Monday 29 July 2013

Bohong, Gimmick Dan Pemasaran

Pandangan saya di bulan puasa 1434 H tertuju pada tulisan seorang kompasianer melalui tulisan jadulnya yang berjudul : "Rela Bohong Demi Marketing Gimmick" .

Gimmick adalah strategi "bohongan" yang biasa dipergunakan oleh para pemasar untuk mencapai penjualan. Gimmick adalah hal yang lumrah terjadi.


Nah, berikut ulasan singkat dari artikel tersebut. :
Semua orang tahu, bohong iti dosa. Di kitab agama manapun menyebutkan, berbohong adalah perbuatan yang dilarang Tuhan. Namun dalam dunia marketing, (mohon maaf!) lupakan kata “dosa”. Kata “dosa” nggak ada dalam kamus marketing, cong! Segala cara dilakukan demi pemasaran produk. Hal ini dikatakan langsung oleh Praktisi marketing sendiri.

Sebenarnya gw bakal dibenci oleh para Marketer (istilah buat menyebut Praktisi marketing), kalo men-judge mereka sebagai kaum Pendosa. Soalnya mereka pasti akan mengelak kalo cara-cara yang mereka tempuh guna mencapai tujuan (baca: pemasaran produk), dianggap dosa. Padahal realita mayoritasnya, jualan mereka memang selalu hiperbola atau berlebihan. But kita tetap harus minta maaf atas tulisan ini.

Dengan berbagai cara, Marketer menjual produk A gokil-gokilan agar laku. Meski kehebatannya cuma sedikit, lewat mulut Marketer, produk A bisa luar biasa. Bahkan produk yang nggak punya kekuatan sekali pun, bisa jadi hebat.

“Ya, namanya juga marketing, bos! Maklumlah!”

“….”
Padahal menurut buku yang gw baca, marketing nggak cuma selling (aktivitas menjual) atau promotion, dan yang lebih sempit lagi marketing is advertising. Marketing bahkan dianggap cuma sebuah aktivitas sirkulasi dan distribusi. Oleh karena pengertian marketing yang salah, maka muncul istilah abuse of marketing atau penyalahgunaan marketing yang salah. Padahal ruang lingkup marketing itu luas. Sayang, yang dijalankan cuma separo-separo, yakni yang konvensional. Nggak heran unsur hiperbola dan melebih-lebihkan menjadi makan sehari-hari marketing.

Produk celana kolor yang sekali pake bisa kendor, bisa dijual dengan cara yang hiperbola. Tentu Marketer nggak akan menjual kehebatan celana kolor yang cepat kendor dong, bro. Hal itu adalah kelemahan. Teori menjual konon adalah mengedepankan kelebihan, meski kelebihannya dikit.

Dalam konteks celana kolor itu apa yang bisa dijual dong?

Ada istilahnya product knowladge. Nah, via product knowladge ini, Marketer jadi punya bahan buat menjual. Misalnya celana kolor itu buatan Amrik. Negaranya Barrack Obama ini bisa kita jual gokil-gokilan. Maklum, orang kaya kita kan masih American-minded. Begitu dengan nama Amrik, langsung klepek-klepek. Padahal belum tentu produk Amrik bagus punya, cong! Belum tentu juga celana kolor itu benar-benar produk asli Amrik. Siapa tahu asli Afrika Selatan?

Kalo dalam product knowladge di celana kolor itu menyebutkan antinyamuk, maka si Marketer akan menjual kehebatan celana kolor antinyamuk-nya itu. Misalnya, kalo udah nggak dipakai, celana kolor ini bermanfaat sebagai kelambu di tempat tidur. Sehingga, orang yang membeli celana kolor ini nggak perlu lagi gatel-gatel gara-gara dikerubutin nyamuk. Tag line celana kolor itu bisa jadi 2 in 1, yakni sekali beli ada dua manfaat sekaligus.

Dalam marketing ada juga aktivitas menggunakan gimmick, makanya lazim disebut marketing gimmick. Binatang apa pula ini? Dalam dunia broadcast, gimmick biasanya adalah sebuah “bumbu-bumbu” biar sebuah program segar, lebih entertaint, dan nggak monoton. Sebuah program talk show pasti bakal nge-BT-in audience-nya kalo nggak ada balutan gimmick. Gw nggak menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi soal gimmick di program televisi, soalnya kali ini kita bicara soal marketing. Ya nggak cong?
Marketing gimmick ini sekarang lagi happening. Maksudnya, aktivitas ini sedang dilakukan oleh banyak Marketer. Elo pikir kasus pencolekan pantat Kiki Fatmala oleh Saipul Jamil ketika mereka main di film Pijat Atas Tekan Bawah itu bukan sebuah rekayasa? Menurut loe kabar Aura Kasih yang sempat dikabarkan pacaran dengan Bams Samsons benar-benar terjadi?

Biasanya marketing gimmick dilakukan dalam dunia musik dan film. Kenapa? Menurut Garin Nugroho dalam sebuah kesempatan di Novotel, Bogor mengatakan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat gosip. Bukan masyarakat data. Jadi lebih percaya gosip daripada data atau angka. Yang namanya gosip itu lekat dengan dunia entertainment. Ada juga sih di dunia politik dan ekonomi, namun dunia entertainment lebih berperan besar. Nggak heran kalo program-program infotainment dari dulu sampai sekarang tetap populer, ya nggak?

