Friday 30 April 2010

Selamat Berpilkada

Momentum 2010 ini merupakan suatu momentum yang sudah ditunggu-tunggu oleh sebagian pencari kekuasaan untuk dapat bertarung dalam sebuah arena yang disebut pilkada. Berdasarkan data yang terhimpun oleh KPU diseluruh Indonesia terdapat lebih dari 130 pilkada provinsi kabupaten dan kota seluruh Indonesia (Klik disini). Dari sekian momentum pilkada yang menarik adalah pilkada did aerah Kabupaten Kutai Kartanegara.

               

Secara de facto, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah kabupaten pertama yang menjalankan pemilihan secara langsung pasca reformasi. Berdasarka fakta itu, muncullah harapan yang cukup besar dipundak bupati terpilih saat itu. Momentum kebangkitan Kerajaan Kutai Modern dengan pembangunan –pembangunan supra dan infrastruktur secara komprehensif. Fakta hanyalah tinggal fakta semata, dibalik mewahnya pergelaran pesa demokrasi itu ternyata output hasil pilkada itu hanya tinggal cerita dibalik layar belaka. Bupati terpilih saat itu H.Syaukani HR dan H.Syamsuri Aspar, keduanya teribat vis a vis dengan KPK sehingga semuanya harus berakhir di bui.

                Seluruh mata dunia internasional dibuat berdecak kagum dengan keberhasila pilkada langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah, namun dibalik semua itu ternyata masih meninggalkan sisa puing-puing kebijakan yang masih berserakan. Cerita masa lalu yang hanya dapat dikenang oleh memori-memori yang tersisa kini pada tanggal 1 Mei 2010 berrtepatan dengan hari buruh sedunia dilaksanakan pilkada untuk memilih pemimpin yang memiliku karakter kuat dalam memimpin, sense of belonging yang tinggi, senses of leadership yang tanggung serta menguasai medan adalah kriteria absolute untuk memilih calon pemimpin di kutai kartanegara.

                Sungguh beruntung memang memimpin kabupaten terkaya di Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah dan APBD nyaris 5 triliun (terbesar di Indonesia) harusnya aspek people wefare dapat tercover dengan baik. Cernati, apakah permasalahan kesehatan masih marketable bagi cabup untuk dapat menarik simpati masa, apakah program pendidikan gratis bukan hanya kualitas yang diperbaiki akan tetapi kuantitas juga harus merata, apakah penegakan supremasi hukum masih dapat ditegakkan dengan mengedepankan aspek praduga tidak bersalah? Semua pasti bicara kecap nomor satu, tidak ada kecap nomor dua. Namun dengan kecap nomor satu itu bagaimana bisa diolah menjadi makanan yang siap saji sehingga seluruh rakyat dapat menikmati hasilnya.

                Support program untuk meningkatkan mikro ekonomi dan stabilisasi makro ekonomi sangat penting agar laju perekonomian dapat mencapai 5% lebih pertahun dan semakin ditingkatkan daru tahun ke tahun. Proses pendampingan bagi ekonomi mikro harus beriringan dan sejajar agar ekonomi mikro tidak tergerus oleh arus globalisasi yang semakin memakan korban. Ingat. Alokasi APBD tahun 2010 nyaris 5 triliun itu hampir mendekati APBD Kaltim seharusnya aspek-aspek diatas tadi dapat terpenuhi. Momentum 1 Mei ini adalah momentum untuk Kukar bangkit, bangkit dari keterpurukan dan bangkit dan ketertindasan. Siapapun pemimpinnya, konsep solus populis supremalex harus dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Sang Khaliq.

 

Sani Rachman Soleman, S.Ked

Aktivis HMI MPO Cabang Yogyakarta



Monday 26 April 2010

demoralisasi generasi ulil albab

Momentum kelulusan asalah momentum yang cukup lama ditunggu-tunggu oleh banyak siswa khususnya siswa SMA setelah penantian selama 3 tahun menempuh studi pada jenjang SMA. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa perayaan demi perayaan akan dilakukan untuk dapat melampiaskan hasrat mudanya yang bebas dan lepas untuk dapat menunjukkan eksistensi hasil studi selama 3 tahun.  Sebagian beranggapan bahwa, kelulusan identik dengan hedonism, eudomonisme dan liberalism. Mereka melupakan altruism. Seakan akan dengan pelampiasan sifat-sifat tersebut mereka merasa memenangkan sebuah pertandingan besar yaitu ujian nasional.


Luapan emosional setelah mengetahui proses kelulusan itu diluapkan dengab berbagai macam cara, dan cara yang klasik dan selalu saja terulang adalah coret-mencoret baju sekolah yang merupakan tradisi yang tak akan pernah lekang. Bukan Cuma itu saja sebuah tradisi budaya barat sudah merasuk dan membuat disparitas yang lebar antara budaya ketimuran dan budaya kebarat-baratan. Budaya yang sama sekali tidak menujukkan eksistensi sebagai tunas muda bangsa Indonesia yang berbudi luhur. Budaya setan yang merusak tatanan moral dan menyebabkan infeksi moral yang sistemik yang sedikit demi sedikit menggerogoti jati diri budaya timur Indonesia. Kissing, Necking, Petting dan Intercourse seolah-olah bukan lagi hal yang tabu yang dapat dipertontonkan pada khalayak umum. Hal yang seharusnya hanya dapat dilakukan pada meraka yang sudah dimata hukum, baik hukum duniawi maupun hukum akhirat. Budaya yang saat ini lazim dikenal dengan istilah KNPI itu sudah merusak tatanan moral yang mengikis sendi-sendi kehidupan.

