Monday 29 June 2009

IKM : Antara Secang dan Jogja

Wah, seru juga ternyata koass di IKM, jauh sich antara Secang ke Jogja. Tapiii… muatannya itu lo yang bikin OK ngejalanin stase IKM. Walaupun dengan program yang buanyak apalagi sampai revisi berkali kali tapi disitulah seninya IKM. Tugasnya seabrek abrek kalau dihitung-hitung ada 10 tugas, termasuk 2 tugas dari Puskesmas. Nieh kumpulan-tugas-tugas IKM sebagai berikut :


START HERE…

Manajemen Mutu
Tugas ini kita melakukan tugas menilai manajemen program dan manajemen manajemen kepuasan pelanggan sesuai dengan ISO 2001 (maklum Secang I keren coi, ISO gitu loooh..) Tugas ini ada kuesionernya khusus ditulis lalu diperbanyak sesuai dengan sample yang akan kita teliti. Untuk manajemen program kita ambil dua kegiatam di Puskesmas missal KIA dan Apotek. Dilihat dan perhatikan kerja petugas dan di sesuaikan dengan ISO 2001, sudah sesuai standar belum??? Nah untuk yang manajemen kepuasan pelannggan ambil sample minimal 30 sampel, kasih kuesioner suruh isi dan ditungguin. OK!!

Laporan kegiatan keluar
Nah untuk kegiatan keluar koordinasi dengan bidan desa or coordinator KIA. Kalian akan diterjunkan ke Pustu, Polindes, PKD, Posyandu dan Posyandu Lansia. Dipelajarai sistemnya dengan melakukan pendekatan sistem ya yang terdiri dari Man, Money, Material, Method, Machine..

Nah ada program Non Elektif yang harus dikerjakan dari kampus, terdiri dari :

SMD dan MMD
SMD or Survei Mawas Diri adalah Survei penapisan untuk mencari permasalahan kesehatan di Dusun sesuai dengan konsep HL. Blum. Observasi apa permasalahan kemudian dituangkan dalam bentuk kuesioner. Jika sudah dapat dicopy sebanyak 100 kuesioner lalu disebarkan ke masyarakat. Jika sudah disebar kemudian dikumpul siap di tabulasi. Setelah ditabulasi baru dilakukan MMD (Musyawarah Masyarakat Desa). Kalian prsentasi hasil SMD yang udah didapat bro.. Undag semua tokoh masyarakat untuk hadir dalam MMD.

Studi Epidemiologi
Nich dia, konsepnya sama persis dengan KTI. Pernah KTI kan, pelajari konsepnya agar ngelotok.. Kalau mau lebih mudah lagi ambil aja metode Kualitatif dibanding Kuantitatif yang harus ngitung-ngitung..

SPM (Standar Pelayanan Minimal)
Nich ya, untuk SPM mending minta tentir habis sama Pak Heri aja. Cz kelompok kami lama banget ngerjainnya beda dgn kelompok Borobudur brur.. Tapi tenang aja ada briefing khusus dari Pak hartoyo, tapi tetap aja angel tenan. Hitung SPM sampai pusing tujuh keliling. Hasil penghitungan setelah dapat skor pencapaian diambil 4 besar masalah yang siap untuk dibuat laporan PoA individu.. Dong ga?? Ga Dong tlp SRS ya..

Dokter Keluarga
Tertarik ga dgn Dokter Keluarga. Pernah kan dulu pas Blok IKM dapat DK.. Sama persis dengan konsep pas PPK dulu. Oiya pasien Dkku keren lo.. Pasien Skizofrenia yang waktu pertama kali datang tangan dan kaki udah dirantai jadi gha bisa apa-apa. Terus aku intervensi dengan membawa ke RSJ Soeroyo, eh lberhasil dech.. Iam The real Family Doctor..

Pembiayaan Kesehatan
Siap-siap ya pergi ke Jamkesos, disana ketemu bu Pembayun and Pak Luthfi. Cool Man.. Pokoknya setelah keluar dari Jamkesos teman-teman harus sadar sepenuhnya bahwa sistem kendali mutu dan kendali biaya harus dilakukan dengan maksimal brur..

