Saturday 27 February 2010

Orang Terkaya Indonesia versi Forbes



Sejumlah pengusaha kaya ikut terjun ke politik. Di tengah bergiat di dunia politik, para pengusaha ini tetap bisa mengembangkan bisnisnya. Hasilnya, kekayaan mereka tetap melonjak. Aburizal Bakrie yang paling tajir, karena kekayaannya bertambah dari US$ 850 juta menjadi US$ 2,5 miliar. Dia tetap masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Sementara Murdaya Poo masih tetap masuk dalam daftar, sedangkan Jusuf Kalla (JK) terlempar.

Daftar 40 orang terkaya Indonesia tahun 2009 ini dikeluarkan oleh Forbes. Setiap tahun, Forbes memang melansir orang terkaya Indonesia. Dan dalam rilis, Kamis (3/12/2009), pemilik grup Djarum, Budi dan Michael Hartono masih berada di posisi puncak dengan nilai kekayaan US$ 7 miliar.

Aburizal Bakrie, yang saat ini menjabat Ketua Umum DPP Partai Golkar, naik peringkat. Jumlah kekayaannya juga tambah menjulang. Pada tahun 2008 lalu, pria yang sering disapa Ical itu berada di peringkat 9 dengan kekayaan sebesar US$ 850 juta. Dan pada tahun 2009, Ical berada di urutan ke 4 dengan kekayaan sebesar US$ 2,5 miliar.

Murdaya Poo yang sedang terkena 'musibah' karena baru saja dipecat PDIP dari pengurus DPP PDIP dan anggota DPR, masih masuk dalam daftar 40 orang terkaya, meski peringkat dan jumlah kekayaannya melorot. Pada 2008, Murdaya Poo bertengger di peringkat 10 dengan kekayaan US$ 825 juta, dan pada tahun 2009, suami Hartati Murdaya itu berada di peringkat 20 dengan kekayaan US$ 600 juta.

Anggota DPD 2009-2014 yang juga mantan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud juga memiliki kekayaan yang cukup luar biasa dan masih masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Pada 2008, Aksa masuk di peringkat 21 dengan kekayaan US$ 260 juta. Dan pada tahun 2009, Aksa berada di peringkat 32 dengan kekayaan US$ 330 juta. Meski kekayaannya melonjak, namun peringkatnya turun.

Namun, tidak semua pengusaha yang terjun ke dunia politik, tetap bisa bertengger dalam 40 orang terkaya di Indonesia. Mantan Wapres RI yang juga mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) termasuk dalam jajaran ini. Dia terlempar dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Padahal pada tahun 2008, JK masuk di peringkat 29 dengan kekayaan US$ 185 juta.

Berikut daftar 40 orang terkaya versi Forbes:

1. R. Budi & Michael Hartono US$ 7 miliar
2. Martua Sitorus US$ 3 miliar
3. Susilo Wonowidjojo US$ 2,6 miliar
4. Aburizal Bakrie US$ 2,5 miliar
5. Eka Tjipta Widjaja U$S 2,4 miliar
6. Peter Sondakh US$ 2,1 miliar
7. Putera Sampoerna US$ 2 miliar
8. Sukanto Tanoto US$ 1,9 miliar
9. Anthoni Salim US$ 1,4 miliar
10. Soegiharto Sosrodjojo US$ 1,2 miliar
11. Low Tuck Kwong US$ 1,18 miliar
12. Eddy William Katuari US$ 1,1 miliar
13. Chairul Tanjung US$ 99 juta
14. Garibaldi Thohir US$ 930 juta
15. Theodore Rachmat US$ 900 juta
16. Edwin Soeryadjaya US$ 800 juta
17. Trihatma Haliman US$ 750 juta
18. Ciliandra Fangiono US$ 710 juta
19. Arifin Panigoro US$ 650 juta
20. Murdaya Poo US$ 600 juta
21. Hashim Djojohadikusumo US$ 500 juta
22. Kusnan & Rusdi Kirana US$ 480 juta
23. Prajogo Pangestu US$ 475 juta
24. Harjo Sutanto US$ 470 juta
25. Mochtar Riady US$ 440 juta
26. Eka Tjandranegara US$ 430 juta
27. Ciputra US$ 420 juta
28. Hary Tanoesoedibjo US$ 410 juta
29. Sandiaga Uno US$ 400 juta
30. Boenjamin Setiawan US$ 395 juta
31. Alim Markus US$ 350 juta
32. Aksa Mahmud US$ 330 juta
33. Sutanto Djuhar US$ 325 juta
34. Kartini Muljadi US$ 320 juta
35. Soegiarto Adikoesoemo US$ 300 juta
36. George Santosa Tahija & Sjakon George Tahija US$ 290
37. Paulus Tumewu US$ 280 juta
38. Husain Djojonegoro US$260 juta.
39. Bachtiar Karim US$ 250 juta.
40. Kris Wiluan US$ 240 juta. (asy/nrl)
Sumber : www.detik.com