Apakah wajar jika melihat budaya kissing dsb dalam proses kelulusan. Bahkan itu dilakukan terang-terangan didepan umum? Apakah seperti ini calon-calon penerus generasi muda Indonesia? Apakah ini yang dikatakan bung Karno, “Jika saya diberi 10 orang pemuda maka niscaya akan ku cabut semeru dari urat nadinya” Apakah seperti ini??.!!! Siapakah yang dapat menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang muncul ini.. Mungkin para founding fathers bangsa ini akan menangis menyesakkan dada melihat generasi penerus, sebuah generasi ulil albab yang digadang-gadang akan muncul seorang ratu adil yang mampu membawa perubahan bangsa ini dari bangsa jahiliyah menjadi bangsa yang bermartabat.

Wednesday 21 April 2010

Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah

Ada benang merah antara Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi 2001, dengan Indonesia dan ekonomi syariah. Melalui buku-bukunya, Stiglitz banyak mengungkap berbagai persoalan yang secara langsung dan tidak langsung dihadapi Indonesia. Melalui bukunya pula, terkuak pemikiran Stiglitz yang entah disadarinya atau tidak, memiliki sudut pandang yang sama dengan ekonomi syariah.

Joseph E. Stiglitz adalah pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001. Kemenangannya diraih atas penciptaan cabang teori baru yang disebut The Economics of Information yang banyak mengulas dampak asimetri informasi. Teori ini merupakan pionir dalam konsep adverse selection dan moral hazard yang saat ini menjadi pedoman bagi para teoritis dan analis kebijakan.

Selain sebagai pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom ‘kontroversial’. Stiglitz kerap membela kepentingan negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar, dan sejumlah lembaga internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF)dan Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan Amerika Serikat (AS) untuk menekan negara-negara dunia ketiga melalui cengkeraman kapitalisme ekonomi.

Publikasi

Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah menjadi bagian penting dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret kebijakan ASdalam mengelola agenda globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar.

Stiglitz berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembangbanyak diakibatkan kepatuhan yang sangat kepada resep kebijakan WashingtonConsensus. Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington Consensus, Stiglitz menulisWashington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus menyatakan, kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus tidak dapat begitu saja diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya sejumlah negara yang mencapai keberhasilan pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan.

Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi konsekuensi sistem globalisasi,khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar kemunafikan dan standar ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam paket liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pulakeprihatinannya terhadap korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin danberkembang akibat tingginya ketimpangan sosial.

Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik (2006), Stiglitz mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits menjadikan buku ini sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di dunia. Ia mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional. Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya, pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia.

Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmesmengulas hitungan rinci biaya ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak.Dengan jargon ekonomi tentang opportunity cost, biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai perang akan sangat berarti dalam mengatasi berbagai persoalan pelik terkait kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang dirasakan masyarakat sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk menciptakan kedamaian dunia, maka hal itu akan jauh lebih berarti.

Stiglitz dan Indonesia

Hampir di semua bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Diskusi tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalamGlobalization and Its Discontents (2002). Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena keprihatinannya pada Indonesia. Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain. Akibat mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di Asia Timur. Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF.

Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz menekankan peran pemerintah ini juga sebagai kritik atasWashington Consensus yang diadopsi pemerintah Indonesia. Ia mengingatkan, AS yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara berkembang juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.

Dalam kunjungannya ke Indonesia, Stiglitz juga banyak bicara mengenai masalah politik pemerintah Indonesia di bidang penanaman modal asing. Dengan berani, Stiglitz mengkritisi pemerintah Indonesia agar berani menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat.

Stiglitz dan Ekonomi Syariah

Seorang rekan di bank sentral Indonesia bercerita, ketika Stiglitz mengunjungi Jakarta, petinggi bank sentral Indonesia pernah menyampaikan kepada Stiglitz bahwa konsepekonomi yang digaungkan Stiglitz sebenarnya adalah konsep ekonomi syariah. Stiglitz menjawab, "Memang benar, konsep saya tentang paradigma baru ekonomi moneter itu adalah ekonomi syariah”.

Sebelumnya, melalui buku Toward a New Paradigm in Monetary Economics(2003), Stiglitz dan Bruce Greenwald memperkenalkan pendekatan baru dalam ilmu ekonomi. Pendekatan inilah yang menjadi benang merah antara Stiglitz dengan ekonomi syariah, selain seruan dalam setiap buku-bukunya yang selalu menuntut keadilan dan mengecam ketimpangan.

Setidaknya ada tiga pendekatan Stiglitz dalam buku tersebut yang merupakan teori ekonomi syariah bidang moneter. Pertama, Stiglitz mengemukakan bahwa efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi perbankan, terutama dalam penyaluran kredit. Kredit lebih sesuai untuk mengukur transactional demand dan spending poweryang sesungguhnya. Penegasan Stiglitz tentang pentingnya kredit untuk menunjang pertumbuhan ekonomi selaras dengan teori ekonomi syariah yang berorientasi pada sektor riil.

Kedua, Stiglitz menyatakan bank harus berperilaku netral dan risiko harus terdistribusiefektif bagi seluruh pelaku ekonomi. Dalam teori ekonomi syariah, bank diasumsikan tidak dapat memastikan keuntungan dan kerugian di masa depan serta harus mengedepankanprofit-loss sharing. Konsep ini memberi pesan bahwa bank harus diposisi netral serta keuntungan dan risiko harus terdistribusi pada semua pelaku ekonomi.

Ketiga, Stiglitz menyatakan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga kini tidak efektif lagi dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil. Untuk itu, penggunaan instrumen suku bunga untuk mempengaruhi jumlah uang beredar hendaknya diubah menjadi kebijakan yang berdasarkan kepada mekanisme permintaan-penawaran kredit. Hal ini selaras dengan prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan penggunaan instrumen bunga. Dalam teori ekonomi syariah, intisari kestabilan ekonomi bukan denganmoney creation, melainkan dengan money velocity. Wallahu’alam bishowab.

