Orang muda harus distimulasi secara terus menerus untuk mau melangkah melakukan perubahan dan maju sebagai pemimpin bangsa. Gerakan ini bisa berupa melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan kebangsaan dengan memberikan kebebasan berpikir, berwacana dan menonjolkan diri. Ungkapan orang muda adalah agen perubahan harus disuntikkan setiap saat kepada kaum muda agar mereka mau maju, melakukan perubahan. Pernyataan yang mengatakan bahwa kaum muda kurang memiliki sentiment nasionalisme dan tidak berjiwa patriot dalam membangun bangsa adalah jargon kosong yang disampaikan untuk melemahkan semangat anak muda.

Bicara perubahan beberapa tulisan dan juga wacana sudah dikemukakan, antara lain perubahan yang bersifat radikal dan satunay lagi perubahan yang bersifat konstitional. Konstritusional disini merupakan bentuk dari memberikan ruang gerak yang luas kepada anak muda masuk dalam jajaran elit politik baik di partai politik tertentu maupun di dalam pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan.

Harus diakui, darah muda yang bergejolak dan begitu kuat untuk segera melakukan perubahan adalah ciri khas anak muda saat ini, namun bukan berarti hal itu menjadi sandungan bagi kaum muda untuk dilarang maju. Orang tua seperti yang tadi sempat disinggung haruslah mampu mengelola peran anak muda hingga secara perlahan tongkat estafet kepemimpinan berpindah secara damai, konstitusional dan sehat.

Tulisan ini kembali mengajak kaum muda untuk mau maju melangkah melakukan perubahan demi bangsa ini, tentu anak anak muda yang berpikir maju, yang mau meninggalkan gaya hidup borjouis dan senantiasa hidup dalam perhitungan baik dan buruk. Dan berpolitik adalah jalan menuju capaian cita cita itu, Anak muda saatnya sekarang berpolitik atau tidak sama sekali.

Tuesday 8 April 2008

Mendampakan Parlemen Lokal yang Kuat

Boby Lukman
Peneliti Politik dan Parlemen Lokal
Pada Yayasan Harkat Bangsa Indonesia Centre Jakarta
dan Media dan Capacity Building Officer di Seknas ADKASI




Pertanyaan seputar, apakah DPRD itu pejabat negara atau pejabat daerah, memiiliki kekuatan untuk memainkan peran yang lebih besar di daerah atau malah hanya akan jadi pelengkap saja bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah, menjadi isu utama yang saat ini menggelayut di benak anggota DPRD baik di Propinsi maupun Kabupaten atau Kota.

Bagi anggota DPRD, ketidakjelasan kedudukan mereka dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah adalah sebuah problem yang harus segera diselesaikan. Bagaimana tidak, disatu sisi dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa kedudukan DPRD adalah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, namun disisi lain, posisi DPRD juga disebutkan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah.

Ada beberapa persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh DPRD yang menuntut segera diselesaikan. Persoalan ini membawa dampak yang tidak baik bagi DPRD, contohnya, masih belum jelasnya fungsi check and balances yang hingga saat ini belum juga optimal dijalankan karena pengaruh seringnya terjadi gonta-ganti regulasi yang membuat DPRD bingung, yang kedua desentralisasi yang masih belum sepenuhnya dijalankan. Padalah semangat reformasi yang dicanangkan pada tahun 1998 lalu adalah pelaksanaan desentralisasi yang memberikan kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur kehidupannya sendiri tanpa ada lagi campur tangan pusat didalamnya.

DPRD baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten dan Kota, juga diberi “hadiah” berupa kebingungan akan kewenangan mereka sebagai unsur dari pelaksana pemerintahan di daerah. Hal ini makin diperparah dengan kedudukan keuangan yang tidak jelas serta berbagai bentuk diskriminasi lainnya yang diterapkan oleh pemerintah pusat.

Di kalangan anggota Pansus RUU Susduk DPR-RI-pun, memang masih mempertanyakan “jenis kelamin” DPRD yang tidak jelas. Hal ini tentu saja dapat dibenarkan dengan melihat realitas yang ada. Lemahnya posisi tawar DPRD dimata pemerintah pusat juga dapat terlihat dari berbagai regulasi yang merugikan DPRD.

Dengan masih dilakukannya pembahasan RUU Susduk saat ini, diharapkan adanya perubahan mendasar pada fungsi dan kewenangan DPRD. Perubahan yang tentunya membawa arah yang lebih baik termasuk menciptakan hubungan kerjasama (Interkoneksi) antara DPRD di daerah dengan DPR-RI di pusat.

