Wednesday 6 March 2013

Pilkada Gubernur Sumatera Utara Komposisi Utama Gincu Branding

Pagi buta di waktu sekarang ini adalah waktu yang tepat bagi blogger untuk menuangkan ekspresi tulisannya. Alasannya karena bangun tidur lho, jadi pikiran masih fresh from kulkas, hehehehehehe...becanda kok :)

Di waktu bersamaan juga, hari ini Medan memilih siapa yang akan menjadi orang nomor 1 dan 2 di tanah pluralis Batak, Karo, Nias, Melayu dan lain-lain dalam heterogenitas masyarakatnya. Siapa yang akan memimpin SUMUT 1 dan 2 ? Hanya waktu lah yang menjawab. 


Nah, dengan 5 pasangan yang maju pada pilkada SUMUT, tentu membawa janji-janji politis yang bakalan nanti saya -kita- pasti tagih.

Pantaskah sebenarnya mereka ber-5 maju sebagai pemimpin SUMUT ? Secara urusan administrasi untuk maju sebagai calon pemimpin SUMUT, tentu sudah memenuhi syarat. Tapi tunggu dulu, apakah secara elektabilitas politik, genuine & authentic branding yang tak basa basi (tidak dibuat-buat) mereka semua mumpuni ? Ups, tunggu dulu. Biarkan pemerhati  branding yang berbicara ya :)

Medan sekarang lebih mendominasi kalangan kelas menengah dengan karakteristik rakus akan globalisasi, daya beli tinggi, berpengetahuan luas, dan berwawasan global. Mereka bersekolah tinggi. Mereka pengkonsumsi apps yang passionate (maklumlah, sekarang eranya digitalisasi). Nah, mampukah Medan sedikit tertiru pilkada DKI 1 yang mayoritas pemilihnya justru kelas menengah ini ? Yup, sepertinya masyarakat kelas menengahlah yang menentukan nasib SUMUT 1. Masyarakat ini tak bisa dibohongi dengan kebohongan janji politik atau biasa disebut oleh mas Yuswohady sebagai Gincu Branding (menor, norak, palsu)

Gincu

Untuk menjelaskannya saya ingin mengambil contoh gaya personal branding para politisi yang hampir setiap malam disaksikan iklannya di TV. Gaya dari iklan-iklan itu umumnya setali tiga uang: si tokoh menggunakan atribut-atribut partai dan atribut merah putih, menyuarakan nasionalisme, membela keadilan, perhatian kepada rakyat kecil, anti korupsi. Selalu saja tak ketinggalan, si tokoh mengedepankan prestasi-prestasi hebat yang telah dicapainya selama ini.

Dalam iklan itu si tokoh umumnya dipersonifikasikan sebagai sosok yang arif-bijaksana, pemurah, taat beragama, peduli pada kaum papa. Dalam adegan-adegan iklan biasanya digambarkan si tokoh merangkul pedagang pasar, memberikan sumbangan bencana alam, atau bersalaman dengan masyarakat tertinggal di pedalaman. Agar dramatis dan mengena hati pemirsa, seringkali gambar direkayasa dengan memberikan efek slow motion.

Untuk memperkuatnya, biasanya iklan dilengkapi dengan celoteh para selebriti yang berperan sebagai endorser (sebut saja mereka “cheerleader”) ngomong yang baik-baik mengenai si tokoh. Namanya saja iklan, tentu saja kurap, kudis, dan panu si tokoh disembunyikan rapat-rapat. Di layar TV pokoknya yang muncul serba kinclong. Tak tahu kenapa, setiap kali habis nonton iklan-iklan semacam ini mendadak saya matikan saja siaran TV nya dan kembali ke aktivitas blogging, hehehehehehhehe...