Khairunnisa Musari, Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga.
Summber:www.pkesinteraktif.com

Sunday 18 April 2010

Kritik Terhadap Transaksi Murabahah Bank Asing

Kontrak Murabahah Commodity dan bentuk-bentuk penggalangan dananya semisal tabungan atau deposito murabahah adalah salah satu produk unggulan yang gencar dijual oleh bank-bank global atau internasional yang beroperasi dengan prinsip syariah di berbagai negara. Transaksinya banyak melibatkan bursa berjangka seperti London Metal Exchange dan bursa berjangka lainnya di berbagai negara.

Hal ini cukup menarik untuk dibahas, terutama dalam hal bagaimana pandangan syariah terhadap transaksi yang berlangsung dalam bursa berjangka dan bagaimana sesungguhnya sumbangsih Kontrak Murabahah Commodity dalam perbankan syariah yang sangat menjalankan fungsi intermediasi antara sektor keuangan dengan sektor riil.

Nuansa Konvensional Murabahah Commodity

Dalam pandangan syariah, suatu transaksi terlarang ketika paling tidak mengandung salah satu dari riba, gharar (risiko) berlebihan dan maysir (perjudian). Pembahasan yang dilakukan oleh ulama mengenai kontrak berjangka dan instrumen turunan (derivative) lainnya umumnya terletak pada kandungan Gharar yang berlebihan di dalamnya. Gharar bisa didefinisikan sebagai penjualan dari probable items yang eksistensi dan karakteristiknya tidak pasti, karena mempunyai risiko berlebihan yang mana membuat perdagangan itu menyerupai atau bahkan menjadi perjudian. Gharar timbul ketika adanya ketidakpastian atau ketidakcukupan informasi (jahl) dalam persyaratan-persyaratan yang ada dalam suatu kontrak seperti harga, obyek transaksi, jumlah obyek, waktu penyerahan, tempat penyerahan dan lainnya. Dalam sejumlah hadits, Rasulullah Muhammad SAW telah melarang jual beli yang mengandung Gharar ini.

Kontrak berjangka memiliki pengertian mirip dengan kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan sekarang. Hanya tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka komoditas tembaga, 1 unit tembaga akan diperdagangkan pada harga x dan akan diserahkan pada waktu penyerahan (delivery date), akhir bulan ketiga. Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan. Kewajiban dari pembeli (long position) adalah menyerahkan 1 unit tembaga, sementara kewajiban penjual (short position) adalah membayar x unit uang. Meskipun dalam bursa berjangka, setiap trader wajib mendeposit sejumlah dana (margin) kepada pengelola bursa (clearing house), tidaklah mengakibatkan kewajiban kedua belah pihak tidak tertunda. Alasannya, jelas karena margin itu sendiri tidak diserahkan kepada para pihak (counterparties) dari kontrak dan biasanya mempunyai nilai jauh lebih kecil dibanding dengan besar nilai kontrak.

Mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang karena adanya kandungan Gharar yang berlebihan. Transaksi seperti ini dikenal juga dengan nama bai’ al-mudaf. Ada beberapa justifikasi terhadap adanya kandungan Gharar dalam kontrak berjangka.

Oleh Muhammad Gunawan Yasni, SE.Ak.,MM
Sumber: www.niriah.com

Pesona Merek Spiritual

Perbincangan mengenai merek (brand) dan pemerekan (branding) merupakan hal yang sangat esensial dalam konteks pemasaran. Merek merupakan simbol, warna, kata-kata atau atribut lain yang unik dan menjadi pembeda dengan merek lain. Sedangkan pemerekan merujuk pada proses membangun suatu merek, baik merek perusahaan, produk, personal, gagasan, kawasan atau kota, hingga bangsa atau negara.

Merek juga menjadi batas yang membedakan pemasaran dengan perdagangan (trading) yang aktivitasnya seputar jual-beli komoditas (tanpa merek). Sementara pemasaran diawali dengan identifikasi kebutuhan dan selera pasar, memilah dan memilih segmen pasar yang mau dibidik, menyiapkan produk yang sesuai dengan karakteristik konsumen dan memberinya nama/merek produk, menetapkan harga yang pas, lalu merancang pesan komunikasi, mendistribusikan produk hingga terpajang di tempat pembelian, dan setelah produk terjual masih terus memonitor pasar untuk memberikan layanan yang prima.

Dalam pemasaran spiritual, jiwa sebuah merek bertumpu pada suara hati atau nurani (ruh). Karakter merek adalah pancaran dari sifat-sifat mulia Sang Pencipta, karena merek menjadi benang spiritual untuk mengagungkan Allah; bukan cuma untuk membuat merek terkenal dan laris. Jadi, pesona merek spiritual adalah cerminan pesona Ilahiah, bukan pesona produk, perusahaan, gagasan, kawasan, kota atau bangsa semata.

Jenjang Merek Spiritual

Berbagai upaya untuk membangun pesona merek spiritual (spiritual branding) ini menjadi ciri utama pemasaran spiritual. Ada empat lapis merek yang perlu dicermati dari jenjang merek personal, produk, perusahaan hingga spasial. Agar merek bernilai spiritual, maka karakter dan identitas merek harus menebar nilai-nilai transendental yang memancarkan pesona Ilahiah.

Pertama, merek personal (personal branding). Sosok pribadi yang memiliki citra spiritual tentu bukan hanya dari kalangan agamawan. Banyak pebisnis yang masih jernih hati nuraninya sehingga tampil simpatik dan peduli terhadap sesama. Nabi Muhammad sendiri sejak usia belia dikenal sebagai sosok usahawan. Setelah diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun, baru menjadi figur pemimpin spiritual.