Dalam kesempatan perbincangan dengan Pengamat dari The Akbar Tanjung Institute Dr. Alfan Alfian beberapa waktu lalu, juga memunculkan pemikiran yang sama. Seharusnya, sebagai reperesentasi suara rakyat di daerah, dan representasi suara yang lebih besar di pusat, harus ada sebuah jalur komunikasi yang terus menerus dilakukan oleh kedua belah pihak. Alfan bahkan menyebutkan sarana yang bisa dipakai adalah mekanisme komunikasi dalam internal partai. “Kalaupun tidak bisa antar lembaga, mekanisme yang bisa dimanfaatkan adalah mekanisme komunikasi antar kader partai”.

Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru diharapkan mampu memberikan kejelasan tentang kewenangan, fungsi dan peran DPRD dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Parlemen lokal seharusnyalah ditempatkan sebagai lembaga pengontrol kebijakan Pemda dan bisa melakukan tindakan “keras” seandainya eksekutif melakukan kesalahan dalam melaksanakan kebijakan anggaran dan pemerintahan.

Melepaskan DPRD dari kedudukan di bawah Departemen Dalam Negeri juga menjadi wacana, namun hal itu tentulah harus melalui mekanise yang tepat dan menghasilkan keputusan yang baik bagi DPRD dan Depdagri.

Banyaknya persoalan daerah yang harus menjadi isu pusat sering terkendala disini. Tidak adanya komunikasi antara dua lembaga wakil rakyat berbeda level itulah yang membuat persoalan-persoalan yang dihadapi oleh DPRD menjadi tidak sampai ke pusat dan ditindaklanjuti dengan baik. DPRD bekerja sendiri sebagai institusi resmi penyalur aspirasi warga daerah di daerah, sementara DPR-RI juga berjalan sendiri sebagai lembaga yang menyalurkan aspirasi yang mereka serap sendiri ditingkat pusat. Akibat dari kerja sendiri-sendiri ini juga membuat banyak anggota DPR-RI yang datang ke daerah tidak mengikutsertakan anggota DPRD baik ditingkat kabupaten dan bahkan provinsi dalam setiap kunjungannya ke masyarakat. Bagi mereka, mengikutsertakan kepala dinas dan Gubernur jauh lebih penting daripada mengajak sesama wakil rakyat.

Namun terkjadang para anggota DPRD juga dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian anggota atau komisi-komisi di DPR-RI yang melakukan kunjungan ke daerah justru hanya melakukan pembicaraan dengan eksekutif di kantor Bupati atau ruang yang dipenuhi oleh para pejabat pemerintah, sementara anggota DPRD yang seharusnya diprioritaskan hanya kebagian duduk di pinggir dan menjadi penonton.

Idelanya dalam sebuah sistem parlemen yang baik, komunikasi yang lancar antara para legislator di daerah dengan para legislator di pusat haruslah terjalin. Namun hal itulah yang justru tidak ada di dalam Undang-Undang Susduk selama ini. Hubungan antar lembaga penyampai aspirasi rakyat itu terputus begitu saja.

Kelemahan lain yang menjadi sorotan dari persoalan DPRD adalah tidak adanya kewenangan DPRD dalam menentukan Sekretaris Dewan, padahal sebagai user seharusnya DPRD berhak menentukan siapa yang akan menjadi “pelayan” mereka. ***
PEMILU SEBAGAI PROSES DEMOKRASI MENUJU CITA CITA BANGSA

Boby lukman
Peneliti politik dan Parlemen Daerah
pada Yayasan Harkat Bangsa Indnesia Centre Jakarta


Pesta demokrasi terbesar yang melibatkan jutaan jiwa pemilih di negeri ini akan segera dimulai. Ibarat dalam sebuah perlombaan balapan mobil, semua tim sudah mempersiapkan keperluan lomba. Sebuah balapan terbesar akan dumulai dan tentu saja semua harus disiapkan sebaik mungkin. Berbagai acara digelar oleh partai politik peserta pemilu mulai dari rapat akbar, temu kader bahkan acara lain yang dibungkus dengan tema sosial dan bakti masyarakat.

Namun seperti pada pelaksanaan pemilu tahun tahun sebelumnya, khususnya pelaksanaan pemilu tahun 1999 dan 2004 (pasca reformasi tahun 1998) pelaksanaan pemilu tahun 2009 yang akan datang juga diwarnai kekhawatiran yang disebabkan mepetnya waktu persiapan dan sedikitnya waktu untuk sosialisasi aturan serta keberadaan partai. Kita tahu molornya waktu pengesahan UU Pemilu dari yang seharusnya Desember tahun 2007 lalu hingga baru bisa disahkan pada awal Maret tahun ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.

Dalam konteks pelaksanaan Pemilu, pada tahun 2004 lalu, terdapat berbagai pemasalahan yang memerlukan perhatian seperti, sistem pemilihan umum yang berubah dari sistim proporsional murni menjadi sistim proporsional dengan daftar terbuka untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta sistem distrik berwakil banyak (multi-member district) untuk pemilihan anggota DPD. Seperti kita tahu DPD adalah lembaga tinggi Negara baru yang dibentuk pasca amandemen UUD yang mengubah sistim ketatanegaraan kita dari sistim satu kamar menjadi sistim dua kamar.

