Wednesday 26 May 2010

Anas dan tantangan Demokrat

Kongres Partai Demokrat ke II telah usai, kongres yang menurut sebagian pengamat merupakan kongres yang paling demokratis diantara partai politik di Indonesia telah melahirkan wajah pemimpin democrat yang lahir dari rahim demokrasi yang tumbuh subur pada partai tersebut, sosok itu adalah seorang Anas Urbaningrum (AU). Anas yang maju tanpa “cium tangan” dengan SBY mampu membalikkan prediksi banyak pengamat yang lebih menjagokan Andi Mallarangeng yang didukung oleh SBY melalui Ibas. Pun begitu dengan Marzuki Alie, ketua DPR RI ini setelah lolos putaran ke dua pemilihan akhirnya juga “cium tangan” dengan SBY. Lagi-lagi, sosok kharismatik AU dan sense of leadership-nya mampu memenangkan game tersebut. Apakah ini tanda-tanda kekuatan SBY di Demokrat sudah mulai pudar dan digantikan dengan sosok yang lebih muda dan energik.

Kongres telah melahirkan calon pemimpin bangsa ini ke depan, entah 2014, 2019 atau 2024 nantinya. Tapi yang jelas benih-benih kepemimpinan AU untuk Indonesia sudah muncul ketika ia dengan gagah memenangkan Kongres Demokrat 2010. Tantangan demi tantangan sudah menanti AU. Tugas yang diemban pun tidak mudah bagaimana AU mampu mempertahankan track record kemenangan di pemilu 2009 untuk dapat dilanjutkan pada pemilu 2014. Tugas yang tidak mudah tentunya mengingat amanah kongres yang mematok angka 30% kemenangan di pemilu 2014. Tentunya AU harus rajin sowan ke daerah-daerah untuk konsolidasi sejak dini demi penguatan basis masa Demokrat di daerah agar realisasi 30% dapat terwujud.

Pasca kongres ini tentunya masa kooperasi dan konslidasi internal partai untuk membenanhi struktur, pola kerja dan kepengurusan di Demokrat. Positioning yang tepat akan menentukan langkah konkrit ke depan. Yang jelas AU harus mampu merangkul seluruh komponen dalam Demokrat yang sempat pecah menjadi faksi-faksi yang jika tidak diatasi dapat enjadi kerikil yang menghalangi kinerja Demokrat ke depan. Salah satu perubahan besar yang terjadi di Demokrat adalah dibentuknya Majelis Tinggi yang memiliki kewenangan sangat luas, bahkan dapat mem-veto keputusan DPP. Majelis Tinggi yang di ketuai oleh SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD sepertinya masih ingin mengendalikan Demokrat seutuhnya. Ini tak ubahnya seperti fungsi Dewan Pembina Golkar pada masa Orba, dimana Dewan Pembina memiliki peran yang sangat luas tak terbatas cenderung ke arah demokrasi totaliter.

Peran yang tak kalah penting dan harus dibentengi oleh AU adalah penguatan koalisi yang mudah sekali di koyak-koyak oleh kepentingan tertentu. Anas harus mampu menjaga stabilitas koalisi agar sesuai dengan track record untuk mendukung oemerintah hingga masa tugas pemerintahan SBY selesai pada 2014 nanti. Anas harus dapat menjalin komunikasi yang intensif pada partai-partai yang “ndablek” seperti Golkar dan PKS. Disinilah kejeniusan seorang Anas Urbaningrum di uji. Gaya dplomasinya yang memang sudah matang dan tertempa di HMI merupakan kunci utama dalam menjaga stabilitas internal koalisi.

Kita hanya bisa menunggu, apa gebrakan yang akan dilakukan oleh AU dalam mengawal pemerintahan SBY Boediono untuk sampai ke dermaga berikutnya. Kemenangan seorang AU merupakan kemenangan anak mudah, untuk dapat mendobrak dikotomi yang memenjarakan aspirasi rakyat dalam ruang public. Selamat Bang Anas, selamat berjuang..

Sani Rachman Soleman, S.Ked






Monday 24 May 2010

RUU Zakat dan Kesejahteraan Umat

Salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2010 dan kini sedang intensif dibahas adalah RUU Pengelolaan Zakat, yang merupakan amendemen terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. RUU Zakat ini menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam pengentasan masyarakat miskin dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, RUU Zakat akan mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan sektor amal.

Dalam pembahasan RUU Zakat ini terdapat beberapa isu utama yang penting untuk didorong masuk ke pembahasan dan debat publik, yaitu desentralisasi pengelolaan zakat dengan regulator yang kuat dan kredibel, konsolidasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) menuju dunia zakat nasional yang efisien, dan kemitraan pemerintah-OPZ untuk akselerasi pengentasan kemiskinan.

Otoritas zakat

Di bawah rezim UU No. 38/1999, dunia zakat nasional berjalan tanpa tata kelola yang memadai. Ribuan OPZ, baik bentukan pemerintah (Badan Amil Zakat/BAZ) maupun masyarakat (Lembaga Amil Zakat/LAZ), muncul tanpa mendapat regulasi dan pengawasan yang memadai. Hal ini secara jelas rawan memunculkan penyimpangan dana zakat masyarakat oleh pengelola yang tidak amanah. Kebangkitan dunia zakat nasional di tangan masyarakat sipil era 1990-an, yang telah mentransformasikan zakat dari ranah amal-sosial- individual ke ranah ekonomi-pembangunan -keumatan, terancam tergerus oleh “penumpang-penumpang gelap” di dunia zakat. Perkembangan dunia zakat nasional juga berjalan lambat karena tidak ada upaya koordinasi dan sinergi antar-OPZ yang berjalan dengan agenda masing-masing. Hasilnya, kinerja dunia zakat nasional, khususnya dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terasa jauh dari optimal.

Maka, agenda terbesar dunia zakat nasional saat ini adalah mendorong tata kelola yang baik dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan kredibel, katakan Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan memiliki kewenangan regulasi dan pengawasan di tiga aspek utama, yaitu kepatuhan syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta efektivitas ekonomi dari pendayagunaan dana zakat. BZI dibentuk di tingkat pusat dan dapat membuka perwakilan di tingkat provinsi jika dibutuhkan.