Beberapa Pemikiran tentang Keuangan Publik Islam

Ditinjau dari sudut analisis ekonomi, kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar, sehingga menjadikan Madinah negeri yang makmur di kemudian hari. Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Mengingat saat itu negara Islam yang dibangun Rasulullah tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirinan suatu negara, maka kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara Islam tersebut.


Keuangan Publik Islam
Dalam keuangan Islam, kebijakan keuangan yang ada harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu pemerintahan yang islami. Terdapat perbedaan yang mendasar dari tujuan kegiatan ekonomi dalam ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami. Tujuan ekonomi konvensional lebih bersifat material dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek ‘immaterial’. Segala analisis ditujukan untuk mengukur hasil kegiatan tersebut dari sudut pandang keduniaan saja. Sementara ekonomi Islam memiliki tujuan yang sangat komprehensif yang menyangkut aspek material dan spiritual baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat.

Negara Islam pertama yang dibangun di dunia adalah negara yang dibangun Rasulullah di Madinah yang kita kenal dengan nama Negara Islam Madinah. Negara ini dibangun berlandaskan semangat keislaman yang tercermin dari Alquran dan kepemimpinan Rasulullah. Modal utama yang dipergunakan untuk membangun negara ini bukanlah uang melainkan semangat ketauhidan yang ditanamkan Rusulullah kepada masyarakat Madinah. Pada waktu itu kaum muhajirin yang mengungsi dari Mekkah dan datang ke Madinah tanpa membawa bekal yang cukup. Sementara di Madinah belum ada pemerintahan yang terorganisir dengan baik.

Beberapa kebijakan telah diambil oleh Rasulullah untuk mengukuhkan pemerintahan yang ada. Dalam bidang ekonomi, guna memacu pertumbuhan kegiatan perekonomian yang ada, maka langkah kebijakan yang diambil oleh Rasulullah adalah:

1. Membangun masjid sebagai Islamic center yang digunakan selain untuk beribadah juga untuk kegiatan kegiatan lain seperti tempat pertemuan parlemen, kesekretariatan, mahkamah agung, markas besar tentara, kantor urusan luar negeri, pusat pendidikan, tempat pelatihan bagi para penyebar luas agama, asrama, baitul maal, tempat para dewan dan utusan.

2. Guna memacu kegiatan ekonomi maka Rasulullah mempersaudarakan antara kaum mujahirin dengan kaum anshar. Kelompok anshar memberikan sebagian dari harta mereka kepada kaum muhajirin untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi sampai kaum muhajirin dapat melangsungkan kehidupannya.

Ditinjau dari sudut analisis ekonomi Islam, kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar. Persaudaraan itu ternyata telah membuat Negeri Madinah sebagai suatu negeri yang makmur di kemudian hari.

Pada masa awal Pemerintahan Negara Islam itu, keuangan publik Islami dan kebijakan fiskal belum banyak berperan dalam kegiatan perekonomian..Kebijakan fiskal belum dijalankan sebagaimana dilakukan pada analisis kebijakan fiskal dewasa ini, karena memang belum ada pemasukan negara saat itu. Rasulullah SAW dan stafnya tidak mendapat gaji sebagaimana lazimnya suatu pemerintahan. Penerimaan pemerintah hanya berasal dari sumbangan masyarakat. Zakat belum diwajibkan pada awal Pemerintah Islam tersebut. Kalau Rasulullah membutuhkan dana untuk membantu fakir miskin, maka Bilal biasa meminjam dari orang Yahudi.

