Friday 11 January 2013

Ibu
(Sebuah catatan yang diulang)


Saya ingat benar 20 tahun yang lalu itu, saat tengah malam di Rumah Sakit M Djamil Padang, kamar Unit Gawat Darurat. Jarum jam begerak cepat seakan tidak mau bersabar dan memperlambat jalannya. Saya dan kakak saya Reiny serta beberapa sepupu, diantaranya Da Andri (Alfi Ziandri), Muzni Zein dan beberapa teman teman mereka memopong tubuh Ibu yang sudah lemah dari bak belakang mobil pick up Da Zein ke tempat tidur rumah sakit. Hanya beberapa Ko As (Dokter Muda) yang masih duduk duduk di kursi bagian penerimaan pasien serta perawat senior yang mengobrol sesama mereka. UGD malam itu sedang sepi, tidak ada pasien, satu satunya yang datang pukul sebelas malam itu adalah IBU saya. Pasien yang jam dua siangnya meminta pulang karena tidak mau dirawat.

Perawat muda langsung memasangkan selang oksigen ke hidung Ibu, yang lainnya juga memasangkan alat mengukur tekanan darah. Saya, Reni dan Uda Andri tidak menjauh dari ruang meski seorang Ko As meminta kami keluar dari ruangan dan mempercayaan penanganan ibu kepada mereka. Malam itu, saya tidak berpikir bahwa inilah kisah terakhir Ibu di rumah sakit M Djamil setelah beberapa kali sempat dirawat disana. Tidak ada di kepala saya sedikitpun pikiran bahwa kali ini kami akan pulang ke rumah membawa jenazah orang yang sangat kami sayangi, TIDAK, Ibu bagi kami kami adalah nyawa sekaligus masa depan. Kami tidak memiliki ayah.

Saya berdoa kepada Tuhan dan meyakinkan diri bahwa Ibu tidak terkena sakit jantung, tidak ada riwayat medis Ibu bahwa ia menderita jantung. Yang kami ketahui dan tercatat, Ibu menderita sakit kuning (hepatitis) dan sempat dua kali dirawat di RSUP M Djamil. Tapi begitu melihat Ko As dan seorang dokter memasang alat alat perekam jantung ditubuh Ibu, saya langsung gemetaran. Saya berusaha sekuat tenaga meyakinkan diri, Ibu saya tidak akan mengalami apa apa dan kami akan segera pulang.

Tapi waktu begitu keras untuk dilawan, Seorang Dokter spesialis yang biasa merawat Ibu Dr. Sayan Wongso (Alm) memerintahkan Ibu untuk diopname dan memberikan secarik resep. Resep itu segera kami bawa ke apotek Pelengkap (Apotek Resmi RSUP). Bersama Da Andri, Saya dan Reny serta Uni Baidah berjalan ke Apotek untuk menebus obat. Namun disini kesabaran dan mental kami diuji oleh petugas apotek. Harga Obat waktu itu senilai tiga puluh ribu rupiah dan malangnya tidak satupun diantara kami yang mempunyai uang sebesar itu. Da Zein yang dari tadi menunggu datang dan bertanya, kenapa lama sekali obat ditebus.

Kami lalu menjelaskan dan Da Zein kemudian mendatangi petugas jaga apotek bahwa ia bersedia menitipkan SIM dan KTPnya sampai besok pagi. Tapi petugas apotek kurang ajar itu dengan enteng menjawab, "Kami tidak memerlukan KTP apalagi SIM, kalau mau obatnya diambil tinggalkan perhiasan emas salah satu dari kalian," Situasi panik itu benar benar dimanfaatkan oleh petugas rumah sakit atas nama peraturan. Sesaat setelah itu, Da Zein langsung melampiaskan kemarahan dengan menarik kerah baju dan mencekik leher petugas, sambil membanting kunci mobilnya ke wajah si sialan itu. Akhirnya obat dapat kami ambil dengan jaminan KTP.

Selesai ???, tentu saja tidak, kami ketinggalan, Ibu sudah dipindah dari UGD ke Bangsal Penyakit Dalam, dan seperti yang saya takutkan, Ibu ditempatkan di Bangsal Isolasi (Ruang Rawat Khusus). Ketakutan saya menjadi kian nyata ketika beberapa alat medis dipasang dan Ibu tidak lagi bergerak. Dokter Sayan menghampiri saya dan meminta untuk terus mengajak Ibu berbicara dan membacakan Ummul Qur'an.