Wacana yang digulirkan pemerintah dan sebagian ormas untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki kinerja zakat nasional adalah tidak valid, ahistoris, dan mengingkari peran masyarakat sipil dalam Indonesia kontemporer yang demokratis. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil. Kegiatan operasional organisasi nirlaba yang transparan dan akuntabel lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki. Kepercayaan (trust) menjadi kata kunci di sini. Kepercayaan masyarakat inilah yang dibangun melalui tata kelola yang baik, yaitu operator zakat (OPZ) mendapat regulasi dan pengawasan yang memadai dari otoritas zakat (BZI).

Konsolidasi

Di bawah rezim UU No. 38/1999, jumlah OPZ melonjak sangat pesat. Hal ini secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional dalam kaitan dengan penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ nasional, 33 BAZ provinsi, dan 429 BAZ kabupaten/kota, belum termasuk 4.771 BAZ kecamatan, ribuan LAZ provinsi-kabupaten- kota dan puluhan ribu amil tradisional berbasis masjid serta pesantren. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien, karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Dampak zakat pun menjadi minimal.

Langkah reformasi paling mendasar di sini adalah dengan memperketat pendirian OPZ baru dan melarang pihak yang tidak berhak untuk menghimpun dan mengelola zakat. Langkah berikutnya adalah mendorong upaya konsolidasi OPZ menuju dunia zakat nasional yang efisien dan efektif. UU Zakat harus mendorong upaya reward and punishment bagi OPZ dalam upaya konsolidasi dunia zakat nasional ini, yaitu dalam bentuk peningkatan kapasitas OPZ, merger dan akuisisi antar-OPZ, serta penurunan status OPZ dengan kinerja rendah menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat).

Untuk mendorong konsolidasi, UU Zakat harus memberi batasan minimal penghimpunan dana, katakan Rp 5 miliar per tahun, agar sebuah OPZ dapat terus beroperasi. Jika batas ini tak dapat dipenuhi, OPZ harus merger dengan OPZ lain, bergabung dengan OPZ jangkar, atau diturunkan statusnya menjadi UPZ. UPZ berbasis masjid, pesantren, perusahaan dan institusi harus berafiliasi dan berinduk kepada OPZ dan dapat melakukan pendayagunaan dana maksimal 50 persen untuk prioritas lokal, termasuk bagian amil. UPZ dengan penghimpunan dana di bawah Rp 100 juta per tahun tidak berhak melakukan pendayagunaan dana, kecuali bagian amil.

Di sisi lain, OPZ besar didorong beroperasi lintas negara menjadi OPZ berskala internasional, katakan dengan penghimpunan dana di atas Rp 500 miliar per tahun. Sedangkan OPZ dengan penghimpunan dana antara Rp 100-500 miliar, didorong menjadi OPZ nasional, yang melakukan penghimpunan dan pendayagunaan secara umum di seluruh Nusantara. Sedangkan OPZ dengan penghimpunan dana di bawah Rp 100 miliar per tahun diarahkan menjadi OPZ fokus wilayah atau fokus program pendayagunaan (seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan UKM, anak jalanan, petani dan nelayan gurem, buruh migran/TKI, desa tertinggal, dan lain-lain).

Dengan konsolidasi dan sistem kelembagaan jejaring, pengelolaan zakat secara formal kelembagaan akan optimal. Semua potensi zakat dapat dihimpun, dan didayagunakan secara professional dan amanah untuk kesejahteraan umat. Di sisi lain, format kelembagaan khusus bagi UPZ akan memberdayakan potensi amil tradisional dengan tetap memberi peluang bagi penggunaan untuk kepentingan lokal.

Kemitraan

Berbagai wacana muncul dalam RUU Zakat untuk mendorong kinerja dunia zakat nasional, antara lain zakat sebagai pengurang pajak penghasilan (tax credit) dan sanksi bagi muzakki yang lalai. Zakat sebagai tax credit diyakini akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki dalam menunaikan kewajibannya. Namun wacana ini, jika terealisasi, akan memberi dampak signifikan bagi penerimaan pajak, berpotensi disalahgunakan, dan bermasalah secara yuridis karena ketentuan soal pajak semestinya diatur dalam UU Perpajakan. Karena itu, diperkirakan wacana ini sulit diterima dan diimplementasikan oleh otoritas pajak. Sedangkan wacana sanksi bagi muzakki cenderung tidak produktif karena secara politis akan mendapat banyak stigma negatif dan secara ekonomi diyakini tidak akan efektif pelaksanaannya.

Wacana yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional adalah mendorong kemitraan pemerintah dan OPZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. UU Zakat harus mengamanatkan bahwa pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan OPZ dalam program penanggulangan kemiskinan. Kemitraan pemerintah-OPZ dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant) , dengan pemerintah menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana, dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.

Terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola pendayagunaan dana pengentasan masyarakat miskin melalui kemitraan dengan OPZ seperti ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program pengentasan masyarakat miskin. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana pengentasan masyarakat miskin dan meningkatkan efektivitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di dalam birokrasi pengelolaan dana pengentasan masyarakat miskin.

Oleh: Yusuf Wibisono, Wakil Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah FEUI
Sumber: Koran Tempo

Wednesday 12 May 2010

Teologi Wirausaha

Wirausaha dinilai menjadi salah satu instrumen efektif untuk mengurangi kemiskinan dan ketertinggalan sebuah bangsa. Para wirausahawan selalu membuka lapangan kerja, bukan mencari kerja. Diakui atau tidak, lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki orientasi sebagai pencetak wirausahawan memberikan sumbangsih berarti bagi kemajuan ekonomi bangsa.

SMK-SMK, perguruan tinggi, atau pusat-pusat pelatihan life skill yang mempersiapkan peserta didiknya untuk langsung bekerja dengan menciptakan lapangan kerja sendiri akan lebih diminati dan dicari-cari orang. Hal tersebut mengingat persaingan kerja, baik PNS maupun swasta, sangat ketat dan keras. Kenyataan ini menunjukkan bahwa untuk survive di dunia orang harus mempu menciptakan lapangan pekerjaan secara kreatif dengan menjadi wirausaha. Sebagian ahli menyatakan bahwa wirausaha lebih mengarah pada mental seseorang, bukan bakat. Oleh sebab itu, mental tersebut harus ditempa dengan impuls-impuls semangat wirausaha.

Sehingga, sudah menjadi lazim bila semangat berwirausaha harus didengungkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal ataupun nonformal. Dalam konteks ini, semangat wirausaha dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran teologi, seperti teologi Islam.

