Saturday 31 December 2011

Anggota DPRD Sasaran Kriminalisasi

Tahun 2008 yang lalu, saya ingat betul, saya pernah menulis tentang mewaspadai terhadap anggota DPRD. Dan sebuah salah satu harian lokal di Padang menerbitkannya di halaman khusus opininya. tapi bukan soal tulisannya yang membuat saya ingin menulis lagi soal ancaman kriminalisasi terhadap anggota DPRD, akan tetapi kalimat Ketua Umum ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia) H. Salehuddin saat diwawancarai wartawan Sabtu (17/12) lalu-lah yang membuat saya kini kembali mereview ulang tulisan tersebut.

Dalam wawancara yang dikutip oleh wartawan Kompas itu, Salehuddin menyebutkan bahwa anggota DPRD baik yang berada di kabupaten atau kota maupun propinsi adalah target operasi dari aparat penegak hukum. Miris, tentu saja hal itu saya rasakan, karena sudah lama rasanya hal itu terus terjadi dan dibiarkan. Malah oleh Pak Salehuddin, aparat penegak hukum begitu leluasa menangkap anggota dewan hanya karena memikirkan kuantitas perkara tanpa memperhatikan kualitasnya.

Tulisan ini juga sejujurnya tidak saya maksudkan untuk memprovokasi anggota DPRD agar melawan pada hukum, apalah saya ini berani benar mengompori anggota dewan pula untuk melawan pada hukum, namun lebih saya tujukan agar anggota DPRD sadar bahwa mereka rentan untuk diperlakukan katakanlah TIDAK ADIL.

Anggota DPRD seperti diungkapkan Ketum ADKASI diibaratkan sebagai Big Fish oleh aparat penegak hukum, sebab jika mampu menjerat anggota DPRD, maka rating aparat penegak hukum akan naik dimata masyararakat. Sesuatu yang miris dan menyedihkan tentunya bagi anggota DPRD berhadapan dengan aparat yang masih berpandangan seperti itu.

Sejak era reformasi bergulir tahun 1999 lalu, berbagai regulasi tentang kedudukan keuangan dan aturan protokoler DPRD sudah banyak diterbitkan diantaranya Peraturan Pemerintah PP 110/2000 yang kemudian diganti dengan PP 24/2003, PP 37/2005, PP 37/2006 dan terakhir PP 21/2007. Namun kesemua Peraturan Pemerintah itu selalu saja menulai protes dari kalangan masyarakat sipil.

DPRD bahkan dituduh tidak punya hati nurani karena menerima tunjangan yang sudah ditetapkan menjadi haknya. Bahkan lebih parah dari itu, karena menerapkan PP itu, beberapa anggota dewan bahkan harus menjadi pesakitan di pengadilan dan menjalani hukuman penjara.

Satu point penting perlu dicermati oleh para anggota DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota, kalaulah boleh disebut mengingatkan akan kenangan pahit di beberapa DPRD dan khususnya bagi DPRD Sumbar dan juga beberapa DPRD lainnya di belahan wilayah Indonesia yang mengalami frase menyakitkan sebagai terdakwa korupsi, saya hanya ingin memberikan sedikit gambaran tentang bahaya kirminalisasi terhadap anggota DPRD.

Mencermati pernyataan Ketua Umum pada Rakernas lalu, kiranya perlu lagi direnungkan bahwa tidaklah mudah menjadi anggota DPRD, selain berhadapan langsung dengan masyarakat, anggota DPRD juga mempunyai beban yang jauh lebih berat dari anggota DPRD Propinsi atau bahkan DPR-RI.

Saat ini saja beberapa perkara yang melibatkan anggota DPRD baik secara langsung maupun tidak langsung sudah ditangani oleh aparat penegak hukum bahkan sudah ada yang diputuskan meski belum berkekuatan hukum tetap.

Jadi, tidaklah mudah untuk terpilih sebagai anggota DPRD, namun jauh lebih tidak mudah lagi setelah terpilih dan mendapatkan prediket wakil rakyat. Karena ancaman kriminalisasi membayang setiap waktu. Waspadalah.

No comments:

Post a Comment