Kedua, merek produk (product branding). Air minum dalam kemasan merek MQ Jernih dari kelompok perusahaan milik Aa Gym menarik untuk jadi contoh karena mencantumkan 2,5% dari keuntungan disisihkan untuk kaum papa. Ini sebenarnya penerapan zakat untuk disalurkan kepada mereka yang berhak.

Ketiga, terkait merek produk, kita perlu mengulas merek perusahaan (corporate branding) yang berada di balik produk. Setiap outlet dan produk The Body Shops (TBS) secara konsisten mencitrakan peduli lingkungan hidup dan menentang uji-coba laboratorium atau produk yang menggunakan, apalagi menyakiti binatang (against animal testing). TBS adalah perusahaan bernuansa spiritual yang ramah lingkungan dengan produk berbahan baku alaminya.

Terakhir, untuk konteks yang lebih luas/spasial, kita perlu membahas merek kawasan, lokasi, kota atau tempat (destination branding). Karena itu, muncul istilah destination marketing, city-branding, dan places marketing untuk pemasaran kawasan wisata, hunian, kota, bahkan tempat belanja atau sekadar rumah makan. Dalam konteks makro, kita mengenal citra bangsa (country image) atau merek yang membawa nama bangsa (citizen brand).

Oleh Hifni Alifahmi
Sumber: www.niriah.com

Senjakala Sistem Kapitalis

Setelah sistem sosialis tumbang, sistem kapitalis diperkirakan bakal menyusut. Tanda-tanda di amabang ajalnya sistem kapitalis itu bisa dilihat dari meningkaknya kredit derivatif dari Rp. 500 triliun pada 1998, menjadi Rp. 24.000 triliun pada akhir Desember 2002. Belum lagi jumlah obligasi yang default mencapai Rp. 1.650 triliun, jumlah yang jauh lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya. Siap runtuh bersama sistem ini atau mencari sistem alternatif?

Sudah lama konsep dan sistem kapitalis ini menjadi sorotan, sejak Karl Max dan para pengikutnya, pemikir sosialis lainnya seperti EF Schumacher, Soedjatmoko, D.R Scott, pemikir ekonomi Islam seperti Umer Chapra, Prof M. A Manan, Masudul A. Choudury, Najetullah Siddiqi, sampai pada aliran sempalan kapitalis seperti Joseph Stiglitz, Paul Ormerod, Lester Thurow, Kevin Phillip untuk menyebut beberapa nama.

Sistem ini semakin menjadi bahan pemikiran ulang lagi setelah beberapa skandal perusahaan terjadi belakangan ini yang puncaknya menghasilkan Sarbanes Oxley Corporate Act 2002. Sejauh ini yang menjadi perhatian pemerintah Amerika adalah memperbaiki aspek teknis dari sitem kapitalis itu, bukan filosofinya sehingga tidak heran jika krisis demi krisis ekonomi akan terus berulang.

Krisis ekonomi kapitalis ini sejak awal sampai sekarang telah terjadi, katakanlah, misalnya krisis ekonomi 1930, 1960, 1980, 1999, 2001 dengan berbagai pemicu dan besarannya. Sejauh ini yang diperbaiki hanya aspek teknisnya. Ambillah misalnya krisis 2001 dengan munculnya kasus Enron dan lain-lain yang terjadi adalah krisis kepercayaan disebabkan oleh karena skandal akuntansi dan etika di kalangan manajemen dan profesional (akuntan dan analisis)yang mengelola perusahaan Amerika. Mereka ini melakukan kerja sama strategis untuk meraup keuntungan dari sistem yang ada.

Respon Amerika misalnya adalah dengan menambah peraturan-peraturan yang sudah banyak. Berdasarkan Sarbanes Oxley Corporate Act 2002 misalnya maka akan dibentuk Public Corporation Oversighat Board. Namun sayangnya dalam mengisi pos-pos itu sudah menimbulkan kontroversi karena adanya tarik-menarik antara elit politik dan pihak-pihak yang berkepentingan.

William Webster yang telah ditunjuk untuk mengisi jabatan Accounting Oversight Board sudah mengundurkan diri pada 11 November yang lalu. Bahkan integritas dan independensi Ketua SEC saat ini Harvey L. Pitt pun diragukan karena kedekatannya dengan industri akuntansi.

Keadaan ini menggambarkan bagaiman sistem kapitalis itu sebenarnya sangat rentan dengan hal-hal yang bersifat manusia yang disebabkan oleh hawa nafsu serakah manusia yang sebenarnya dalam ekonomi Islam sudah diatur sedemikian rupa sehingga manusia dan segala keserakahan hawa nafsunya harus tunduk pada kepentingan yang lebih luhur dan lebih kekal bukan kepentingannya sesaat atau sepihak.

Sitem kapitalis itu sendiri akan mengulangi kesalahan-kesalahan lama dan terus berulang jika sifat dasar, filosofinya tidak diperbaiki. Sifat dasar kapitalisme memang dari awalnya sudah tidak "seimbang", tidak adil. Karena visi dan misinya hanya mengutamakan "pemiliki modal". Pemilik modal sebagai motor penggerak, inisiator, leader, dan otomatis juga sebagai penerima berkahnya. Pihak lain seperti tenaga kerja, profesional harus dibawah naungannya.

Oleh Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap
Sumber:www.niriah.com


Tuesday 13 April 2010

Konsep Abrahanomics

Kegagalan ekonomi kapitalis tak bisa lagi ditutup-tutupi. Sistem ekonomi kapitalis ini memang telah berhasil menciptakan masyarakat modern seperti saat ini. Sayangnya, jumlah manusia yang mampu diangkatnya hanya sebagian kecil masyarakat, bukan seluruhnya. Sebanyak 40 persen dari penduduk sampai saat ini masih berada dalam keadaan berpendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari. Maka itu, Millennium Development Goals (MDG) PBB mencoba mengatasinya dengan target pengurangan angka kemiskinan 50 persen dalam tempo 15 tahun. Sejauh ini, target itu belum tercapai. Bahkan, pada tahun ini, justru dunia menambah jumlah kemiskinan hampir 100 juta.