Sumber penerimaan lainnya pada awal tahun pemerintahan tersebut adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang, dan ini baru diizinkan untuk menjadi salah satu sumber keuangan pemerintahan tersebut setelah turunnya surah al-Anfal (QS 8:41) pada tahun kedua Hijriah. Selanjutnya pada tahun kedua Hijriah tersebut zakat fitrah merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh setiap muslim dan ini kemudian menjadi salah satu sumber keuangan pemerintahan.

Sumber keuangan lainnya berasal dari jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh kelompok nonmuslim, khususnya ahli kitab, yang memperoleh jaminan perlindungan kehidupan dalam pemerintahan Islam. Sumber-sumber lainnya adalah kharaj (pajak tanah yang dipungut dari nonmuslim), ushr (bea impor) yang dikenakan kepada setiap pedagang dan dibayarkan hanya sekali selama setahun dan hanya berlaku kalau nilai perdagangannya melebihi 200 dirham.

Dengan berjalannya waktu dan mulai terkumpulnya sumber-sumber keuangan, pemerintahan mulai dapat membiayai berbagai pengeluaran terutama digunakan untuk mempertahankan eksistensi negara. Misalnya pengeluaran untuk membiayai pertahanan, pembayaran utang negara, bantuan untuk musafir, pembayaran gaji untuk wali, guru, dan pejabat negara lainnya.

Baru setelah itu, turun ayat yang menyangkut ketentuan pengeluaran dana zakat kepada delapan golongan, sebagaimana tercantum dalam surat QS at-Taubah ayat 60. Dengan turunnya ayat ini maka tampak kebijakan fiskal dengan tegas menetapkan jenis-jenis pengeluaran yang dapat digunakan atas dana zakat yang ada. Penggunaan dana zakat di luar ketentuan yang ditetapkan oleh ayat tersebut adalah tidak sesuai dengan ketentuan Alquran. Di situ tampak jelas bagaimana ekonomi Islam sangat peduli pada kaum miskin, yang derajat kehidupannya perlu dibantu dan diangkat ke tingkat yang layak.

Ditinjau sisi keuangan publik maka pengumpulan dan pengeluaran dana zakat dapat dipandang sebagai kegiatan untuk distribusi pendapatan yang lebih merata. Islam tidak menghendaki adanya harta yang diam dalam tangan seseorang. Apabila harta tersebut telah cukup nisabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian di sini tampak adanya usaha untuk mendorong orang memutarkan hartanya ke dalam sistem perekonomian, sehingga bisa menghasilkan growth.

Dengan semakin berkembangnya Islam yang tercermin dengan semakin luasnya daerah kekuasaan pemerintahan Islam, maka peran dari kegiatan keuangan publik semakin penting. Pengumpulan zakat melalui lembaga amil merupakan model pengumpulan dana zakat yang ada pada waktu itu. Lembaga Baitul Maal merupakan ‘departemen keuangan’ pemerintahan Islam.

Selain lembaga lembaga tersebut, dalam pemerintahan Islam juga terdapat lembaga lain yang cukup berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu lembaga yang berkaitan dengan kegiatan wakaf. Dalam sejarah Islam, tercatat bahwa lembaga wakaf ini sedemikian besar peranannya dalam sistem perekonomian.

Kebijakan Fiskal Islami
Tidak seperti kebijakan fiskal konvensional, di mana suatu pemerintahan dapat mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui berbagai insentif dalam tarif pajak maupun besarnya ‘tax. base’ dari suatu kegiatan perekonomian, maka dalam sistem zakat, segala ketentuan tentang besarnya ‘tarif’ zakat sudah ditentukan berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Oleh karena itu, kebijakan zakat sangat berbeda dengan kebijakan perpajakan.

Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat Islam. Walaupun demikian masih ada komponen lainnya, yang bersifat sukarela, yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan negara. Komponen-komponen sukarela ini terkait dikaitkan dengan tingkat ketaqwaan seseorang.

Sumber-sumber keuangan pemerintah di luar zakat dapat ditentukan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah yang ada. Sumber sumber keuangan baru dapat dibentuk setelah melalui proses kajian fikih. Misalnya, apakah untuk menghapus kemiskinan, pemerintahaan dibolehkan memungut pajak di luar zakat? Pertanyaan ini merupakan salah satu debat di kalangan ahli fikih yang merupakan ciri khas bagaimana sebuah kebijakan fiskal dapat dijalankan dalam sistem pemerintahan yang islami.