K3
Wuih, udah angan-angan K3 masuk perusahaan.. eh malah suruh terjun ke kali gendol mengamati penambanga pasir disana. Seru juga kok, kita selama IKM jalan-jalan ke lereng merapi bahkan sampai terjun langsung ke kali gendolnya lo... hehehehe.,.

Promkes
Nie dia, masa promkes Cuma penyuluhaaaaaan melulu. Pak Luthfi sampai bosan, padahal konsep promkes ada 3 pemberdayaan masyarakat, mediator sama?? Duh lupa jhe.. enak nich promkes ambil hasil data dari hasil survei SMD aja biar bisa sekalian kerja..

Elektif
Untuk program elektif bebas. Dari seluruh program yang ada mau ambil apa aja bisa kok atau mau idealis banget juga bisa seperti UKS, Kespro dsb

Guys, guud luck ya.. Untuk yang dapat di Secang I excellent dech pokoknya. Salam hangat buat Pak Heri, Pak Agung, Pak Singgih dan Bu Woro.. Oiya kalian yang semangat ya ngerjainnya, jangan kayak kelompok kami dibilangin leda lede hehehehe

Sunday 28 June 2009

8 Alasan PKS Koalisi dengan SBY Boediono

Debat Capres dalam Pengentasan Kemiskinan dan Pengangguran


Debat Capres kedua yang disiarkan oleh beberapa stasiun TV memang lebh menarik dibanding debat capres yang pertama. Tema yang diangkat kali ini adalah pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Debat dipandu oleh ekonom Aviliani tampak seru karena salah aktivitas JK yang memancing debat menjadi meriah. Ya, memang menurut para pakar, JK adalah bintang debat malam itu.


Debat diawali dengan pemutaran video tentang kemiskinan dan pengangguran yang memang menjadi isu hangat dalam kampanye pilpres. Sesi pertama setiap capres meyampaikan visi misi seputar pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan durasi waktu sekitar 7 menit.

Dengan gaya humoris, JK memancing dengan jargon SBY tentang Indomei. JK berkata kalau rakyat Indonesia memakan Indomie otomatis import gandum akan lebih besar dan menyebabkan inflasi. Tawa hadirin memecah keheningan acara tersebut. SBY menimpali dengan berkata, Indomie yang saya buat bukan 100% dari gandum tapi sudah ada campuran singkong, ubi dan sukun.. hadirin pun tertawa seluruhnya.

Tampajk JK menjadi bintang debat dengan mematahkan beberapa konsep pemerintahan yang sudah dibangun oleh SBY dan Mega. Tentang filosofi BLT yang dikarang oleh JK, SBY hanya diam saja ketika isu BLT diangkat oleh JK. Belum lagi masalah LNG Tangguh yang dijual; rendah. Tim sudah dibentuk lewat Kepres tapi tim tersebut tidak berjalan sampai detik ini.

Untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran, SBY dan JK sepakat perlu strategi yang bertumpu pada adanya pemberdayaan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Mega bertumpu pada jangan dilakukannya penggusuran paksa. Untuk angka pertumbuhan ekonomi SBY mematok angka 7% sedangkan JK 8%. Dengan mengandalkan program yang ada SBY berharap banyak pada program PNPM mandiri dsb. Sedangkan JK berusaha melakukan inovasi dengan membuat kredit MAMPU sebesar 3 juta hingga 20 juta.

Masalah utang Mega dengan tegas mengatakan akan memberhentikan menambahan utang negara. Satu hal yang patut dipuji, mengingat utang dewasa ini lebih menjadi momok ketimbang kebutuhan. Sumber-sumber yang ada dari dalam negeri baik berupa pendapatan pajak atau pendapatan pemerintah dalam bentuk lain sesungguhnya masih mencukupi bila dikelola secara optimal. K mengatakan akan tetap melakukan bila dipandang perlu, namun harus dibatasi tidak lebih dari 1,3 persen dari pengeluaran. Sementara SBY dengan penuh percaya diri mengatakan akan tetap melanjutkan utang, karena menganggap penambahan utang adalah hal biasa dan dimungkinkan bila pada saat yang sama terjadi pertumbuhan.

Masalah UU Investasi Mega berkata akan menghapuskan UU tersebut karena terlalu liberal. SBY dan JK melanjutkan akan tetapi perlu disempurnakan dengan beberapa aturan tambahan.