Konsep ekonomi yang mendominasi kita saat ini memang didesain oleh kapitalis atau mereka yang memiliki modal, memiliki uang, atau memiliki kekayaan untuk kepentingan mereka. Dalam konsep ini, manusia adalah faktor produksi atau objek, bukan subjek pembangunan ekonomi. Manusia pemilik modal adalah inisiator, pelaku, dan penerima hasil pembangunan ekonomi. Meminjam istilah demokrasi yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis adalah dari, oleh, dan untuk kapitalis.

Model, formula, dan hasil dari aktivitas ekonomi, termasuk kinerja entitas ekonomi yang dibangun oleh dunia ilmu pengetahuan saat ini, didesain untuk kepentingan si pemodal tadi. Sehingga, aspek yang waktu itu tidak terpikirkannya saat ini menjadi masalah yang tidak kalah besarnya dengan masalah yang sudah berhasil diatasinya itu.

Mengapa ada yang gagal? Inilah bukti kelemahan manusia yang sangat terbatas karena Tuhan memberikan ilmu sedikit. Namun, kita merasa serbatahu sehingga kebenaran hakiki dibatasi hanya pada wilayah empiris, rasional, serta pengalaman yang dirasakan dan yang masuk akal. Ternyata, itu keliru. Kita lupa bahwa dunia ini mengandung bahkan sarat dengan beberapa keberadaan yang sifatnya gaib dan belum dapat dipecahkan oleh manusia. Konsep ekonomi, konsep moneter, konsep keuangan, konsep bisnis, konsep manajemen, dan konsep akuntansi ternyata mengandung kesalahan dan kelemahan. Akibatnya, kita masuk dalam perangkap keyakinan kita sendiri yang merasa benar sehingga menghasilkan situasi instabilitas, debacle, krisis, turbulen ekonomi dan keuangan, serta kehancuran sistem ekonomi yang kita alami saat ini secara berulang-ulang dengan intensitas krisis yang semakin kompleks.

Kesalahan ini memang bisa dimaklumi karena konsep kapitalisme merupakan pemikiran dengan ideologi sekuler yang tidak menempatkan titah Tuhan sebagai suatu kebenaran. Kapitalis menempatkannya sebagai kebenaran dogmatis yang jelas kesalahannya. Sikap menilai hal dari agama dogmatis bermula dan berakar dari sikap gereja pada abad ke-15 yang menempatkan dirinya sebagai penerjemah kebenaran tunggal dari wahyu Tuhan tanpa memanfaatkan kebebasan rasio manusia yang juga bisa mencapai kebenaran. Sikap gereja waktu itu yang mengklaim sebagai satu-satunya sumber kebenaran memang mengandung kelemahan. Sikap ini memunculkan gerakan sempalan dari pihak rasionalis yang menggunakan cara berpikir bebasnya untuk 'melawan' gereja.

Sekarang, semua sudah belajar sistem ekonomi kapitalis yang membawa ideologi sekuler dengan penekanan pada rasionalisme, empirisme, dan mengabaikan hal-hal yang bersifat teostik, profetik, dan transendental. Namun, hal tersebut ternyata gagal mencapai tujuannya. Para agamawan yang membawa pesan teostik, profetik, dan ajaran transendental lainnya juga sudah menyadari kesalahannya. Kita menyadari dan melihat permasalahan dunia yang demikian kompleks itu tidak bisa hanya dipecahkan melalui tafsir hermeneutik dari kitab suci dengan pendekatan tekstual dan linguistik, tanpa dibarengi dengan pasangannnya, yaitu tafsir tekstual atau tafsir kauniah (empiris) yang merupakan dominasi kapitalis selama ini.

Kedua pihak: gereja/agamawan/ulama/pembawa kebenaran profetik dan teostik, ahli fikih bersama rasionalis/empiris/pragmatis/ateis adalah pasangan komplementer yang harus bisa bekerja sama untuk memecahkan masalah kemanusiaan ini. Keduanya tidak perlu lagi berseberangan pendapat dan sikap yang akhirnya saling menyalahkan hingga semakin jauh dari kebenaran hakiki. Kedua pendekatan bisa diterima dan akan semakin akurat jika kedua pendekatan itu digabung dan diinteraktifkan dalam suatu domain yang sama dan menghasilkan tafsir teostik empiris yang lebih akurat. Fenomena peleburan beberapa IAIN menjadi universitas adalah ranting-ranting dari fenomena yang saya kemukakan di atas ini. Namun, karena masih dalam periode baru dan transisional, arah dan hasilnya belum nyata. Kendatipun ada transformasi IAIN menjadi universitas umum, yang terjadi bukan kombinasi teostik dan empiris, tetapi masuknya dominasi empiris sekuler dalam dunia yang selama ini dinilai terlalu teostik dan hermeneutik.

Harvard University Forum on Islamic Finance pada 27-28 Maret lalu yang diadakan di Harvard University, Cambridge, Massachusetts, USA, menunjukkan tanda-tanda ke arah peleburan kedua aliran filsafat itu. International Forum yang dilaksanakan hampir setiap tahun sejak 1994 dan sekarang ini sudah yang kali ke-9 telah mendapat sambutan dari semua agama samawi yang ada. Tema Bridging the Financial Communities memiliki makna yang sama dengan apa yang saya jelaskan di atas. Yaitu, menjembatani dua kutub besar dalam pandangan hidup yang dominan saat ini. Maksudnya, antara aliran teostik hermeneutik dan ateis empiris dalam merumuskan sistem keuangan yang lebih adil, lebih memberikan kebahagiaan bersama, dan lebih membawa kita menuju keridhaan Ilahi. Kehadiran beberapa tokoh keuangan konvensional, interchnage faith movement, good governance institute, atau utusan dari agama Yahudi, Katolik, dan Kristen di bawah payung Universitas Harvard yang terkenal konservatif ini menunjukkan adanya titik terang ke arah pembangunan jembatan itu.