Lewat program infotainment, marketing gimmick biasa dilakukan. Producer Film atau Musik menggulirkan “kabar bohong” demi pemasaran filmnya. Reporter berlomba-lomba mengungkapkan “kabar bohong” itu pada audience, sehingga audience jadi tahu. Mending kalo yang menggulirkan Producer-nya sendiri, kalo ada Reporter infotainment yang mengajukan diri buat mengabarkan “kabar bohong” (baca: create a rumour) asal dibayar, ini makin gila aja, ya nggak?

“Pembohongan masyarakat namanya!”

Namanya juga masyarakat gosip, ada yang percaya, ada yang nggak. Sebenarnya lebih banyak audience yang nggak percaya. Kok bisa? Para penikmat infotainment nggak bodoh-bodoh amat tahu?! Sayangnya mereka ini aneh. Kenapa aneh? Yaiyalah, udah tahu kabar di infotainment itu bohong atau cuma gosip, eh tetap aja ditonton. Tapi nggak semua kabar diinfotainment hasil rekayasa, lho atau sedang melakukan marketing gimmick.

Kalo Producer atau Marketer yang jago, bisa mengolah marketing gimmick mirip kayak aslinya. Artinya, nggak kelihatan kabar yang sebenarnya bohong itu kayak kabar rekayasa. Itu kalo Producer dan Marketer jago. Tapi kalo tolol, marketing gimmick terlihat rekayasa.

“Bohongnya ketahuan!”

“Apalagi kalo yang mau dibohongi itu Pembohong, wah sebuah marketing gimmick bisa gagal….”
Gara-gara aktivitas marketing gimmick, kabar jadi seringkali dicurigai. Terutama kabar di infotainment, lho. Ada kabar soal soal Selebritis A yang baru main film berseteru dengan Selebritis B, dianggap rekayasa. Ada penyanyi B yang baru mengeluarkan album mengajukan gugatan cerai, dianggap bohong beritanya. Padahal kabar belum tentu bohong semua. Kabar yang beredar belum tentu merupakan bagian dari marketing gimmick.

Apakah perseteruan MUI dengan Sutradara Hanung Bramantyo ketika film Perempuan Berkalung Sorban itu berita berita benar atau berita bohong? Apakah pemberhentian program Perspektif yang dipandu Wiman Witoelar itu rekayasa atau bukan? Ini juga terjadi pada program-nya Tukul. Apakah pencekalan Empat Mata yang kemudian diganti jadi Bukan Empat Mata dan sekarang dicekal lagi adalah bentuk marketing gimmick atau memang benar-benar hasil perintah KPI?

“Cuma stasiun televisi dan Tuhan yang tahu!”

Ada kisah lucu soal marketing gimmick. Sesuatu yang awalnya di set up sebagai sebuah rekayasa bisa berubah jadi kisah nyata. Ini terjadi pada perseteruan Dewi Persik dan Andi Soraya. Mereka sebenarnya diminta Producer film Kutunggu Jandamu cuma membuat kehebohan demi marketing gimmick, demi supaya filmnya laku. Namun ejek-mengejek yang dilancarkan Persik dan Soraya malah berbuntut panjang alias jadi keterusan berantemnya. Dalam kenyataan, dua janda itu benar-benar “perang mulut” dan berantem, cong! Dasar janda!

Terlepas dari soal hiberbola atau masalah kebohongan, kalo marketing gimmick memang mau diaplikasikan dalam pemasaran sebuah produk, kudu diikuti oleh hal lain. Hal yang dimaksud, misalnya kualitas film yang di-marketing gimmick-kan keren punya. Cerita film itu luar biasa. Nggak cuma mengandalkan materi pemain yang populer. Soalnya, kalo marketing gimmick udah berhasil tapi nggak diikuti oleh kualitas produk tersebut, bakal sia-sia. Kalo nggak film itu pemutarannya gagal alias nggak meraih jumlah penonton yang signifikan, ya nama-nama Pemain film-nya bisa di-blacklist.-

Kembali ke blog saya ya :)

Saya melihat tren gimmick hanyalah sebuah pedang bermata dua. Jika salah sedikit, maka bisa menjadi fatal akibatnya seperti yang diulas oleh penulis kompasiana di atas.

Bulan ramadan 1434 H juga merupakan momen para marketer untuk menjaring lebih banyak konsumen dengan tren konsumtif yang biasa terjadi. Nah, momen inilah konsumen setelah di "gimmick"-an, semakin diperangkap oleh tren. ckckckckckkckckck

Kita sebagai marketer yang memiliki hati nurani, hendaklah kembali kepada perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai contoh nyata marketer sejati dengan predikat Al Amin, orang yang dipercaya dalam perniagaannya dan sebagai manusia yang sukses memasarkan religion-Islam-. Beliau sukses menjalankan startegi "Marketing Honest" tanpa embel-embel gimmick tadi.

Membangun brand yang jujur memang sangat berat diawal. Butuh kesabaran, komitmen, pantang menyerah dan semangat inovasi tepat guna.



No comments:

Post a Comment