Itulah sekelumit cerita dibalik visi mis Capres, Semoga dapat dijadikan manfaat dan tauladan dalam memilih pemimpin yang ideal.

Tuesday 23 June 2009

Tokoh : Mahmud Ahmadinejad, Melawan Hegemoni Barat



Mahmud Ahmadinejad atau bisa dibaca Ahmadinezhad (bahasa Persia: محمود احمدی‌نژاد ; lahir 28 Oktober 1956[2][3]) adalah Presiden Iran yang keenam dan memperoleh 61.91% suara pemilih pada pilpres Iran tanggal 24 Juni 2005.[3] Jabatan kepresidenannya dimulai pada 3 Agustus 2005.[1] Ia pernah menjabat walikota Teheran dari 3 Mei 2003 hingga 28 Juni 2005 waktu ia terpilih sebagai presiden[2]. Ia dikenal secara luas sebagai seorang tokoh konservatif yang sangat loyal terhadap nilai-nilai Revolusi Islam Iran, 1979.



Lahir di daerah desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 120 kilometer arah tenggara Teheran. Dia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Orang tuanya, Ahmad Saborjihan, memberi nama Mahmud Saborjihan saat lahir. Dia menggunakan nama tersebut hingga sebuah keputusan besar mendorong keluarganya untuk hijrah ke Teheran pada paruh kedua tahun 1950-an. Di Teheran, ayahnya merubah namanya menjadi Mahmud Ahmadinejad sebagai isyarat religiusitas dan semangat mencari kehidupan yang lebih baik, karena Saborjihan dalam bahasa Parsi berarti pelukis karpet, pekerjaan yang jamak dilakukan di sentra karpet seperti Aradan, sedangkan Ahmadinejad berarti ras yang unggul, bijak dan paripurna

Dia lulus dari Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi.

Pada tahun 1980, dia adalah ketua perwakilan IUST untuk perkumpulan mahasiswa, dan terlibat dalam pendirian Kantor untuk Pereratan Persatuan (daftar-e tahkim-e vahdat), organisasi mahasiswa yang berada di balik perebutan Kedubes Amerika Serikat yang mengakibatkan terjadinya krisis sandera Iran.

Pada masa Perang Iran-Irak, Ahmedinejad bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986. Dia terlibat dalam misi-misi di Kirkuk, Irak. Dia kemudian menjadi insinyur kepala pasukan keenam Korps dan kepala staf Korps di sebelah barat Iran. Setelah perang, dia bertugas sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil dari 1993 hingga Oktober 1997.

Ahmadinejad lalu terpilih sebagai walikota Teheran pada Mei 2003. Dalam masa tugasnya, dia mengembalikan banyak perubahan yang dilakukan walikota-walikota sebelumnya yang lebih moderat dan reformis, dan mementingkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan-kegiatan di pusat-pusat kebudayaan. Selain itu, dia juga menjadi semacam manajer dalam harian Hamshahri dan memecat sang editor, Mohammad Atrianfar, pada 13 Juni 2005, beberapa hari sebelum pemilu presiden, karena tidak mendukungnya dalam pemilu tersebut.

Presiden Mohammad Khatami pernah melarangnya menghadiri pertemuan Dewan Menteri, suatu hak yang biasa diberikan kepada para walikota Teheran. Hal ini dikarenakan pada waktu Khatami menuju Universitas Teheran, Khatami terjebak macet. Khatami mengkritik Ahmadinejad yang saat itu menjabat walikota Teheran. Namun bukannya tergesa-gesa membereskan masalah tersebut, Ahmadinejad justru berkata: "Bersyukurlah karena presiden kita telah merasakan kehidupan rakyatnya yang sesungguhnya". Namun Ahmadinejad tetap santai menghadapi larangan tersebut.

Setelah dua tahun sebagai walikota Teheran, Ahmadinejad lalu terpilih sebagai presiden baru Iran. Tak lama setelah terpilih, pada 29 Juni 2005, sempat muncul tuduhan bahwa ia terlibat dalam krisis sandera Iran pada tahun 1979. Iran Focus mengklaim bahwa sebuah foto yang dikeluarkannya menunjukkan Ahmadinejad sedang berjalan menuntun para sandera dalam peristiwa tersebut, namun tuduhan ini tidak pernah dapat dibuktikan.