Salah satu imbauan dari sesi panel terakhir yang juga dapat dianggap sebagai kesimpulan forum adalah imbauan dan ajakan agar penganut agama samawi, penganut agama Ibrahim yang monoteistik, harus bahu-membahu mempersiapkan konsep sistem ekonomi keuangan yang bisa menawarkan paradigma baru untuk menggantikan paradigma sistem ekonomi kapitalis yang saat ini sebenarnya sudah kolaps. Oleh karena itu, tidak salah jika sebuah paper dari Canada menyebutnya sebagai sistem ekonomi Abrahanomic. Ini bermakna bahwa sistem ekonomi dan keuangan Islam yang sudah diimplementasikan dengan kinerja yang sangat baik harus juga didukung oleh agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani). Karena, ketiga agama ini lebih banyak persamaannya dibandingkan 'agama' kapitalisme.

Sofyan S Harahap (Dosen FE Universitas Trisakti)
Republika Online

Raja Henry VIII dan Tawarruq

Raja Henry VIII memang sosok kontroversial. Keinginannya untuk mempunyai istri lebih dari satu menjadi salah satu pemicu retaknya hubungan kerajaan Inggris dengan gereja Katolik Roma.

Raja Henry VIII akhirnya menikah dengan enam orang istri yang mempunyai keunikan karakter masing-masing. Catherine of Aragon, mendapat julukan Sang Pengkhianat (the Betrayed Wife ), adalah istri pertamanya. Anne Boleyn, istri keduanya, dijuluki Sang Penggoda (the Temptress).

Jane Seymour menjadi istri ketiga, dijuluki Wanita Baik (the Good Woman). Anna the Cleves adalah istri keempat yang dijuluki Si Buruk (the Ugly Sister). Katherine Howard, yang kelima, dijuluki Si Jahat (the Bad Girl). Akhirnya, Catherine Parr yang dijuluki Sosok Keibuan (the Mother Figure).

Pemicu lainnya mencuat ketika Raja Henry VIII pada 1545 membolehkan bunga uang meskipun tetap mengharamkan riba dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda, yaitu tidak lebih dari delapan persen. Pada 1547 John Calvin di Jenewa juga membolehkan bunga uang asalkan tidak lebih dari lima persen. Padahal, ketika itu gereja Katolik Roma masih mengharamkan riba dan tidak membedakannya dengan bunga uang.

Baru ratusan tahun kemudian Vatikan menoleransi kebolehan bunga uang pada 1822-1836. Ratusan tahun lagi untuk menoleransi bankir sebagai suatu profesi yang halal, tepatnya pada 1950 ketika Paus Pius XII menyetujui sistem perbankan.

Membolehkan suatu yang haram dengan suatu batasan dalam keadaan dan waktu tertentu memang dapat menjadi sikap bijaksana. Dalam kaidah fikih pun dikenal ketika keadaan sempit hukum menjadi luas, ketika keadaan luas hukum menjadi sempit.

Dalam keadaan tersempit yang dalam istilah fikihnya disebut darurat, memang suatu yang haram dapat dibolehkan. Namun, bila hal ini berlangsung lama maka suatu yang haram akan dianggap halal untuk seterusnya.

Murabahah yang dikenal dalam kitab fikih sebenarnya tidak lebih dari suatu transaksi menjual barang dengan si penjual menyebutkan besaran keuntungan yang diambilnya. Ribhi (untung) menjadi akar kata dari akad murabahah. Apa yang sekarang diterapkan di perbankan syariah sebenarnya lebih dari sekadar murabahah yang dimaksud dalam kitab fikih.

Pembiayaan murabahah di bank syariah adalah rangkaian transaksi yang diawali dengan bank membeli barang secara tunai, kemudian menjualnya secara cicilan kepada nasabah dengan menyebutkan besaran keuntungan yang diambil bank. Dalam praktiknya seringkali pembiayaan murabahah di bank syariah dilengkapi pula dengan akad wakalah, di mana bank syariah menunjuk nasabah sebagai wakil bank dalam membeli barang yang diperlukannya. Secara fikih rangkaian akad ini sesuai syariah meskipun tidak sama persis dengan murabahah sederhana yang ada dalam kitab fikih.

Kitab fikih juga mengenal transaksi yang mirip dengan murabahah, tetapi metode pembayarannya kebalikan murabahah. Namanya tawarruq. Dalam kitab fikih, tawarruq tidak lebih dari suatu transaksi membeli barang secara cicilan dengan harga yang lebih mahal untuk kemudian menjualnya secara tunai kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih murah. Sepintas tampak bertentangan dengan logika bisnis.

Lazimnya orang membeli dengan harga murah untuk kemudian menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dari selisih itulah timbul keuntungan. Dalam tawarruq yang terjadi kebalikannya. Membeli dengan harga yang lebih mahal secara cicilan untuk kemudian menjualnya dengan harga yang lebih mahal secara tunai.

Dalam logika bisnis tawarruq meskipun harga jualnya lebih rendah daripada harga beli, si penjual dapat segera menerima pembayaran tunai. Hampir semua kitab fikih membolehkan transaksi tawarruq, kecuali Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hambali.