Semangat wirausaha dalam Islam
Kata 'wirausaha' atau enterpreneur tidak bakalan ditemukan dalam teks suci agama Islam. Namun, istilah teknis lainnya yang memiliki semangat yang sama dengan kata 'wirausaha' cukup banyak, seperti 'amal, kasb, fi'il , dan sa'y . Di antara keempat kata tersebut, 'amal paling sering digunakan (425 kali) dalam Alquran untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan ekonomis ( iqtishadiyyah ) dan perbuatan manusia secara umum.

Sayangnya, kata amal akhir-akhir ini dipersempit maknanya hanya pada sebatas memberi. Itu pun sebatas memberi dengan uang. Perhatikan istilah-istilah ini: kotak amal, pundi amal, rumah amal, dan sebagainya. Padahal, kata amal memiliki makna yang luas.

Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya dalam al-Amal fi al-Isl'm (1119 H: 49), Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab, amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencarian yang diperbolehkan Allah SWT. Bekerja dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok. Konsep amal dalam Islam sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indra, maupun seni.

Semangat-semangat wirausaha banyak ditemukan dalam Alquran. Dalam QS Alhajj [22]: 77, disebutkan bahwa berbuat baik (bekerja secara baik dan profesional) merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Bekerja yang selama ini sering kali dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara atau sejajar dengan rukuk, bersujud, dan menyembah Allah SWT. Ini artinya bekerja juga merupakan ibadah.

QS Alnahl [16]:97 menjanjikan manusia bahwasanya balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik melebihi nilai kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja itu memiliki nilai plus. Dalam QS Aljumuah [62]:10, dijelaskan bahwa di samping memerintahkan bekerja, Allah juga berfirman bahwa bekerja sambil mengingat-Nya (bekerja sesuai dengan prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.

QS Attaubah [9]: 105 secara implisit mendedahkan kepada semua umat bahwa bekerja itu tidak semata-mata urusan dunia. Bekerja tidak saja berimplikasi kepada dunia, tetapi juga akhirat. Kelak pekerjaan itulah yang akan dinilai oleh Allah. Yang menarik lagi adalah QS Alkahfi [18]: 110. Dalam ayat ini, dinyatakan secara jelas bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah SWT, bekerjalah. Ini artinya bekerja itu sama dengan bertemu Allah SWT, sebuah reward yang paling tinggi yang pernah diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Dalam Alquran, mencari ilmu di- reward dengan peningkatan derajat. Namun, bekerja diganjar dengan bertemu Allah SWT. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari hal ini.

Sebetulnya, masih banyak ayat lainnya yang memberikan semangat wirausaha kepada umat Islam. Tidak hanya Alquran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW pun mengisyaratkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, Ma akala ibnu Adam tha'aman khairan min 'amali yadihi wa inna nabiyullah Dawud kana ya'kulu min amali yadihi . Artinya, ''Tiada makanan yang baik bagi anak Adam, kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri. Sesungguhnya, Nabi Daud AS makan dari hasil kreativitas tangannya (wirausaha).'' (HR Bukhari).

Pada saat yang lain, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, ''Hendaklah kami berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki.'' (HR Ahmad bin Hanbal). Nabi juga pernah bersabda tentang hal yang sama, ''Sesungguhnya, sebaik-sebaik mata pencarian adalah seorang pedagang.'' (HR Baihaqy). Walhasil, bekerja atau being entrepreneur dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya. Bahkan, bekerja atau berwirausaha menjadi salah satu ciri orang yang beriman.

Bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah SWT. Karena bekerja adalah ibadah, bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah ( liqa'u rabbi ). Bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syariat Allah, yakni dengan cara yang halal, baik, dan bermanfaat. Bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah untuk Allah SWT, bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.

Oleh: Ahmad Rodoni (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Sumber: Republika Online

SLT Vs Jaring Pengaman Responsif

Pemerintah berkeras meneruskan program SLT (subsidi langsung tunai) walau program ini banyak mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak. Setelah SLT tahap I selesai digulirkan, pemerintah memastikan pembayaran SLT tahap II akan dilakukan mulai 2 Januari hingga 31 Maret 2006. (Republika, 30/12/2005).

Evaluasi secara cepat terhadap program SLT menunjukkan tingkat keberhasilan yang rendah. Secara umum kita dapat mengevaluasi program jaring pengaman sosial seperti SLT ini, dengan tiga kriteria utama yaitu: (i) cakupan (coverage), yaitu bagaimana kelompok miskin tercakup secara luas di dalam program; (ii) minimalisasi kebocoran (leakages), yaitu bagaimana kelompok non-miskin dapat dicegah untuk ikut menikmati program; dan (iii) minimalisasi biaya operasional program.

Sebagaimana telah diduga banyak pihak sebelumnya, program SLT memperlihatkan pencapaian yang rendah di semua kriteria. Buruknya basis data, tenggang waktu yang ketat, serta birokrasi yang lemah dan korup membuat program SLT gagal. Pemberitaan di berbagai media memperlihatkan tingkat cakupan program yang rendah dan tingginya tingkat kebocoran.

Di sisi lain, biaya operasional program juga tidak kecil, dan ironisnya sebagian besar justru harus ditanggung oleh si penerima program dalam bentuk transaction cost (biaya tranportasi dan pungli) yang tinggi ketika harus mengambil dana secara langsung ke tempat-tempat penyaluran dana yang telah ditunjuk. Bahkan di banyak tempat, penerima program tidak hanya berkorban dana tetapi juga keringat, darah dan bahkan nyawa karena harus berjibaku dalam antrian panjang yang kisruh untuk memperoleh Rp 300 ribu. Sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

SLT dan Jaring Pengaman Responsif

Kegagalan program SLT menambah panjang daftar kegagalan program-program kompensasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah seperti program JPS dan program raskin. Program targeted-subsidy massal seperti SLT, membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan dimana orang miskin itu berada. Pengembangan basis data seperti ini membutuhkan usaha luar biasa dan dana yang sangat mahal. Dengan keterbatasan dalam kriteria penduduk miskin, tenaga SDM, dana dan waktu, tidak heran bila BPS gagal menyediakan basis data seperti ini. Hal ini menjadi semakin rumit untuk daerah-daerah yang terkena bencana alam luar biasa seperti Aceh dan Nias, atau daerah konflik seperti Poso.

Program targeted-subsidy juga membutuhkan sistem pengawasan dan informasi yang ketat dan berkelanjutan. Sifat dasar program mengharuskan adanya pengawasan yang ketat dalam penyaluran subsidi serta informasi yang terus menerus tentang si miskin mengingat kemiskinan adalah dinamis.