Sedangkan jenis pajak baru dalam keuangan publik dalam sistem ekonomi konvensional dikaji berdasarkan prinsip yang berbeda. Salah satu prinsip yang digunakan dalam keuang publik sistem ekonomi konvensional adalah prinsip fairness. Dalam keuangan publik tersebut, masalah fairness dikatakan sebagai masalah ‘etika’ yang penuh dengan value judgement. Untuk itu, mereka menentukan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam value judgement tersebut yaitu benefit principle serta ability to pay principle. Harus diakui, sistem analisis dalam keuangan publik islami belum semaju sistem analisis pada keuangan publik konvensional. Masih perlu kerja keras guna mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan keuangan publik islami. Wallahu a’lam bis-Shawab.

Mustafa Edwin Nasution
Tazkia Online

Thursday 25 February 2010

APBD Kukar 2010 : 4.9 Triliun


KutaiKartanegara.com 19/02/2010 22:30 WITA
Banyaknya aspirasi masyarakat yang tak tertampung dalam RAPBD Kutai Kartanegara (Kukar) 2010 membuat sejumlah anggota dewan kecewa berat. Bahkan sehari sebelum Rapat Paripurna Penetapan APBD Kukar, salah seorang Anggota Dewan sempat 'mengamuk' dengan membanting layar televisi lantaran aspirasi yang diperjuangkannya ternyata tak masuk dalam RAPBD 2010.

Kendati dinilai kurang aspirasitif , RAPBD Kukar tahun anggaran 2010 akhirnya tetap dapat diterima seluruh fraksi di DPRD Kukar untuk ditetapkan menjadi APBD dengan nilai Rp 4,986 triliun.


Menanggapi hal itu, Pj Bupati Kukar Sulaiman Gafur dalam Rapat Paripurna DPRD Kukar, Rabu (17/02) malam lalu, mengaku bahwa memang masih banyak aspirasi yang berkembang yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian terhadap RAPBD yang disampaikan Pemkab Kukar.


"Kita menyadari dalam proses yang panjang ini masih banyak aspirasi yang dirasakan belum sepenuhnya ditampung dalam RAPBD. Namun demikian, Pemkab Kukar tetap berupaya agar aspirasi-aspirasi yang berkembang saat ini dapat terakomodir, paling tdk sebagian besar yang dijadikan hajat masyarakat, dapat tertampung dalam APBD," ujarnya.


Ditambahkan Sulaiman Gafur, dengan disetujuinya RAPBD menjadi APBD, maka APBD Kukar tahun anggaran 2010 secara keseluruhan berjumlah Rp 4,986 triliun. "Dibandingkan tahun 2009 lalu, jumlah ini mengalami penurunan sebesar Rp 208,39 milyar atau turun 4,02%," ujarnya.


Lebih lanjut Sulaiman Gafur kemudian merincikan APBD 2010 yang terdiri dari Pendapatan Daerah sebesar Rp 4,061 triliun. Komponen pendapatan ini terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 213,11 milyar, Bagian Dana Perimbangan sebesar Rp 3,647 triliun serta Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah sebesar Rp 201,158 milyar.


Sedangkan untuk komponen Belanja, lanjut Sulaiman, mencapai Rp 4,769 triliun yang terdiri dari Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 1,58 triliun dan Belanja Langsung sebesar Rp 3,189 triliun.


"Untuk Belanja Tidak Langsung terdiri dari Gaji sebesar Rp 928,86 milyar, Subsidi Pendidikan sebesar Rp 92,16 milyar, Dana Hibah sebesar Rp 274,9 milyar, Bantuan Sosial Rp 101,64 milyar serta Alokasi Dana Desa (ADD) dan Penyelenggaran Pemerintahan Desa sebesar Rp 223,36 milyar," ujarnya.


Sedangkan Belanja Langsung terdiri dari belanja di tiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan total anggaran sebesar Rp 4,478 triliun.