Apa yang sekarang diterapkan di bank syariah di luar negeri sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekadar tawarruq yang dikenal dalam kitab fikih. Bank syariah A membeli barang secara tunai (misalnya 100) untuk dijual kepada bank syariah B dengan harga yang lebih tinggi (misalnya 110) secara cicilan. Kemudian, bank syariah B akan menjual lagi kepada pihak lain dengan harga yang lebih murah (misalnya 100) secara tunai. Ini contoh penerapan tawarruq yang paling sederhana di bank syariah di luar negeri.

Pembiayaan tawarruq di bank syariah itu sebenarnya rangkaian transaksi. Pertama, transaksi bank syariah A membeli barang secara tunai. Kedua, transaksi bank syariah B membeli secara cicilan dari bank syariah A (seharga 110) untuk kemudian menjualnya kepada pihak lain secara tunai (seharga 100). Dalam praktiknya seringkali pembiayaan tawarruq di bank syariah dilengkapi pula dengan akad wakalah, di mana bank syariah menjadi sebagai wakil nasabah dalam membeli barang yang diperlukannya.

Dalam variasi lain, bank syariah menjadi wakil dalam menjual. Dalam variasi lain lagi, bank syariah menjadi wakil dalam membeli sekaligus wakil dalam menjual. Bahkan dalam praktiknya ada pula bank syariah yang memberikan kepastian keuntungan atas rangkaian transaksi jual beli tersebut.

Pembiayaan tawarruq yang populer di luar negeri ini belum masuk ke Indonesia karena tak mendapatkan persetujuan fatwa. Beberapa bank syariah yang berkeinginan menawarkan produk ini harus menunda rencananya.

Tawarruq memang kontroversial. Bukan karena tawarruq tidak sesuai dengan syariah, tetapi karena penerapannya belum sesuai dengan ruh tawarruq yang dikenal di dalam kitab fikih.

Pendapat para ulama di Indonesia ini ternyata mendapat dukungan kuat dari para ulama di luar negeri. Setelah produk tawarruq berjalan dan menjadi populer di luar negeri, akhirnya International Islamic Fiqh Academy, badan dunia bentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI), pada April 2009 melarang lembaga keuangan syariah melakukan pembiayaan tawarruq.

Kerancuan semacam ini pun terjadi antarekonom. Meskipun Adam Smith, Ricardo, Marshall, Wicksell, Keynes dengan jelas membedakan antara tingkat keuntungan (rate of profit) yang dihasilkan oleh sektor industri dan tingkat bunga (rate of interest) yang dihasilkan oleh sektor keuangan, kerancuan masih saja merebak.

Adiwarman Karim
Republika Online

Uang Pajak dalam Perspektif Islam

Pajak kini menjadi isu politik yang sangat sensitif. Karena kekecewaan yang menumpuk terhadap pengelolaan (pemungutan/pendayagunaan) pajak, muncullah gerakan moral yang sangat serius dampaknya, boikot pajak. Jika tidak ditangani dengan cepat, gerakan itu bisa jadi bola liar yang mengancam legitimasi pemerintah, bahkan eksistensi negara itu sendiri. Pajak adalah darah kehidupan (life blood) negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Naudzubillah.


Menurut fikih Islam, definisi pajak adalah sedekah wajib yang dipungut pemerintah atas warga negara. Disebut sedekah karena tidak ada imbalan langsung (iwadl mubasyir) yang diterima si pembayar. Wajib dalam arti bisa dipaksakan demi kepentingan umum (mashalih ammah).

Mengingat betapa mutlaknya peranan pajak bagi eksistensi negara dan kemaslahatan rakyat (jika dikelola secara benar), Islam memberi perhatian super serius melalui ajaran utamanya (rukun Islam), yakni zakat. Sepanjang sejarah negara, pajak telah berkembang (berevolusi) melalui tiga konsep

makna. Pertama, pajak sebagai upeti (dharibah) yang harus dibayar oleh rakyat semata-mata karena mereka adalah hamba yang harus melayani kepentingan sang penguasa sebagai tuannya, sang penguasa. Pajak sebagai upeti ini berjalan berabad-abad pada tahap awal sejarah kekuasaan para raja feodal di seluruh permukaan bumi. Para raja mengklaim dirinya sebagai titisan dewa penguasa jagat raya. Pada tahap ini, pajak didefinisikan sebagai bukti kesetiaan rakyat sebagai abdi dalem kepada sang raja sebagai ngar-so dalem, meminjam istilah Jawa.

Tidak ada kaidah moral ataupun undang-undang yang mengatur bagaimana dan untuk siapa seharusnya uang pajak dikelola. Juga, belum dikenal konsep korupsi sebagai kejahatan penguasa atau pejabat atas keuangan negara. Era upeti ini adalah era feodalisme raja-raja absolut.

Kedua, pajak dikonsepsikan sebagai imbal jasa (jizyah) dari rakyat kepada penguasanya. Konsep ini muncul setelah rakyat pembayar pajak (tax payers) mulai menyadari bahwa raja/penguasa bukanlah dewa yang boleh memperlakukan rakyat semaunya. Penguasa adalah manusia juga yang memegang kuasa karena mandat dari rakyatnya. Baik rakyat pembayar pajak maupun penguasa pemungut pajak kurang lebih adalah manusia yang setara. Maka, jika penguasa memungut pajak, tidak boleh lagi cuma-cuma. Pajak harus diimbangi dengan pelayanan kepada rakyat yang membayarnya.

Konsep kedua ini jelas lebih maju dan terasa lebih beradab dibandingkan konsep pertama. Tetapi, ada cacat bawaan dan struktural yang dapat memperlebar kesenjangan antara rakyat yang kuat di satu pihak dan rakyat lemah-miskin di lain pihak. Karena konsepnya imbal jasa (jizyah), pembayar pajak besar merasa berhak mendapatkan pelayanan besar dari negara; sementara pembayar pajak kecil hanya berhak atas pelayanan kecil; dan rakyat miskin yang tidak mampu membayar pajak harus nerimo dengan sisa pelayanan (tricle down effect), jika masih ada.