Lebih jauh lagi, program SLT menuai kritik karena program ini tidak mendidik masyarakat miskin, menumbuhkan mental pemalas, kental dengan nuansa feodal-subordinat, dan merendahkan kemanusiaan orang miskin.

Selain kegagalan dalam hal cakupan, kebocoran, dan biaya, program jaring pengaman sosial umumnya juga cenderung gagal dalam melindungi kelompok miskin pada waktu yang tepat. Adalah tidak jelas bagaimana program pengaman sosial yang diluncurkan setelah gejolak terjadi, dapat melindungi si miskin. Masalah waktu dan efektifitas menjadi hal paling krusial disini. Hal ini memunculkan isu tentang perlindungan terhadap kelompok miskin secara cepat dan tepat.

Program pengaman yang terbaik adalah ketika ia sampai di tangan si miskin ketika ia dibutuhkan (just-in-time delivery). Karenanya pendekatan yang lebih baik adalah dengan desain kebijakan yang secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Kita sebut saja ia dengan jaring pengaman responsif.

Islam dan Jaring Pengaman Responsif

Islam sebagai sistem kehidupan memiliki pandangan yang unik tentang sistem jaring pengaman sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran ekonom muslim, maupun praktek sejarah. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara (QS 9:60). Islam memberikan kewajiban pada pemerintah, hanya setelah mendayagunakan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Perlindungan berlapis ini membuat sistem bekerja sangat responsif terhadap gejolak yang dialami kelompok miskin yang akan membuat mereka terhindar dari berbagai tragedi kemanusiaan akibat kemiskinan.

Dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi Islam, kita mendapati pembahasan yang mendalam tentang jaring pengaman sosial. Ibn Hazm (994-1064 M) mencatat empat kebutuhan dasar penduduk yang wajib untuk dipenuhi oleh negara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) berargumen bahwa setiap orang harus dijamin standar hidup minimum-nya agar dapat menjalankan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua aktivitas pertanian, industri, dan komersial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, hukumnya adalah fardhu kifayah.

Praktek sejarah dalam pemerintahan Islam juga memberi kita pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program jaring pengaman sosial.

Pertama, Islam memandang bahwa anggaran negara adalah harta kaum muslim, bukan harta negara, apalagi harta para pejabat-nya. Implikasinya, anggaran negara tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat (pro-poor budget) dan dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip dalam hukum Islam. Sebagai misal, pada masa Khalifah Umar bin Khattab harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Bahkan, karena hidup sangat sederhana, Khalifah Umar sendiri pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya. Dengan prinsip ini, maka anggaran negara di dalam Islam menjadi sangat responsif dalam melindungi kelompok miskin.

Maka menjadi keprihatinan yang mendalam bagi kita melihat anggaran pemerintah negeri ini dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk membayar pokok dan bunga utang. Tidak terlihat upaya untuk menurunkan beban utang seraya pada saat yang sama melindungi kepentingan kelompok miskin.

Kedua, Islam mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas. Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Sedemikian penting-nya bekerja hingga Islam menjadikan bekerja sebagai salah satu pilar terpenting kualitas ke-Islaman seseorang (QS 9:105). Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW memberi dua dirham kepada seorang laki-laki dan menyuruhnya agar makan dari satu dirham dan membeli kapak dari satu dirham sisanya sebagai modal agar ia bekerja. Tidak heran pula bila kemudian dalam lintasan sejarah Islam kita melihat perhatian yang besar dari pemerintah terhadap public works terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman cukup baik dalam hal ini seperti dalam program IDT (inpres desa tertinggal) dan program padat karya. Program padat karya disamping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, juga akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program padat karya seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan memperluas coverage program dan mengurangi leakages.

Institusionalisasi program padat karya membuat program ini menjadi salah satu bentuk jaring pengaman responsif yang menjanjikan. Dengan membuatnya permanen, maka program padat karya secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Contoh klasik disini adalah Skema Jaminan Kerja di negara bagian Maharashtra, India. Skema ini ditujukan untuk mendukung pendapatan di daerah pedesaan dengan menyediakan pekerjaan pada tingkat upah rendah bagi siapapun yang menginginkannya. Program ini menurun pada masa panen dan meningkat pada masa paceklik. Mekanisme upah rendah menjadi automatic screen yang membuat program ini tepat sasaran. Program ini sebagian besar dibiayai oleh pajak dari penduduk kaya kota yang merasakan manfaat program ini berupa turunnya migrasi desa-kota.

Ketiga, Islam mendorong distribusi pendapatan dalam masyarakat. Islam memiliki mekanisme yang membuat kekayaan berputar tidak hanya dikalangan orang kaya. Instrument terpenting disini adalah zakat. Zakat memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya menjadi jaring pengaman sosial yang responsif yaitu: (i) penggunaan zakat hanya untuk 8 golongan saja (ashnaf) yaitu fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil (QS 9:60). Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted; (ii) zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program jaminan sosial; (iii) zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengaman sosial dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Selain zakat, Islam juga memiliki instrumen lain seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Secara bersama-sama, semua instrument tersebut akan membuat distribusi pendapatan lebih merata setiap waktu. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari jaring pengaman sosial yang responsif.

Oleh: Yusuf Wibisono
Sumber: Republika Online

Haji yang Memberdayakan

Salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki dampak ekonomi besar adalah ibadah haji. Dengan 200 ribu jemaah haji, ritual ini di Indonesia mampu memobilisasi dana tak kurang dari Rp 6 triliun per tahun-nya. Namun event ekonomi besar tahunan ini tak mampu memberi dampak yang signifikan pada kehidupan ekonomi ummat. Sekian puluh tahun haji dilakukan, ummat tetap terpuruk dalam kemiskinan.

Kenyataan ironis ini memunculkan wacana yang semakin mengental untuk mereformasi penyelenggaraan ibadah haji. Secara umum, ketidak-mampuan haji menjadi kekuatan ekonomi ummat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kesalahan sistem yang menempatkan Depag sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan evaluator. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan jelas-jelas bertentangan dengan prinsip good governance.

Kedua, dana haji masyarakat dikelola oleh Depag yang berada di ranah publik. Lembaga pemerintah hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan publik. Menjadi kesalahan fatal menempatkan institusi pemerintah mengelola dana masyarakat karena akan terjadi tabrakan tujuan antara pelayanan publik dan mengejar laba.