Kutipan pernyataannya dalam sebuah pertemuan di hadapan para mahasiswa pada 26 Oktober 2005 dari pernyataan Ayatollah Khomeini yang menyerukan agar Israel "dihapus dari peta dunia" memicu kontroversi. Selain, menuai kecaman dari berbagai pemimpin dunia, termasuk Wakil Perdana Menteri Shimon Peres. Peres bahkan membalas dengan menuntut agar Iran dikeluarkan dari keanggotaan di Perserikatan Bangsa-bangsa.

Pernyataan yang kontroversial ini diulang kembali pada 14 Desember 2005. Saat itu, ia berkata bahwa Holocaust (peristiwa pembantaian terhadap kaum Yahudi oleh rezim Nazi pada masa Perang Dunia II) hanyalah sebuah mitos yang digunakan bangsa Eropa untuk menciptakan negara Yahudi di jantung dunia Islam. Ia juga sempat menyelenggarakan konferensi tentang Holocaust.

Sementara, kritik dalam negeri mengenai kebijakan domestik dan luar negeri terus mengalir deras. Kritik datang dari tokoh ulama besar Ayatollah Hossein Ali Montazeri. Merujuk retorika Ahmadinejad terhadap Amerika Serikat, Montazeri menyatakan bahwa sangat perlu bertindak logis terhadap musuh dan tidak memprovokasi. Bagi Montazeri, ekstremisme tidak berbuah baik untuk rakyat.

Iran menegaskan bahwa pengembangan teknologi nuklir merupakan hak yang tidak bisa disangkal meskipun Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menuntut Iran untuk menghentikan program pengayaan uranium. Ahmadinejad mendapat kritikan dari kalangan konservatif maupun reformis mengenai kebijakan ekonominya dan cara dia menangani isu nuklir Iran.


Sumber : www.wikipedia.com

Kesehatan dan Aspek Kesejahteraan Sosial

Oleh : Sani Rachman S

Berbicara mengenai kesehatan akan berbicara mengenai permasalahan yang komprehensif. Mulai dari aspek ekonomi, politik, dan tentunya aspek kesejahteran sosial. Jangkauan berbagai bidang tersebut membuat mahalnya harga sebuah kata, sehat. Dalam sistem globalisasi seperti dewasa ini, kesehatan Indonesia masih harus merangkak setahap demi setahap untuk mencari eksistensi yang sesungguhnya. Bukan tidak mungkin, jika Indonesia tidak memiliki sistem kesehatan yang kokoh, globalisasi akan menyeret Indonesia ke dalam kesakitan. Seperti dengan bidang-bidang lain kehidupan, ketidaksiapan dalam menghadapi arus globalisasi akan membuat jurang pemisah yang sangat dalam antara Indonesia dengan negara-negara dunia ketiga lainnya.

Kesehatan Indonesia masih mencari bentuk yang ideal dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku dan budaya disatu sisi sangat menyulitkan untuk dapat mengakses daerah-daerah terpencil di pedalaman Indonesia. Padahal disatu sisi diperlukan sistem kesehatan yang merata untuk dapat memenuhi kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini sentralisasi kesehatan hanya berpusat pada daerah jawa dan sekitarnya, dimana dengan segala kelengkapan alat dan sistem yang ada segala kebutuhan kesehatan dapat terpenuhi secara menyeluruh. Bagaimana dengan daerah perifer yang dengan segala kekurangan yang ada, baik dari segi sumber daya tenaga kesehatan sampai kelengkapan alat dan bahan yang tersedia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat secara komprehensif. Jadi jangan dipertanyakan apakah implementasi UU Praktek Kedoktera sudah sesuai dengan standar pelayanan yang ada atau bahkan belum. Jika UU tersebut diimplementasikan didaerah perifer bukan tidak mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan rakyat yang mati sia-sia.