Tak cuma iklan TV, biasanya sosok si tokoh juga ditampilkan dalam billboard-billboard raksasa di jalan-jalan protokol dan strategis. Di situ terpampang para gubernur lengkap dengan seragam putih dan topi kebesarannya numpang nampang iklan promosi kampanye wisata daerah. Saya bingung tujuh keliling, kenapa juga foto si gubernur yang justru segedhe gadjah, sementara foto potensi wisatanya sendiri nyemplik kecil, kalah bersaing dengan foto mentereng sang gubernur. “Nabung elektabilitas” kali ya, untuk Pilkada mendatang, hehehe. (lagi-lagi saya ketawa :D )

Tidak seperti Jokowi yang ikhlas menggelar pelantikan walikota, iklan-iklan dan billboard-billboard itu umumnya digelar dengan tujuan strategis yang jelas, yaitu: menaikkan elektabilitas, menaikkan awareness, atau membangun citra mulia si tokoh. Tujuan akhirnya lebih jelas lagi, yaitu terpilih menjadi bupati, menjadi gubernur, atau menjadi presiden. Pasang iklan tiap malam di TV tentu saja membutuhkan investasi miliaran rupiah, dan setiap investasi harusnya menghasilkan ROI (return of investment) yang setimpal. Di sinilah keikhlasan dan ketulusan itu sulit kita temukan.

Iklan adalah media promosi yang diperoleh karena kita membayar (paid media). Karena membayar maka kita bisa merekayasa, memoles, memplintir, agar sampai maksud dan tujuan yang kita inginkan. Itu sebabnya iklan-iklan itu tidak bisa otentik, tidak bisa polos, tidak bisa apa adanya. Citra yang dibangun iklan tersebut penuh dengan rekayasa, intrik, dan kemunafikan. Itulan yang saya sebut gincu branding. Sebuah strategi branding yang “roh”-nya adalah udang di balik bakwan.

Untuk menjalankan authentic branding dibutuhkan tokoh pemimpin yang berkarakter. Saya hanya berdoa semoga SUMUT dipimpin oleh authentic character, karakter yang tanpa basa basi.  Karena dengan begitu setiap polah tingkahnya akan menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama para politisi yang berambisi menjadi bupati, gubernur, atau presiden.

Marketing Al Amin

Marketing adalah al amin alias trusted dan dapat dipercaya. Kalau produknya jelek harus berani dibilang jelek. Begitupun kalau produknya bagus dibilang bagus dilandasi kejujuran dan bukti-bukti yang dapat dipercaya. Marketing juga adalah kesesuaian antara janji dengan bukti. Ketika selama kampanye seorang calon pemimpin berjanji kepada masyarakat pemilihnya, maka ketika terpilih ia harus bisa mewujudkan janji tersebut menjadi kenyataan.

Marketing itu tidak ada yang instan. Ya, karena produk yang betul-betul bagus adalah hasil perasan keringat, buah dari kerja keras bertahun-tahun, tak ada yang semalam jadi. Membuat produk jelek menjadi bagus melalui pemolesan/pembedakan/penggincuan di mata publik itu baru instan. Marketing pencitraan memang bisa dibuat instan, tapi marketing al amin butuh kerja keras bertahun-tahun disertai kejujuran dan kearifan.

Oleh karena itu saya memaknai marketing dalam konteks pemilihan capres/caleg/cagub-bup sebagai proses menciptakan capaian (achievement) dan membangun karakter (character-building) dari si calon. Memarketingkan capres atau cagub bukanlah memasang baleho foto si calon di seantero negeri atau menayangkan spot iklan TV si calon 60 kali setiap hari menjelang hari pencoblosan.

Character Matters!

Aktivitas fundamental memarketingkan capres atau cagub adalah bagaimana si calon menciptakan legacy demi legacy prestasinya melalui kerja nyata dan bagaimana melalui perilaku sehari-hari sebagai pemimpin ia membentuk karakternya yang otentik (authentic character). Itu semua dibangunnya jauh sebelum si capres atau cagub menyongsong pencoblosan. Dari track record si calon tesebut terbentuklah ekuitas merek (brand equity) si calon yang baik di mata stakeholders-nya. Ekuitas merek kokoh inilah yang secara genuine akan mengantarkan si calon memenangkan pemilihan.