Ketiga, tidak ada grand strategy dan political will yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan haji sebagai pendorong kebangkitan ekonomi ummat. Haji selama ini hanya dipandang sebagai ritual ibadah belaka yang tidak memiliki dampak ekonomi apapun. Paradigma ini seolah ini dilestarikan sehingga jemaah haji kita rela dengan pelayanan ibadah haji yang sangat buruk walau telah membayar ongkos yang mahal. Haji-pun tak pernah dihubungkan sama sekali dengan aktivitas ekonomi ummat lainnya.

Tulisan berikut ini mencoba melihat potensi ekonomi haji secara keseluruhan dan peluang implementasi-nya di Indonesia.

Haji dan Pembiayaan Pembangunan

Lembaga Tabung Haji Indonesia (THI) menjadi usulan yang paling luas mengemuka untuk mengganti peran Depag. Mencontoh kisah sukses Malaysia dengan Tabung Haji Nasional Malaysia (THNM), THI diharapkan akan menjadi BUMN keuangan non-bank yang mengelola dana haji masyarakat secara profesional. THI ini akan menggantikan peran Depag sebagai operator penyelenggara haji.

THI akan menerima pembayaran dana haji dengan memakai sistem tabungan, sehingga akan membantu setiap umat Islam untuk menunaikan haji secara terencana dan dengan waktu yang lebih cepat. Hal ini tidak hanya membawa implikasi positif secara agama tetapi juga secara ekonomi. Dana tabungan haji yang disetor lebih awal, dapat diinvestasikan terlebih dahulu pada sektor usaha yang aman dan sesuai dengan ketentuan syariah.

Dengan demikian, dana tabungan haji akan menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang yang murah. Dana tabungan haji yang dikelola THI akan membebaskan dana-dana jangka pendek yang selama ini dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang. Dana THI juga akan menambah volume kredit tanpa menambah uang beredar sehingga akan memberi stimulus perekonomian dengan tetap menjaga stabilitas tingkat harga.

Dalam kasus Indonesia yang mengalami defisit anggaran, dana THI dapat dipergunakan untuk membeli BUMN yang diprivatisasi pemerintah, khususnya BUMN strategis seperti Indosat dan PT DI. Dengan demikian, kemanfaatan dana THI menjadi berlipat ganda yaitu mengembangkan dana dalam bentuk investasi dan sekaligus mempertahankan aset penting negara.

Haji dan Lembaga Keuangan Syariah

Dalam mengelola dana tabungan haji, THI selain dituntut profesional juga harus sesuai dengan tuntunan syariah. Tidak boleh ada pengelolaan dana haji yang terkait dengan riba, gharar, maysir, dan hal-hal yang bathil.

Maka dalam operasional-nya, THI akan selalu berhubungan dengan lembaga keuangan syariah, baik perbankan syariah, asuransi syariah, maupun lembaga investasi syariah lainnya. Menjadi ironis bila selama ini dana haji dikelola oleh lembaga keuangan konvensional.

Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka dampak terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah akan sangat besar. Sebagai misal, hingga November 2004, dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah baru mencapai Rp 10,5 triliun. Bayangkan bila dana Rp 6 triliun dapat sepenuhnya dikelola di dalam bank syariah, tentu akan terjadi penambahan dana yang luar biasa bagi perbankan syariah. Dengan mobilisasi dana lembaga keuangan syariah yang semakin besar, maka dampak terhadap perekonomian akan semakin positif yaitu dinamisasi sektor riil terutama UKM, stabilitas sektor keuangan, dan stabilitas tingkat harga.

Haji dan Bisnis Komersial

Penyelenggaraan ibadah haji banyak melibatkan berbagai komponen yang memiliki nilai ekonomi besar sehingga berpotensi menciptakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan, mulai dari transportasi dari tanah air ke tanah suci, pemondokan, katering hingga bisnis kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Untuk aspek-aspek pelaksanaan haji inilah perhatian Depag banyak tercurah. Dengan posisi monopoli yang menempatkannnya sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia”, Depag telah membuat haji sebagai arena perburuan rente ekonomi tahunan oleh birokrasi dan para kroni-nya.

Aroma bisnis yang kental di tangan satu pihak inilah yang selama ini menjadi arena KKN yang sangat subur. Terlebih dengan akumulasi sisa dana haji yang dilegalkan menjadi Dana Abadi Ummat (DAU) telah membuka praktik politik uang, tidak hanya di lingkungan Depag tetapi juga telah menyebar ke lingkaran kekuasaan lainnya. Hal ini tentu memprihatinkan, bahwa ibadah haji yang suci justru menjadi sumber praktik bisnis dan politik tidak terpuji.

Dengan pendirian THI, maka THI akan menggantikan peran pelaksana ibadah haji yang selama ini dilakukan Depag. Dengan demikian Depag akan bisa lebih berfokus pada fungsi regulasi dan pengawasan yang selama ini terabaikan. Untuk memacu efisiensi, THI tidak boleh menjadi monopoli. THI harus dihadapkan pada persaingan sehat dengan menempatkan biro perjalanan haji swasta sebagai pelaksana haji pendamping. Dengan demikian, jamaah akan mendapat pelayanan prima dengan ongkos yang murah. Pada saat yang sama, peran sektor swasta teroptimalkan sehingga akan menggerakkan sektor riil.

Haji dan Kemiskinan

Dari sisi agama, salah satu permasalahan dalam ibadah haji adalah haji ulang; yaitu mereka yang melaksanakan haji untuk yang kedua kali dan seterusnya. Secara formal, haji ulang adalah sunnah. Namun, dalam perspektif kontemporer, sangat mungkin haji ulang bukan lagi sunnah.

Di Indonesia, kemiskinan adalah luas dan persisten. Kemiskinan adalah sumber dari semua permasalahan sosial-kemasyarakatan seperti kriminalitas, penurunan kualitas hubungan sosial, kenakalan remaja, anak-anak terlantar, hingga penyalahgunaan obat terlarang. Maka di dalam Islam, menyantuni fakir miskin adalah maslahah yang bersifat qath’i karena secara jelas disebut Al Qur’an berulang kali. Dalam perspektif ini, tentu lebih baik untuk mengentaskan kemiskinan yang bersifat wajib daripada mendahulukan haji ulang yang hanya sunnah.

Maka THI dapat mensosialisakan kepada mereka yang hendak haji ulang agar mengurungkan niatnya karena dalam kasus Indonesia dimana kemiskinan dan masalah sosial ummat Islam lainnya yang bersifat wajib masih sangat banyak, maka haji ulang sangat mungkin tidak lagi bernilai sunnah. Pada saat yang sama, mereka dihimbau untuk menyerahkan dana haji ulang ke THI atau LSM untuk program pengentasan kemiskinan.