Era ini adalah era kita abad modern kapitalistik dewasa ini, era demokrasi semu dan elitis,demokrasi pasar bebas tanpa nurani; saat kemakmuran melimpah ruah hanya untuk sebagian kecil orang; sebagian terbesar umat manusia justru semakin tenggelam dalam kemiskinan dan keterhinaan paripurna. Negara melayani yang kuat dan kaya saja.

Jika ingin menegakkan keadilan, seperti dalam Pancasila, tidak ada pilihan lain bagi kita selain yang ketiga, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta langit dan bumi, untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua. Islam menyebut pajak dengan makna zakat, yang secara harfiah berarti kesucian dan pertumbuhan. Artinya, dengan pajak sebagai zakat, kita menyucikan hati kita dari kedengkian sesama, sekaligus mengembangkan kemakmuran dan keadilan untuk semua.

Artinya, pajak bukan lagi sebagai persembahan (upeti) ataupun imbal jasa (jizyah) kepada penguasa, melainkan sebagai derma pembebasan untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua, terutama mereka yang lemah, miskin, dan papa (Attaubat 60). Dalam konsep ini, setiap rupiah dari uang pajak adalah uang Allah yang diamanatkan kepada pejabat negara sebagai pelayan Allah dan rakyat (amil) dengan penuh rasa tanggung jawab. Mereka yang menyalahgunakan uang pajak, bertanggung jawab kepada rakyat di dunia dan Allah di akhirat kelak.

Masdar Farid Masudi, Intelektual NU
Sumber: Republika Online

Sunday 11 April 2010

ASUHAN DASAR BAYI MUDA : MENJAGA BAYI MUDA SELALU HANGAT

· Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi.
· Setiap kali bayi basah, segera keringkan tubuhnya dan ganti pakaian/ kainnya dengan yang kering.
· Baringkan di tempat yang hangat dan jauh dari jendela atau pintu. Beri alas kain yang bersih dan kering ditempat untuk pemeriksaan bayi, termasuk timbangan bayi.
· Jika tidak ada tanda-tanda hipotermia, mandikan bayi 2 kali sehari (tidak boleh lebih).
· Selesai dimandikan, segera keringkan tubuh bayi. Kenakan pakaian bersih dan kering, topi, kaus tangan, kaus kaki dan selimut jika perlu .
· Minta ibu untuk meletakkan bayi di dadanya sesering mungkin dan tidur bersama ibu.
· Pada BBLR atau suhu < 35,5°C, hangatkan bayi dengan METODA KANGURU atau dengan lampu 60 watt berjarak minimal 60 cm.

Sumber : MTBS 2008

ASUHAN DASAR BAYI MUDA : MENCEGAH INFEKSI

· Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi.
· Bersihkan tali pusat jika basah atau kotor dengan air matang, kemudian keringkan dengan kain yang bersih dan kering.INGATKAN ibu supaya menjaga tali pusat selalu bersih dan kering.
· Jaga kebersihan tubuh bayi dengan memandikannya setelah suhu stabil.Gunakan sabun dan air hangat, bersihkan seluruh tubuh dengan hati-hati.
· Hindarkan bayi baru lahir kontak dengan orang sakit, karena sangat rentan tertular penyakit.
· Minta ibu untuk memberikan kolostrum karena mengandung zat kekebalan tubuh.
· Anjurkan ibu untuk menyusui sesering mungkin hanya ASI saja sampai 6 bulan. Bila bayi tidak bisa menyusu, beri ASI perah. dengan menggunakan sendok. Hindari pemakaian botol dan dot karena dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran cerna.

Sumber : MTBS 2008

METODA KANGURU

· Bayi telanjang dada (hanya memakai popok, topi, kaus tangan, kaus kaki), diletakkan telungkup di dada ibu dengan posisi tegak atau diagonal. Tubuh bayi menempel/ kontak langsung dengan ibu.
· Atur posisi kepala, leher dan badan dengan baik untuk menghindari terhalangnya jalan napas. Kepala menoleh ke samping di bawah dagu ibu (ekstensi ringan).
· Tangan dan kaki bayi dalam keadaan fleksi seperti posisi “katak” kemudian “fiksasi” dengan selendang.
· Ibu mengenakan pakaian/ blus longgar, sehingga bayi dapat berada dalam 1 pakaian dengan ibu. Jika perlu, gunakan selimut.
· Selain ibu, ayah dan anggota keluarga lain bisa melakukan metoda kanguru.

Sumber : MTBS 2008

CARA MENGHANGATKAN TUBUH BAYI

Bayi dengan SUHU BADAN < 35,5°C, harus segera dihangatkan
sebelum dirujuk. Caranya sebagai berikut :
· Segera keringkan tubuh bayi yang basah dengan handuk/ kain
kering. Ganti pakaian, selimut/ kain basah dengan yang kering.
· Hangatkan tubuh bayi dengan METODA KANGURU atau
menggunakan cahaya lampu 60 watt dengan jarak minimal 60
cm sampai suhu normal dan pertahankan suhu tubuh bayi.
· Bungkus bayi dengan kain kering dan hangat, beri tutup kepala.
Jaga bayi tetap hangat. Hindari ruangan yang banyak angin,
jauhkan bayi dari jendela atau pintu.
· Pada bayi dengan gejala HIPOTERMIA BERAT : jika dalam 1
jam suhu badan < 35,5°C RUJUK SEGERA dengan METODA
KANGURU.
· Pada bayi dengan HIPOTERMIA SEDANG : jika dalam 2 jam
suhu badan 35,5 - 36°C RUJUK SEGERA dengan METODA

KANGURU

Sumber : MTBS 2008