Saya memegang tangan Ibu, Dingin, kaku dan tidak merespon. Saat meminta Ibu membaca Syahadat, Ibu melakukannya - Dan - semua berakhir.

Satu tarikan nafas dalam, Ibu pergi meninggalkan kami semua. Pukul 02.10. Saya ingat betul kejadian itu. Saya tidak lagi memiliki Ibu. Ibu yang selalu saya cari ke rumah Kak Evi, saat sampai dirumah saya tidak menemukan sosoknya, Ibu yang selalu saya panggil saat saya tidak melihatnya ada di dalam kamar atau di
dalam ruang-ruang rumah kami. Ibu yang selalu saya inginkan hadir bahkan saat seperti keadaan saya sekarang ini.

Tidak ada air mata, mungkin sudah demikian adanya waktu itu, yang saya tahu, Dokter Sayan memegang bahu saya dan mengucapkan kalimat, "Sabar ya, bacakan Al Fatihah untuk Ibu,". Ya, saya membacakan Al

Fatihah, Ayat Kursi lalu kembali terdiam, bahkan saat kain panjang yang dipakai untuk menutup wajah ibu ditarikpun saya masih terdiam tak bersuara.

Pelan dari mendengar Reni menangis, Ia dipegang Da Andri yang juga ikut menangis. Da Zen mengurus semua. Saya blank, berjalan tak tentu arah, kesana kemari tapi tidak tau apa yang harus saya lakukan. Duduk tidak mau, berjalan kuat kamana saja. Itulah kami malam itu. 28 Agustus 1992. Sesampai di rumah, orang pertama yang Saya kasi tau Ibu meninggal adalah Ibuk (Ibunya Kak Evi Triana) dan Ayah serta Ima. Dua orang yang sangat dekat dengan kami. Bahkan saat kursi kursi di dalam rumah dikeluarkan untuk menempatkan jenazah diruang tengahpun, saya masih terus berjalan ke rumah Mamak di komplek GOR, lalu ke Pasar Raya memberi tau teman teman Ibu tentang kepergiannya. Barulah jam 8 pagi sesampai dirumah, temen temen sekelas saya lihat memenuhi rumah saya, ada Asrul yang menyampaikan berita ini ke sekolah. Saya masuk ke dalam memandangi Ibu yang tertidur pulas. Lalu Riky, dan Ayang.

Sesuai dengan pesan dari nenek kami, agar jenazah Ibu dibawa ke kampung, siangnya sehabis shalat Jum'at, Ibu dimakamkan di samping makam Abak. Saya - masih saja terdiam, tidak banyak bersuara. Ini nyata, tapi bagi saya ini tidak berasa sama sekali. Saya benar benar blank dan tidak tau harus bagaimana. Situasi berubah saat satu persatu tanah kuburan diturunkan, tangis saya keluar juga. Saya sadar ini benar benar nyata adanya. Mulai hari itu, tidak akan ada lagi sosok Ibu dalam hidup saya.

Bertahun-tahun berlalu, hingga hari ini tepat 20 tahun, saya selalu menginginkan Ibu kembali, merindukan Ibu yang (sungguh) tidak lama saya rasakan kasih sayangnya. Pernah suatu kali, di akun FB ini juga, saya menulis sangat ingin berada dalam pelukan Ibu, menangis, mengadukan semua keluh dan kesah serta marah, dan meminta Ibu memberikan kalimatnya.

Sungguh saya merindukan Ibu saya. Perempuan kuat, tegar dan perkasa yang pernah saya kenal. Semoga Allah mengampuni kesalahannya dan ditempatkan disisiNya. Perempuan terbaik yang setiap hari, setiap namanya melintas dipikiran saya, dalam setiap Shalat Subuh dan malam menjelang tidur saya kirimkan Ummul Qur'an kepadanya. Semoga nanti kita berkumpul kembali ya Bu.

Tulisan ini saya tulis sambil menitikkan airmata. Airmata anak lelaki yang kehilangan ibunya.

Tjikini, Agustus 2012
Boby Lukman

No comments:

Post a Comment