Jika haji ulang tidak bisa dicegah, setidaknya harus ada dis-insentif. Sebagai misal, bagi mereka yang ingin haji ulang diharuskan membayar setoran tabungan secara penuh di awal namun dengan keberangkatan 4-5 tahun kemudian. Sehingga dana haji ulang ini akan tertahan lama di THI dan akan menjadi dana murah yang dapat dipergunakan untuk investasi jangka panjang, khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan.

Oleh: Yusuf Wibisono
Sumber: Republika Online

Wednesday 5 May 2010

The New Asia

Sa'ad bin Abi Waqqas termasuk 10 orang pertama yang memeluk Islam. Ayahnya sepupu Aminah, ibunda Rasulullah SAW. Kurang dari 20 tahun setelah wafatnya Rasulullah, khalifah Ustman bin Affan RA mengutus Sa'ad dalam misi persahabatan kepada Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang.

Sa'ad disambut dengan tangan terbuka yang selanjutnya diikuti dengan dibangunnya masjid pertama di Kanton. Islam kemudian berkembang pesat di Cina. Sebagian dari mereka kemudian membawa Islam ke Indonesia.

Beberapa tahun sebelumnya, Khalifah Umar bin Khattab RA juga mengutus Sa'ad bin Abi Waqqas memimpin pasukan yang mengalahkan pasukan Persia dalam pertempuran Qadisiyyah. Akhirnya, Kerajaan Persia takluk dengan jatuhnya provinsi terbesarnya, Sistan.

Di ujung timur Sistan terletak Kota Sindh yang merupakan kota pertama masuknya Islam ke India. Sejak itulah pantai barat dan selatan India, termasuk Surat di barat Gujarat dan Pantai Malabar di Kerala, menjadi jalur perdagangan pedagang Muslim. Sebagian dari mereka kemudian membawa Islam ke Indonesia.

Saat ini ketiga negara itu: Cina, India, Indonesia, merujuk pada prediksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh IMF, berpeluang mengulang bangkitnya The Asian Tigers . Ketika Amerika Serikat masih bergulat menyelesaikan pekerjaan rumahnya membenahi dampak krisis yang baru berlalu, Eropa malah direpotkan dengan merebaknya dampak dari krisis yang terjadi di Yunani. Bangkitnya Asia diharapkan dapat menjadi lokomotif pulihnya perekonomian dunia.

IMF baru merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Asia dari 6,9 persen menjadi 7,1 persen pada 2010 akibat prospek pertumbuhan bisnis yang lebih cerah dan besarnya perbedaan suku bunga dengan negara maju. Kedua faktor itu akan menarik lebih banyak dana mengalir ke kawasan Asia.

Prospek pertumbuhan bisnis masih didorong oleh ekspor barang-barang Asia yang berkualitas dan murah. Murahnya barang-barang Asia ini disebabkan murahnya tenaga kerja dan akibat kebijakan nilai tukar mata uang.

Murahnya tenaga kerja merupakan keunggulan yang sulit disamai negara-negara maju. Namun, kebijakan nilai tukar mata uang yang cenderung terlalu kaku malah dapat merugikan.

Pesatnya ekspor berarti dolar AS mengalir deras ke negara-negara Asia. Namun, dolar AS ini disterilisasi, tidak dimasukkan ke dalam peredaran uang. Cadangan devisa dalam dolar AS meningkat, tapi jumlah uang lokal yang beredar tidak bertambah. Akibatnya, nilai tukar mata uang lokal tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya.

Kebijakan nilai tukar ini sebenarnya merupakan reaksi dari masuknya dana-dana asing jangka pendek ke pasar modal negara-negara Asia. Derasnya arus dana ini menyebabkan harga saham meningkat dan selanjutnya pemilik dana asing itu akan mengambil untung dengan menjual saham dan menarik kembali dananya ke luar negeri. Keadaan inilah yang mendorong negara-negara Asia tidak ingin terburu-buru menyesuaikan nilai tukar mereka ke nilai yang sebenarnya karena mereka beranggapan derasnya aliran dana asing yang masuk juga tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Mirip permainan catur, memang. Masing-masing negara dengan cermat mengawasi kebijakan negara lain untuk melindungi kepentingan dan keuntungan negara masing-masing.

Dalam permainan seperti ini, negara yang mempunyai populasi besar, seperti Cina, India, dan Indonesia mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki negara berpopulasi kecil. Populasi yang besar berarti permintaan domestik yang besar sehingga ketika ekspor menurun tajam akibat krisis di AS dan Eropa, negara-negara ini tidak terlalu terpukul. Itu juga yang terjadi dengan Rusia dan Brasil yang mempunyai populasi besar.

Pasar domestik besar inilah yang mendorong pemodal asing masuk membeli saham perusahaan-perusahaan dengan menyasar pasar yang menguasai hajat orang banyak. Kejelian bisnis negara-negara maju masuk ke pasar domestik dapat membuat negara berpopulasi kecil ikut menikmati pasar di negara berpopulasi besar. Cina merupakan contoh bagaimana populasi yang besar digabungkan dengan kejelian bisnis mereka menjadikan negara itu pemain utama dalam perekonomian dunia.

The New Asia adalah Asia yang bukan saja berpopulasi besar, tapi juga jeli dalam percaturan bisnis ekonomi dunia. The New Asia sangat berpotensi mengembangkan perekonomian dunia berbasiskan sektor riil dan tidak terjebak pada pertumbuhan semu berbasiskan transaksi derivatif sektor keuangan.

Pada era 1980-an AS membatasi jumlah mobil Jepang yang masuk ke negeri itu. Jepang mengganti ekspor mobil bermesin kecil dengan mobil bermesin besar yang harganya lebih mahal. Meskipun jumlah ekspor mobil Jepang ke AS dibatasi, nilai ekspornya meningkat karena mobil yang diekspor nilai satuannya lebih mahal.

Lebih dari itu, mobil Jepang bermesin kecil yang ketika itu bukan menjadi pesaing mobil AS bermesin besar menjelma menjadi pesaing serius. Accura dari Honda, Lexus dari Toyota, dan Diamante dari Mitsubishi merupakan contoh mobil Jepang yang ketika itu disiapkan untuk pasar AS.