Sistem kesehatan itulah yang sangat mengekang rakyat untuk dapat mendapatkan pelayanan yang prima dalam bidang kesehatan. Mahalnya harga sehat terkadang harus dibayar dengan harga yang setimpal untuk dapat mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan sosial. Sistem kesehatan Indonesia perlu introspeksi diri terhadap segala macam kebijakan yang mengekang rakyat untuk dapat bebas memilih dan menentukan pelayanan yang prima. Satu langkah sudah dapat dicapai oleh pemerintah saat ini yaitu sistem Jamkesmas yang bak dewa penolong bagi rakyat untuk dapat memberikan kesehatan yang gratis bagi masyarakat luas. Suatu terobosan yang sangat populis yang mampu mengakomodir kepentingan bersama. Dalam sistem ini aspek kesejahteraan sosial dari segi pembiayaan kesehatan sudah dapat tercapai karena kepentingan rakyat golongan menengah ke bawah dapat diletakkan dalam top perform sistem kesehatan. Akan tetapi permasalahan yang lain muncul sedikit demi sedikit yang jika tidak diatasi akan menumpuk dan menimbulkan masalah sosial yang baru.

Sinergis dengan sistem Jamkesmas, program yang terlebih dahulu muncul adalah program Desa Sehat. Desa sehat merupakan program pemerintah untuk mendukung visi Indonesia Sehat 2010. Seperti mimpi disiang hari, fajar 2010 sudah kurang dari tujuh bulan lagi, namun implementasi program ini jauh dari target yang dicapai. Dengan sisa waktu yang ada seakan-akan program ini menjadi mubazir karena tentunya dalam implementasi memerlukan anggaran dana yang tidak sedikit. Hasil evaluasi program ini sudah tidak applicable untuk dapat menuju output yang diharapakan. Akan tetapi program ini bukan kemudian cacat tanpa dapat diperbaiki, hanya saja yang diperlukan adalah mengoptimalkan sisa waktu yang ada untuk dapat mencapai target minimal yang dapat dicapai.

Program Jamkesmas dan program Desa sehat merupakan sinergisitas program yang sesuai dengan semangat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika menilik semangat UUD 1945 jelas sudah tampak kesejahteraan sosial ditempatkan sebagai parameter akhir pembangunan Indonesia. Pun demikian dengan kesehatan, premabule UUD 1945 secara eksplisit menjelaskan keadilan social sebagai parameter kesejahteraan social dan kesehatan bangsa. Semangat itu yang tidak dihayati oleh segenap rakyat bangsa Indonesia khususnya oleh elit politik bangsa yang saling sikut untuk berebut kekuasaan.

Kembali ke konsep Desa sehat yang bersinergi dengan Jamkesmas, Dengan sisa waktu yang ada optimalisasi dan komitemen bersama aparat kesehatan dan rakyat sangat diperlukan agar konsep yang nyaris expired ini dapat massif dari segi proses dan hasil walaupun untuk mencapainya perlu kerja keras semua pihak. Menilik konsep Desa sehat tersebut diperlukan sarana dan prasarana yang titik tekan kegaiatan ini adalah pemberdayaan masyarakat. Sarana dan prasarana yang diperlukan bukan fasilitas yang mewah beserta dengan alat-alat canggih yang harus ada. Akan tetapi pemberdayaan masyarakat dengan forum-forum kesehatan desa, yang mana dari kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi penapis permaslahan kesehatan di tingkat desa.

Infrastruktur yang wajib ada dan perlu ditingkatkan eksistensinya seperti PKD (Poliklinik Kesehatan Desa), Polindes (Pos Bersalin Desa), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan berbagai macam infrastrutur sederhana lainnnya. Proses penapisan penyakit dan screening sederhana untuk dapat menunjang program yang sudah ada menjadi sangat efektif jika melibatkan peran serta masyarakat secara global. Hal yang sederhana namun substansi kegiatan menuju pada sasaran yang ada.

Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sendiri merupakan hal yang sangat mahal. Akan tetapi hal ini bisa menjadi murah jika masyarakat memahami makna sehat itu sendiri. Konsep yang sederhana dimulai dari modifikasi gaya hidup dan perilaku, kebersihan lingkungan, akses pelayanan kesehatan dan sebagainya. Oleh karena itu peran desa siaga sebagai salah satu aspek kesejahteraan socsal rakyat perlu di masifkan implementasinya dari akar rumput sampai tataran elit. Dengan hal itu, wujud kesejahteraan social bukan hanya angan tapi menjadi nyata adanya.