Melalui sistem proporsional daftar terbuka para pemilih tidak hanya memilih tanda gambar partai, melainkan juga nama-nama calon anggota legislatif yang ditawarkan oleh suatu partai di sebelah tanda gambar partai. Meski sistim sedikit lebih maju dari pelaksanaan tahun tahun sebelumnya namun berbagai kalangan menilai sistim ini belum sepenuhnya memberikan hak kepada rakyat untuk memilih sendiri wakil yang dikehendakinya duduk di parlemen.

Dari aspek sistem pemilu pelaksanaan pemlu tahun 2004 relatif lebih maju dibandingkan pelaksanaan pemilu sebelumnya, meski dinilai kalangan pengamat politik sangat lemah dalam soal pencalonan, baik untuk anggota DPR maupun untuk anggota DPD, karena tidak adanya ketentuan domisili bagi sang calon namun secara umum hasil yang dicapai dari pelaksanaan pemilu tahun 2004 tidaklah mengecewakan.

Dampak dari pelaksanaan pemilu tahun 2004 selain terpilhnya wakil rakyat yang sedikit lebih baik juga adanya lembaga baru yaitu DPD yang beranggota para senator dari 33 propinsi dan kebanyakan berasal dari Jakarta bukan elit lokal yang memang dikenal baik oleh daerah.
Namun seperti pada pelaksanaan sebelumnya, keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan pemilihan juga masih terasa besar karena mulai dari KPU pusat hingga KPUD Propinsi dan Kabupaten/kota kesekretariatan masih dijabat oleh pejabat sipil dan fungsional dari pemerintah.
Kecenderungan melibatkan diri dalam penyelenggaraan pemilu dilakukan pemerintah dengan dua jalan, antara lain dengan keberadaan Sekjen Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat pusat, dan (2) sekretariat-sekretariat pelaksana pemilu di tingkat lokal, mulai provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, bahkan sampai desa atau kelurahan.

Keberadaan Sekjen KPU dan sekretariat pelaksana pemilu daerah sebagai "bagian dari pemerintah " secara tidak langsung telah menimbulkan distorsi peranan dan fungsi KPU sebagai satu-satunya penyelenggara pemilu yang independen.

Diharapkan pada pelaksanaan pemilu 2009 yang akan datang peran dan fungsi pemerintah akan berubah menjadi fungsi "fasilitator", yaitu sebagai lembaga yang menyediakan tenaga, dana, dan fasilitas belaka bagi KPU.

Pemilu sebagai proses demokrasi menuju cita cita bangsa

Diskursus seputar pemilu ternyata hingga saat ini masih menyisakan harapan akan hasil yang lebih baik dari masa ke masa. Pesta demokrasi ternyata masih banyak menyimpan harapan dan mimpi yang hendak akan dicapai.

Sebagai suatu instrumen penting dalam menggapai cita cita demokrasi pemilihan umm haruslah didisain dan dilaksanakan dengan baik dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Hak hak politik rakyat haruslah diperhatikan.

Terbentuknya parlemen yang representatif, serta lahirnya kepala pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat adalah buah dari pelaksanaan pemilu yang berlangsung baik.
Sebagai pelaku utama dalam pemilu (termasuk pilkada), secara sah dan mutlak rakyat jelas mempunyai otoritas tertinggi karena persoalan supremasi kekuasaan pun ada pada rakyat.
Demokrasi sebagai ‘pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat’ (democracy is government from people, by people and for people) tidak sekadar istilah. Pemaknaannya adalah, dengan supremasi (kedaulatan) di tangan rakyat mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersangku paut dengan rakyat harus diberitahukan dan mendapat restu (persetujuan) rakyat.

Amanat konstitusi (UUD 1945) bahwa ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan berdasar UUD’, sesungguhnya telah cukup mengisyaratkan Indonesia adalah negara demokrasi meski tidak ekplisit dinyatakan demikian. Hanya ditegaskan ‘Indonesia adalah negara hukum’. Negara Hukum (rechtstaat) adalah ciri negara modern (negara demokrasi).

Jika prinsip demokratisasi bergandengan dengan peran serta (partisipasi) masyarakat dan prinsip keterbukaan serta akuntabilitas, niscaya penyelenggaraan pemerintahan/negara berdasarkan atas hukum akan lebih baik. Keterwakilan rakyat melalui lembaga yang representatif tidak akan memunculkan ‘gugatan’ baru berkenaan dengan adanya keraguan rakyat pada persoalan kapabilitas dan kredibilitas wakilnya.