Kelihaian bisnis Cina telah menjadi legenda dunia, sementara keuletan India menjadikannya pusat intelektual industri informatika bagaikan Silicon Valley dunia. Dinamika dan kreativitas Indonesia akan mengantarkan bangsa ini menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Dinamika dan kreativitas ini pula yang membedakan perkembangan industri keuangan syariah Indonesia dengan negara-negara lain. Bila saat ini standar halal Majelis Ulama Indonesia telah diadopsi di berbagai negara, pada saatnya nanti standar syariah Majelis Ulama Indonesia akan diakui di berbagai negara. Setiap sesuatu ada saatnya. Kita hanya perlu terus memperjuangkannya. Selebihnya, serahkan pada Yang Maha Pengatur.

Oleh: Adiwarman Karim
Sumber: Republika Online

Sunday 2 May 2010

ISRA International Journal of Islamic Finance

Bagi rekan-rekan yang sedang membutuhkan referensi penelitian, skripsi, tesis, maupun disertasi, kami menyediakan jurnal international di bidang ekonomi islam yaitu ISRA International Journal of Islamic Finance yang diterbitkan oleh ISRA (International Shariah Research Academy for Islamic Finance). Jurnal tersedia dalam bentuk PDF (full text). Di bawah ini daftar judul jurnalnya. Untuk pemesanan dan informasi lebih lanjut hubungi amix.pamot@gmail.com

Tersedia juga paper ekonomi islam lain dari Journal of Islamic Economics Banking and Finance, Journal of Research in Islamic Economics, Humanomics, Managerial Finance, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, International Journal of Social Economics, Thunderbird International Business Review, Islamic Economic Studies, International Journal of Islamic Financial Services, Review of Islamic Economics, Iqtishad, La Riba, Journal of Islamic Business and Economics, Proceeding 6th International Conference on Islamic Economics, Banking and Finance dan masih banyak yang lainnya. Kami juga menyediakan skripsi, paper, jurnal terbitan dalam maupun luar negeri yang sedang anda butuhkan. Bidang ekonomi islam maupun ekonomi konvensional semua tersedia. Kami siap mencarikan dan mengirimkannya.

Vol. 1 • Issue 1 • 2009
1. Shari’ah Parameters on the Islamic Foreign Exchange Swap as a Hedging Mechanism in Islamic Finance by Asyraf Wajdi Dusuki
2. Islamic Pricing Benchmark by Edib Smolo
3. Financial Crisis: Risks and Lessons for Islamic Finance by Habib Ahmed
4. Alternative Dispute Resolution in Islamic Finance: Legal Challenges and the Way Forward, by Hakimah Yaacob The Global Financial Crisis, Risk Management and Social Justice in Islamic Finance, by M. Kabir Hassan and Rasem N. Kayed
5. From “Asset-backed” to “Asset-light” Structures: The Intricate History of Sukuk by Rafe Haneef
6. Shari’ah Governance for Islamic Financial Institutions by Rodney Wilson
7. A Synthesis of Shari’ah Issues and Market Challenges in the Application of Wa’d in Equity-based Sukuk by Shabnam Mokhtar
8. Shari’ah Parameters Of Islamic Derivatives In Islamic Banking And Finance by Sherin Kunhibava

Research Paper
1. Is the Ban on “Organised Tawarruq” the Tip of Iceberg, by Rafe Haneef
2. Insurable Interest in Takaful Parctices, by Musaibah Mohd Parid
3. The Concept of Promise and Bilateral Promise in Financial Contract: Fiqgi Perspective, by Dr. Mohamad Akram Laldin
4. Challenge of Realizing Maqasid al-Syariah (Objective of Shariah) in the Islamic Capital Market: Special Focus on Equity-Based Sukuk Structure, by Asyraf Wajdi Dusuki

Etika Bisnis

Beberapa waktu yang lalu, media memberitakan polisi menemukan gudang yang menyimpan timbunan kedelai. Konsekuensi dari penimbunan adalah distribusi barang tidak lancar dan barang menjadi langka. Kelangkaan akan menyebabkan harga naik karena ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Kemudian pada kondisi yang dianggap tepat, pengusaha mulai engeluarkan timbunan barnagnya sehingga keuntungan yang diperolehnya berlipat ganda. Dari sisi pengusaha enyimpan dulu barang dagangan dan menjualnya kembali waktu harga naik merupakan strategi bisnis yang jitu.

Sebaliknya yang terjadi dari sisi konsumen baik konsumen akhir, maupun konsumen antara yang menggunakan barang ini sebagai bahan baku proses produksi. Harga kedelai di pasar melonjak naik yang menyebabkan pengusaha tahu-tempe terperangah dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Kasus seperti ini tidak terjadi hanya pada kedelai, bahan pokok yang lainpun pada gilirannya ”dipermainkan”. Utamanya karena permintaan terhadap bahan pokok relatif tidak elastis, sebagaimana juga permintaan terhadap bahan bakar.

Harga-harga yang meningkat membuat masyarakat yang berkekurangan ”menjerit” dan kebingungan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kasus bunuh diri menjadi lebih sering terdengar. Kemiskinan dan hilang akal kemana akan mengadu dan mendapatkan makan, apalagi dengan adanya tanggungan anak-istri sering membuat orang nekad menghabisi dirinya sendiri. Orang gila akhir-akhir ini menjadi lebih banyak ditemukan dipingir jalan, tertawa sendiri, buka baju seenaknya dan berbagai tingkah laku yang menunjukkan kehilangan akal sehat.

Kata kunci dalam bisnis adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, dan dari kacamata ini tentu saja tindakan penimbunan hanyalah salah satu strategi untuk mendapatkan keuntungan. Namun kalau kita bertanya pada hati nurani terdalam, etis tidaknya menimbun bahan makanan yang merupakan hajat hidup orang banyak? Jawabannya pasti tidak, kecuali mata hati kita sudah buta.

Bagaimanapun dasarnya bisnis juga mengenal etika. Isu etika sebenarnya telah lama diketahui dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh kalangan bisnis. Dalam bisnis hal etika dapat dikelompokkan dalam empat tingkat.

Tingkat pertama disebut societal. Pemikirannya adalah menganggap kalangan bisnis sebagai mereka yang berhasil, sehingga masalah etika di jawab dengan mengaplikasikan prinsip kedermawanan untuk membantu mereka yang miskin dan kelompok masayarakat yang kurang beruntung dari pemahaman etika bisnis. Pada tingkat pertama ini saja sudah terbaca bahwa penimbunan bahan kebutuhan pokok menyalahi etika, karena sama sekali tidak membantu kelompok mesyarakat yang kurang beruntung.