Setelah ditetapkan dari RAPBD menjadi APBD, tambah Sulaiman lagi, APBD Kukar 2010 akan diserahkan kepada Gubernur Kaltim untuk dievaluasi. "Hingga pada akhirnya mendapat pengesahan menjadi Perda APBD 2010 dan dapat dilaksanakan," katanya. (win)

Tuesday 23 February 2010

Beras dan Aspek Keadilan

Rencana pemerintah untuk melakukan impor beras sebesar 110 ton dari Vietnam pada bulan ini sebagian di antaranya telah masuk di beberapa titik pelabuhan yang ditunjuk pemerintah menuai berbagai permasalah yang pada dasarnya dapat dihindari dari awal. Kontroversi impor beras menjadi permasalahan klise setiap tahun, semenjak swasembada pangan tak mampu kita capai lagi. Ketidakmampuan produksi domestik untuk memenuhi kebutuhan yang ada selalu menjadi alasan pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri.

Kondisi pertanian

Para petani selalu termarginalisasi. Punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar seluruh masyarakat, tetapi kebutuhan dasar mereka sendiri sering pada posisi tidak berkecukupan. Dengan kata lain, menjadi petani bukanlah sebuah profesi yang dapat menopang kehidupan. Menjadi petani hanyalah semata karena tidak ada pilihan lain.

Terlalu jauh membandingkan kondisi petani kita dengan petani di Jepang maupun di Amerika yang hidup sejahtera dan dalam posisi yang dihormati. Dibandingkan dengan petani di Asia tenggara seperti Vietnam saja, pertanian kita didominasi oleh petani gurem yang notabene hanya buruh dengan penguasaan lahan sawah rata-rata hanya 0,3 hektare (rata-rata produksi nasional 45 kuintal per hektare) dan total biaya setiap panen lebih dari 30 persen nilai produksi.

Sehingga dengan lahan yang sempit itu tentu sulit untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi serta memperoleh keuntungan yang layak, karena tidak memenuhi skala usaha ekonomi. Kombinasi tidak adanya insentif dan produktivitas yang rendah ini membuat pertanian menjadi benar-benar terpinggirkan.

Pemerintah berjanji bahwa impor hanya dijadikan sebagai buffer stock. Sehingga dijamin hanya akan dikeluarkan jika produksi lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan atau tingkat harga jual telah melewati ambang atas tertinggi, karena itu tidak akan mengganggu kestabilan harga ditingkat petani. Kemudian, di lapangan harga beras terus menaik melewati ambang batas Rp 3.500 per kilogram dan operasi pasar dengan beras domestik gagal mencegahnya. Sehingga ada kekhawatiran bahwa beras impor mau tidak mau akan digunakan untuk menyeimbangkan kebutuhan pasar.

Tetapi para petani berteriak agar mereka kali ini dibiarkan menikmati tingginya harga jual setelah sekian lama tidak menikmati kondisi ini. Sebagian daerah yang surplus menolak impor, karena pada kenyataannya beras di daerah mereka lebih dari cukup. Mereka justru mengusulkan mengapa tidak melakukan ‘impor lokal’, sehingga yang disubsidi tetaplah petani kita, bukan petani vietnam.

Daerah-daerah tersebut mengatakan beras di tingkat petani dalam kondisi cukup, bahkan lebih. Artinya, tidak ada masalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Tetapi di pasar, ada kecenderungan beras langka, sehingga keseimbangan permintaan dan penawaran beras terganggu di tingkat konsumen. Jelas sekali dalam hal ini ada masalah distribusi. Dan sekali lagi, yang banyak diuntungkan adalah pedagang besar, para spekulan, dan pencari rente. Yang jadi pertanyaan siapa mereka dan mengapa hal ini terus terjadi?

Islam dan keadilan

Terlepas dari kontroversi impor beras apakah benar atau salah, yang terpenting adalah menjawab tantangan apakah kita dapat mengoptimalkan kemampuan sendiri untuk memenuhi kebutuhan. Karena toh, pada kenyataannya, kita adalah bangsa agraris yang sebagian besar penduduknya –sekitar 25 juta keluarga– mencari nafkah di sektor pertanian. Sehingga dalam konteks keadilan Islam, potensi yang ada wajib didukung sepenuhnya untuk kemaslahatan seluruh masyarakat.

Karena itu, dalam problematika makanan pokok seperti beras ini, Islam memandang ada beberapa poin penting yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan. Pertama, hajat hidup orang banyak harus dikelola dan menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa ”manusia berserikat dalam tiga hal yaitu api, air, dan rumput”. Dalam konteks kekinian, rumput dalam hadits tersebut meliputi sumber makanan pokok masyarakat. Artinya, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat dalam kondisi mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.