Momentum pilpres 2009 kita gunakan sebagai momentum awal menuju kesehatan bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Dengan semangat kesehatan bangsa, sudah saatnya konsep kesehatan kerakyatan menjadi tema sentral pada pilpres 2009. Karena tema sentral yang dianut oleh para capres adalah seputar ekonomi kerakyatan. Indonesia perlu terus dan terus memperbaiki diri menuju kedewasaan dan kemandirian dalam berfikir dan bertindak untuk menuju kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Sudah saatnya adagium yang berbunyi health is not everything but without health everything is nothing menjadi aktualiasi diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



Monday 22 June 2009

Dari Soekarno sampai SBY : Intrik dan Lobi Politik para Penguasa


Dalam sebuah tesisnya, Weber pernah menengarai adanya suatu perubahan sosial masyarakat. Perubahan itu tampak jelas ketika adanya suatu perbandingan yang membedakan antara masyarakat zaman sekarang dengan masyarakat sebelumnya. Menurutnya, perubahan itu tidak lepas dari perubahan intelektualitas yang dimiliki individu-individu yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.


Sebagai makhluk sosial, para presiden pun tidak lepas dari perbedaan antara presiden satu dengan lainnya. Termasuk dari aspek pemahaman maupun penyikapannya terhadap realitas kehidupan bangsa-negara. Memang, secara geneologis jabatan presiden yang dipikul mereka pun tidak jauh berbeda dalam tataran hukum yang mengikat dan mengatur. Namun, dalam praksisnya, pasti akan muncul sejumlah perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan sederet realitas kehidupan bangsa-negara yang tidak mesti sama.

Namun, dalam buku ini, tingkat perbedaan intelektulitas seorang presiden dengan presiden lainnya, terbukti bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan sosial bangsa-negara. Menurut Tjipta Lesmana, perbedaan tingkat emosional dan spiritual juga memiliki andil dalam perubahan. Artinya, tingkat perbedaan intelektualitas, emosionalitas, dan spiritulitas antara Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, berkorelasi positif dengan perbedaan pola interaksi sosial mereka. Dari perbedaan interaksi sosial yang berkaitan erat dengan pola komunikasi inilah yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Mulai intrik, lobi politik hingga menyikapi kritik pun, mereka belum tentu sama dalam satu pola komunikasi politik.

Dalam buku ini, kajian komunikasi politik keenam presiden kita dibagi dalam enam bab. Bab I, di duduki oleh Soekarno. Dalam bab ini, presiden pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam, piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani menghadapi tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya seperti manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam (hlm.5). Semua itu sering disampaikannya dalam bahasa, meminjam istilah Edward T. Hall (1976), yang low context; jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang mengulang-ulang.

Berbeda dengan Soeharto, dalam bab II, yang lebih banyak mendengar dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering menggunakan bahasa yang high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang arti dari kominikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini, Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal dari perintah ”atasan”. Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan (hlm.67).

Uniknya, dalam kondisi marah atau tidak suka pun, ”The Smiling General” ini menggunakan bahasa high context pula. Semisal, ketika ada menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja presiden telah dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti diperintahkan segera untuk pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah menggunakan bahasa low context.

Berbeda lagi ketika Presiden BJ. Habibie marah. Dalam bab III, ia tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah, ia sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras. Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat. ”Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut”, menurut informan Hendropriyono (hlm.159).

Dalam bab IV, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa dirugian, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai. ”Oh, begitu, ya? Ya, Sudah. Enggak usah dipikirin...!”, jawabnya (hlm.199).

Sedangkan Megawati, dalam bab V, setiap marah suka menghardik korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam acara itu, Roy BB. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan SBY, Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus acara jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau menghadirinya.

Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati tidak bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara. Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya, dalam setiap pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik (hlm.265).

Meski tidak jarang menuai kritik, dalam bab VI, SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang atau pihak yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara secara to the point. Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri.

Tidak sedikit informasi tentang komunikasi keenam presiden kita dalam buku ini. Selain unik, bikin tercengang, tertawa, dan kesal, buku ini memberikan berbagai wawasan terkait kepribadian beberapa presiden yang pada pemilu tahun ini hendak tampil sebagai calon presiden lagi. Namun, untuk mengetahui apakah dari sejumlah presiden itu tergolong –meminjam istilah Kurt Lewin- Authoritarian, Participative, atau Delegatif, pembaca dipersilahkan menyimpulkan sendiri.***

(MG. Sungatno/Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta)
Sumber : oase.kompas.com