Oleh karena persoalan moral juga ada tempatnya di dalam aturan hukum itu, maka perilaku hukum adalah perilaku yang bermoral. Sebaliknya, rakyat (yang direh) pun hendaknya demikian. Ketika prinsip demokrasi harus dilaksanakan, ada persoalan aturan dalam pelaksanaannya. Aturan dimaksud ada di dalam hukum atau peraturan perundangan (law). Aturan yang disepakati itu mulai dari UU tentang Pemilu, UU tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD, serta peraturan perundangan lain sebagai penjabarnya. Pelaksanaan demokrasi dalam sistem pemilu tergambar dalam pelbagai peraturan perundangan dimaksud.

Pilkadal

Pilkada adalah subsistem dari sistem pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan rakyat/masyarakat daerah ini mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di daerah. Jika demikian, pilkadal memiliki dasar aturan yang seragam karena ia merupakan bagian dari sebuah sistem yakni sistem pemilu.

Peletakan dasar penyelenggaraan pilkada pertama-tama ditegaskan melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah melalui pasal 24 ayat (5) yang menegaskan, ‘Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan’. Demikian pula pasal 56: "Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil’.

Dengan demikian, jelas bahwa aturan yang seragam dimaksud berpedoman mulai dari UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan perundangan lain sebagai penjabarannya. Oleh karena semua ada dan berpedoman pada UU, maka tidak ada aturan lain (yang baru) yang dibuat secara khusus oleh daerah melalui Peraturan Daerah masing-masing.

Jika wacana pemilihan kepala daearah dan wakilnya berkembang, bisa saja pemilihan secara langsung yang dilaksanakan di daerah itu memilih anggota legislatif (DPRD)-nya. Ini berarti, mekanisme pemilu secara nasional untuk memilih keanggotaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD itu harus berubah/diubah. Sistem pemilunya pun tentu akan mengalami perubahan. Persoalannya adalah, dapatkah sistem pemilu yang kini berlangsung itu mengecualikan terhadap pemilihan anggota DPRD, padahal sistem kepartaian melekat secara umum dalam pemilu tersebut.
Pemilu daerah secara langsung, untuk saat ini adalah memilih kepala daerah beserta wakilnya, tidak menyertakan pemilihan anggota legislatif (DPRD) karena pemilihan anggota legislatif daerah ini telah dilakukan pada even pemilu anggota legislatif secara keseluruhan bersama-sama pemilihan anggota MPR, DPR, DPD. Dengan demikian, spesifikasi pemilu daerah ini adalah dalam rangka memilih dan menentukan pemimpin daerah. Tidak untuk memilih wakil rakyat daerah, sehingga wahananya disebut Pemilihan Kepala Daerah (dan Wakil Kepala Daerah) Secara Langsung (Pilkadal).

Asas Bebas Dan Rahasia

Dalam kerangka pemilu yang demokratis, terpenting adalah persoalan berlakunya asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber). Ditambah asas jujur dan adil (jurdil), karena asas ini akan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pemilu termasuk pilkadal.

Kita semua mengetahui tentang asas tersebut, tetapi tidak semua orang mengerti dan memahaminya terutama berkenaan dengan asas bebas dan rahasia. Bebas dimaknai sebagai suatu yang berhubungan dengan keinginan/kehendak untuk menentukan (memilih) tanpa ada paksaan, arahan, suruhan, dan sebagainya. Tetapi bebas berkait erat dengan rahasia, yang dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun (kecuali Tuhan) dalam rangka menentukan pilihan yang bebas dimaksud.

Meskipun rahasia itu sebenarnya tidak perlu dalam demokrasi, karena demokrasi menghendaki keterbukaan, ketegasan. Persoalan beda pendapat bahkan beda pilihan adalah sesuatu yang biasa.

Dengan demikian pertanyaannya adalah, mengapa pemilu harus rahasia di samping bebas. Jawabnya, bisa saja alasan logika bahwa rahasia itu akan menjamin kebebasan orang untuk menentukan (memilih) dan pilihannya itu tidak siapa pun mengetahuinya. Artinya, akan tetap menjadi rahasia bagi yang bersangkutan. Atau rahasia untuk lebih menjamin ‘keamanan’, karena orang takut berterus terang untuk berbeda pilihan (meski tidak berbeda pendapat).

Logiskah alasan yang demikian? Lalu, bagaimanakah sesungguhnya demokrasi dalam pemilu itu? Jawabnya ada pada rakyat yang melakukan dan pemerintah yang menentukan, atau rakyat yang menentukan dan pemerintah yang melakukan.

Pemilu berkenaan dengan sistem, dan sistem akan bersandar pada asas, yakni asas pemilu yang luber dan jurdil, diikuti dan ditaati oleh semua komponen bangsa/rakyat dan pemerintah negara ini.***