Karena itu sudah selayaknya sektor pertanian didukung sepenuhnya. Tidak sekadar menjamin untuk membeli, tetapi bagaimana meningkatkan produktivitas yang selama ini menjadi titik lemah mengapa pertanian dibandingkan negara lain begitu tertinggal. Juga meningkatkan efisiensi dalam produksi beras sehingga margin keuntungan dapat diperlebar.

Kedua, mekanisme pasar harus berjalan sempurna; ikhtikar (penimbunan) dan spekulasi harus ditangani. Islam memandang keadilan harus menjadi prinsip sistem ekonomi. Dalam pandangan Islam, mekanisme pasar bebas adalah sistem yang alami, sistem yang memungkinkan pelaku ekonomi berkompetisi menuai hasil atas usaha masing-masing.

Tetapi Islam menekankan perlunya perlindungan kepada si lemah oleh pemerintah. Islam memandang pentingnya pengorbanan si kuat untuk berbagi kepada sesama. Bukan sebaliknya, para pedagang besar terus menggerus keuntungan yang seharusnya milik mereka para petani yang telah berkeringat. Para pencari rente leluasa tanpa batas memaksimalkan profit atas nama beras.

Ketiga, upaya untuk ”mensyariahkan” sektor pertanian. Lembaga Keuangan berbasis syariah terus berkembang dengan pesat. Tetapi sampai sekarang sangat jarang, kalau bisa dibilang belum ada, pembiayaan syariah yang melirik pertanian sebagai sektor yang layak diberikan pembiayaan. Perbankan syariah masih asyik bermain pada pembiayaan konsumtif, bukan produktif.

Pemerintah dapat meminta perbankan syariah untuk membantu fokus pada peningkatan produktivitas, seperti mekanisasi pertanian atau pembelian pupuk dan bibit. Beberapa skim pembiayaan seperti pinjaman kebaikan atau ijarah dapat digunakan untuk hal ini. Sejatinya, tidak ada masalah bagi lembaga keuangan syariah untuk terjun langsung ke sektor pertanian. Pertanian merupakan sektor strategis yang memberikan potensi jika dikelola dan didukung dengan baik. Lagipula, lembaga-lembaga keuangan syariah memiliki tanggung jawab vertikal dan horisontal untuk merealisasikan tujuan keadilan.

Mustafa Edwin Nasution dan Mohammad Soleh Nurzaman
Repubika Online



Friday 19 February 2010

Tiga Strategi Kemandirian Ekonomi

Dalam APBN 2006, pemerintah berencana untuk menambah utang baru dari luar negeri sebesar 3,5 miliar dolar AS. Walaupun di saat yang sama utang-utang lama berusaha dilunasi, tapi pengutangan baru ini menunjukkan seolah kita memang sulit keluar dari perangkap utang. Padahal beberapa saran telah sering diungkapkan para ahli ekonomi agar kita melepaskan diri dari ketergantungan utang. Karena pada dasarnya kita mampu dan memiliki potensi untuk mengakhiri tradisi utang yang selama ini dilakukan.

Negara kita termasuk negara dengan utang yang membutuhkan perhatian sangat serius, terutama dengan risiko yang harus ditanggung dengan generasi masa depan. Indonesia menanggung beban utang yang sangat besar. Global Development Finance 2002 menempatkan Indonesia pada status severely indebted and low income countries (SILIC), setara dengan Afghanistan, Nigeria, and Ethiopia. Ini jauh di bawah beberapa negara tetangga Asia seperti Malaysia, Thailand, yang masuk middle debt burden.

Secara teori pembangunan ekonomi, negara berkembang seperti kita memang sangat membutuhkan investasi untuk mendorong perekonomian sekaligus menyediakan lapangan kerja. Dari beberapa sumber pendanaan, utang merupakan alternatif yang cenderung menjadi penyakit kronis karena terus dilakukan seolah ia adalah sebuah ritual yang wajib dilakukan dalam aktivitas ekonomi.

Debt Trap
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kita baru akan bisa menghapus utang dalam jangka waktu yang sangat lama, dengan catatan tanpa ada penambahan utang baru, suatu hal yang sulit terealisasi tanpa ada langkah-langkah inkonvensional. Indonesia seakan sudah masuk dalam situasi harus berutang, debt trap, guna kelangsungan hidup perekonomian. Tanpa utang, negara kita seolah akan ambruk.

