Wednesday 22 February 2006

Ferdinal dan Pertemuan Tidak Sengaja

Pagi Rabu (22/2) secara tidak sengaja kau bertemu dengan Ferdinal yang biasa kami panggil dengan nama Ferry. Seketika ingatanku melayang kemasa lalu, kemasa dimana semua berantakan ini berawal dan bermula.

Tahun 1993-1995 adalah rentang waktu yang cukup lama bagi kami (Aku, Feby dan Ferry) untuk saling "berhubungan" dalam suasana yang tidak bisa dikatakan bersahabat. Aku dan Fery mengejar gadis yang sama dan kami melakukan apa saja untuk mendapat sang gadis..termasuk kampanye negatif tentunya.

Feby nama gadis itu, seorang gadis maha cerdas yang aku kenal dan berwajah lumayan..Namun bukan wajahnyayang aku kejar, kecerdasannya yang aku manfaatakn. Maklumlah, sebagai anak lelaki yang memasuki fase sangat penting dalam kehidupannya aku termasuk dalam kaum lelaki yang sangat mudah dan gampang untuk mengajukan proposal pengerjaan PR Kalkulus, Fisika Dasar dan Kimia kepada kamu wanita.

Hal ini jelas berbeda dengan Fery yang juara kelas, bersama Feby di SM Analisi Kimia Padang, Ferry adalah langganan juara kelas. Namun aku bukanlah type lelaki yang gampang menyerah jika kali pertama gagal mendapatkan apa yang kuinginkan.

Mendapat Feby waktu itu bagi anak SMAK dan SMTI Padang adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Siapa coba yang tidak mau menjadi lelaki yang duduk disamping langganan juara kelas meski itu hanya bisa kami lakukan di dalma angkota menuju pulang ke rumah..

Begitulah, aku dan Fery berusaha meraih Feby..kadang aku yang menang, karena beberapa kali sempat mendapatkan Feby..namun tak jarang juga kesempatan itu menjadi milik Fery yang satu kelas dengan Fery.

Bagiku pada masa itu, Fery dan feby adalah penyebab malapetaka kegagalanku menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita cita ibu bekerja sebagai tenaga analis kimia.

Namun nasib berkata lain, aku malah menjadi siswa sekolah SMU biasa dan merebut impian sejak kecil menjadi Journalist.

Rabu kemarin, aku bertemu Fery, ini pertemuan pertama sejak tahun 2000 lalu, ketika kami sama-sama mendengar bahwa wanita incaran kami sudah menikah dan melahirkan anaknya.

Tulisan ini ditulis dengan penuh kenangan indah kepada Febrina Devita
Negeri Senja dan Lelaki yang Termanggu II



Thanks to Mas Midzon...mohon iin foto ini juga diupload di SG...

Tuesday 21 February 2006

Bahasa Minang...



Malu menjadi (Mengaku sebagai) orang Minang....??? ini pertanyaan dan sesekaligus sebuah ledekan...ini pengalaman menarik..beberapa waktu lalu aku berdiskusi dengan Rudi tentang penggunaan bahasa Indonesia pada anak anak Minang sekarang ini...

Di Padang, Bukittinggi, dan dimana-mana ( hampir di seluruh pelosok Minangkabau) saat ini sedang maraknya dilakukan percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia (meski dengan logat Minang yang kental)...

Penggunaan kalimat dalam percakapan itu juga masuk keseluruh dimensi coversasi di rumah..mulai dari makan, hingga aktifitas harian lainnya.

Aku jadi ingat Bang Il...seorang famili yang sudah pernah hidup di beberapa belahan dunia..anak-anak Bang Il diajarkan atau tepatnya diwajibkan untuk selalu berbahasa Minang dimanapun mereka berada...

Bang Il...meminta anaknya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Papa atau Mama pada Ia dan isterinya...namun menetapkan panggilan Ayah dan Ibu pada mereka berdua..

Begitu juga di sulung yang lelaki tidak dipanggil abang oleh adiknya yang cewek nomor dua, namun tetap dipangil Uda..dan Uni untuk panggilan anak perempuan...

Sebuah sikap yang kontras sekali dengan kebanyakan anak-anak di sini yang memanggil orang tua mereka dengan sebutan Papa dan Mama...

Dulu di rentang tahun 1998-2001 aku pernah mengecap tinggal dirumah Dr Mochtar Naim..seorang sosiolog Islam yang terkenal di Minangkabau...dirumahnya...Doktor sosiologi itu dipanggil dengan sebutan Daddy oleh anak-anaknya...dan Mommy jika sang anak memanggil Ibu Asma Naim isteri beliau...

Wajar..kalau aku berpandapat...karena Mochtar membesarkan anak-anak mereka di negeri Paman Sam dan Singapura...namun maaf, ini justru tidak tepat dengan keseharian Mochtar yang dikenal sebagai sosiolog Islam dan Minang yang menulis disertasi tentang budaya orang Minang sendiri...dan banyak pula mengomentari tingkah polah oang minang baik di kampung halaman maupun di rantau

Dirumah kepada Icha, Diah dan Ella kami justru sedang giat-giatnya mengajarkan mereka untuk berbahasa Minang bahkan bahasa asli kami Pariaman...agar mereka tahu dan mengerti dengan bahasa leluhur mereka...biarlah di sekolah mereka berbahasa Indonesai di sekolah dengan gurunya...dan berbahasa Pariaman dengan kami di rumah...

Agak sulit..karena ketika mulai belajar bicara Icha dan Diah justru tinggai di Tanjung Balai yang kental berbahasa Melayu...