Kemenangan Jokowi-Ahok merupakan kasus menarik karena kemenangan tersebut merupakan cermin keunggulan “marketing al amin” atas “marketing pencitraan”. Proses kemenangan Jokowi tidak diperoleh secara instan beberapa minggu menjelang pencoblosan, tapi sudah dibangun bertahun-tahun sebelumnya melalui capaian-capaian luar biasa selama menjadi walikota Solo. Kemenangan Jokowi juga bukan semata hasil dari aksi merakyat yang dilakukannya selama kampanye, tapi dari karakter kepemimpinan yang ia praktekkan selama menjadi walikota Solo, terlepas dari selentingan : ..."menghadapi mamak banteng aja, Jokowi jadi keder...." #peaceman ^^v

Namanya saja karakter, tak mungkin bisa diubah dalam kurun waktu 3 bulan, 6 bulan, atau setahun menjelang pencoblosan. Mana bisa secepat bus Medan-Brastagi tiba-tiba menjadi pemurah. Mana bisa seumur-umur tak pernah turun ke masyarakat tiba-tiba menjadi sosok merakyat. Mana bisa seumur-umur menyunat uang rakyat tiba-tiba menjadi malaikat.

Pelajaran Berharga

Kasus kemenangan Jokowi-Ahok mengandung pelajaran berharga bagi para capres/caleg/cagub-bup yang akan maju untuk dipilih rakyat. Bagi mereka pelajarannya jelas bahwa memarketingkan diri (marketing yourself) si calon bukanlah ditempuh melalui proses pencitraan apalagi politik uang, tapi melalui proses character building yang dipraktekkannya jauh sebelum hari pencoblosan. Berkaitan dengan hal ini, marketing capres/caleg/cagub-bup menjadi tiga tingkatan.

Tingkatan pertama adalah yang paling hina yaitu dengan cara menyogok pemilih. Lebih hina lagi jika uang yang digunakan untuk menyogok itu adalah uang hasil korupsi. Tingkatan kedua adalah dengan cara melakukan pencitraan dimana muka bopeng-bopeng ditutup rapat dengan bedak dan lipstik. Dan tingkatan ketiga adalah yang paling al amin yaitu si calon mempersiapkan diri dengan membangun prestasi dan mengatur sikap dan perilakunya sehingga memiliki karakter arif-bijaksana.

Bagi tim sukses dan konsultan si calon pelajarannya pun jelas, bahwa marketing capres/caleg/cagub-bup bukanlan sesederhana memasang poster/baleho, menayangkan iklan TV si calon, atau melakukan serangan fajar menjelang hari pencoblosan. Upaya memenangkan seorang calon pemimpin adalah sebuah proses etis untuk menemukan sosok yang memiliki kompetensi teruji dan karakter yang agung.

Seperti terlihat pada proses kemenangan Jokowi-Ahok, ketika kompetensi teruji dan karakter agung itu sudah terpenuhi, sesungguhnya marketing cagub itu nggak  neko-neko. Nggak perlu teknik marketing yang canggih. Cukup mengkomunikasikan track record dan karakter yang sudah melekat pada si calon pemimpin secara authentic dan genuine, tanpa ditambah-tambah atau dikurang-kurangi. Bahkan mungkin tak perlu baleho besar-besar atau iklan TV yang menggemparkan.

Word of Mouth

Karisma pemimpin yang memiliki track record baik dan karakter agung secara natural akan memancar ke segala penjuru dan memicu promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) dari para pemilihnya. Masyarakat pemilih menjadi ambasador si calon pemimpin yang secara sukarela menyebarkan pesan-pesan positif kepada pemilih lain. Harap diketahui, dalam konsep marketing, promosi dari mulut ke mulut ini adalah bentuk promosi yang paling murah tapi memiliki dampak luar biasa (low budget high impact).

Karena itu, kalau seluruh calon pemimpin cerdas menggunakan pendekatan marketing al amin untuk menghasilkan promosi dari mulut ke mulut yang begitu powerful ini, wow alangkah indahnya negeri ini. Ya, karena dengan begitu tak akan ada lagi capres atau cagub yang repot-repot melakukan korupsi untuk mendanai kampanyenya.

Salam Tong F*ng Medan ku 1

Disadur dari Political Marketing Yuswohady


No comments:

Post a Comment