Etika bisnis tingkat kedua adalah etika terhadap berbagai kelompok kepentingan yang erada diluar perusahaan (external stakeholder). Tindakan yang etis disini adalah enyangkut bagaimana perusahaan menangani kelompok-kelompok eksternal yang tekena dampak dari keputusan yang mereka ambil. Kewajiban apa yang harus dipenuhi perusahaan terhadap para pemasoknya? Pada masyarakat dimana ia beroperasi? Kepada pemegang saham? Intinya disini adalah pertanyaan berkaitan dengan kebijakan bisnis. Tindakan penimbunan adalah tindakan yang tidak beretika terhadap kelompok msayarakat dimana perusahaan tadi beroperasi. Juga merupakan tindakan yang tidak etis terhadap produsen yang menginginkan agar distribusi barang yang dihasilkannya lancar sampai pada masyarakat.

Etika bisnis tingkat yang ketiga dikenal juga dengan internal policy. Pertanyaannya disini adalah tentang bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan karyawannya. Kontrak kerja seperti apa yang disebut adil? Hak-hak apa yang dimiliki pekerja? Apakah yang disebut pekerjaan yang bermakna? Pada tingkat ini perusahaan memiliki kesempatan untuk responsif secara sosial pada stakeholder internalnya. Dalam kaitan dengan tindakan penimbunan tadi, seyogianya perusahaan menyadari bahwa ia telah bertindak tidak etis terhadap karyawan dengan memberikan mereka pekerjaan yang tidak bermakna bahkan tidak bermoral karena menyakiti dan merugikan pihak lain.

Etika bisnis tingkat keempat adalah adalah isu moral pada tingkat personal. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dalam organisasi. Apakah harus jujur satu sama lain apapun konsekuensinya? Dalam tindakan penimbunan, sangat boleh jadi penimbun tidak jujur pada rekan kerja. Setidaknya si penimbun ini telah memberikan pembenaran pada suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukanya.

Sebenarnya spiritualitas di tempat kerja telah muncul ke permukaan sejak akhir tahun 1990-an, sebagiannya karena biaya sosial yang besar yang harus ditanggung pimpinan perusahaan karena mengabaikan etika, dan standar moral sehubungan dengan SDM, lingkungan, HAM, ataupun pembangunan masyarakat. Kasus Enron tahun 2000 dan MCI tahun 2001 adalah contoh dimana arogansi dan nilai-nilai tidak bermoral membawa kehancuran. Inti dari spiritulitas bisnis adalah memasukkan kembali unsur-unsur moral dan etika dalam bisnis. Jadi menata dan memperlakukan network dengan santun merupakan salah satu etika yang harus dipegang teguh dalam bisnis.

Berkaitan dengan masalah ini sebuah pertanyaan mendasar harus dijawab, ”bagaimana sebenarnya etika pengusaha kita”? Apakah mereka benar-benar memilikinya? Menimbun barang, memberi zat pewarna yang beracun, menggunakan formalin untuk makanan, mengimpor sampah (ingat: bahan baku asesoris yang diimpor dari kondom bekas), dan berbagai tindakan diluar etika lainnya adalah bagian dari bisnis mereka. Separah inikah hati nurani pengusaha yang melakukannya?.

Oleh: Yusmaliani, peneliti senior di LIPI.
Sumber: www.pkesinteraktif.com

Saturday 1 May 2010

Komoditi dagang pilkada : Kebijakan Kesehatan


Sudah terbiasa terdengar dalam telinga kita semua setiap calon pemimpin gembar gembor konsep yang cukup menarik simpati sebagai komoditi dagang politik. Selain masalah pendidikan dan perekonomian, permasalahan kesehatan juga cukup mendapatkan tempat tersendiri di hati rakyat. Sayang sungguh sayang, ketika komoditi dagang politik yang cukup strategis ini hanya menjadi cibiran politk tanpa tahu bagaimana dapat mengaplikasikannya.


Pembangunan kesehatan kedepan yang harus diperhatikan adalah pembangunan berlandaskan kesetaraan. Masih banyak kesenjangan yang terjadi sehingga menyebabkan disparitas yang dalam antara health provider dengan patient. Dewasa ini topic yang menjadi buah bibir adalah jamkesmas (Jaminan Kesehatan masyrakat). Memang trobosan ini cukup efektif untuk mengcover golongan menengah kebawah agar mendapatkan kepastian dalam pelayanan kesehatan. Akan tetapi sentralisasi program ini harus sinergis dengan program daerah untuk dapat menutup jumlah kuota peserta jamkesmas yang tidak tercover, bentuk kegiatan ini dapat di aplikasikan dalam bentuk jamkesda (Jaminan kesehatan daerah). Program tersebut harus memiliki kreativitas yang mumpuni sehingga dari tahun ke tahun pengembangan program ini cukup progresif.

Program jaminan kesehatan harus dapat bersifat “universal coverage”, seluruh elemen lapisan masyarakat harus mendapatkan kesehatan, titik tekan terletak pada peserta yang tidak tercover oleh jamkesmas dan elemen masyarakat yang memberikan kontribusi maksimal seperti tokoh masyarakat, kader kesehatan, anak berprestasi.

Bagi daerah yang dikaruniai APBD melimpah, pengembangan pelayanan kesehatan dapat dikonsep lebih luas lagi. Selama ini CT Scan dan MRI dan ada beberapa pemeriksaan lain yang tidak masuk kuota jamkesmas maupun jamkesda, kedepan batasan anggaran bukan lagi kendala berarti. Ada beberapa penyakit yang diagnosis pasti dengan dilakukan CT Scan dan MRI karena keterbatasan dana sehingga diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan.

Pengembangan dokter keluarga agar seluruh rakyat mendapatkan kepastian pelayanan kesehatan. Selama ini dokter hanya terpusat pada daerah jawa, hanya segelintir yang bersedia terjun ke perifer. Pemerintah seharusnya dapat memberikan tunjangan ekstra bagi dokter-dokter yang bekerja di daerah perifer sehingga dokter sendiri bersedia untuk ditempatkan dimana saja. Adanya UUPK sebagai temeng untuk membatasi ruang gerak dokter menjadi ambiguitas karena miskinnya SDM dan alat didaerah terpencil sehingga tidak heran jika tenaga kesehatan selain dokter yang dapat memberikan terapi yang lebih banyak tidak sesuainya dibanding kesesuaiannya. Sekelumit cerita diatas belum cukup untuk mewakili jeritan hati rakyat Indonesia yang dahaga akan sebuah makna sehat.