Karena utang menjadi masalah kronis yang dihadapi oleh mayoritas negara berkembang seperti Indonesia, diperlukan langkah-langkah nyata yang tidak sekadar mengikuti mainstream pemikiran konvensional, tetapi juga memanfaatkan potensi negara itu sendiri, termasuk cara pandang terhadap sistem ekonomi. Kita perlu membangun strategi untuk membuat bangsa ini mandiri dalam melakukan pembangunan dan investasi.

Mayoritas penduduk kita adalah Islam di mana adalah suatu keniscayaan untuk percaya bahwa Islam telah memberikan pedoman dalam urusan-urusan muamalah termasuk membentuk sistem perekonomian. Yang mungkin masih kurang adalah kekurangpedulian kita untuk menggali dan melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan prinsip, aturan, dan landasan yang telah diberikan oleh Islam.

Tiga Langkah
Setidaknya ada tiga langkah –kita bisa menyebutnya triple strategy– yang dapat bersama-sama kita lakukan untuk membangun sistem ekonomi syariah sebagai sistem yang mampu mendukung kemandirian ekonomi negara kita. Strategi ini seyogianya memiliki dua tujuan, yaitu bagaimana menyerap jumlah pengangguran atau secara halus surplus labor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor usaha kecil dan menengah.

Strategi pertama adalah Free Financing Access. Salah satu upaya membuat masyarakat dapat bekerja adalah memberikan kesempatan dan akses dana yang cukup luas bagi mereka yang mau dan mampu untuk menciptakan usaha. Kita sama-sama tahu bahwa pada sistem kapitalisme, bunga dan ketersediaan jaminan menjadi harga bagi mereka yang membutuhkan dana. Tentu saja fakta ini menjadi penghambat bagi mereka yang tak mampu menyediakan jaminan, padahal mereka mampu menciptakan usaha.

Dalam sistem ekonomi Islam, mereka yang mau berusaha disediakan akses dana secara luas tanpa jaminan, khususnya bagi mereka yang tak mampu. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana jika muncul moral hazard atau mengalami kerugian? Upaya meminimalisasinya terkait dengan sistem yang dibuat, termasuk mekanisme pengawasan sekaligus pembinaan nilai-nilai Islami pada masyarakat.

Lembaga-lembaga zakat, infaq, sadaqah (ZIS) membuktikan hal ini. Moral hazard sangat jarang terjadi karena memang pada kenyataannya mereka yang meminjam adalah orang-orang yang memang membutuhkan dana untuk usaha. Lagipula mereka melakukan pinjaman dana dalam nilai nominal yang relatif kecil, sehingga motivasi mereka tak lain hanya untuk berusaha. Lewat penanaman nilai Islami mereka juga memahami sistem ekonomi yang jujur dan amanah sekaligus produktif.

Sedangkan dalam kasus kerugian maka pemerintah dengan dukungan sektor volunteer, yaitu zakat dan juga wakaf dapat memberikan jaminan bagi usaha-usaha yang mengalami kerugian. Ini dibahas dalam strategi ketiga. Strategi kedua adalah menerapkan prinsip Profit Loss Sharing (PLS) secara baku dalam semua kegiatan perekonomian. Secara teori maupun praktik kita harus mengakui prinsip PLS merupakan prinsip yang adil dan seimbang. Setiap mereka yang melakukan usaha, baik yang memiliki dana maupun para entrepreneur, mempunyai tanggung jawab yang adil-proporsional dalam risiko maupun mencari keuntungan. Tidak seperti sistem bunga yang cenderung hanya menguntungkan pemilik dana tanpa risiko.

Sistem dengan prinsip PLS juga mengedepankan hubungan antara sektor moneter dan sektor riil. Berbeda dengan sistem bunga yang dapat menggandakan uang secara semu, sistem PLS menjamin sinerginya pergerakan uang dengan pembangunan ekonomi secara nyata. Ini menjamin bahwa penerapan prinsip PLS secara menyeluruh dalam perekonomian akan memberikan kontribusi derivatif berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan riil masyarakat.

Strategi ketiga adalah mengoptimalkan zakat dan wakaf sebagai investment safety net. Adalah wajar jika dalam melakukan kegiatan usaha, para pelaku usaha mengalami kerugian. Potensi kerugian tentu menjadi pertimbangan setiap pelaku usaha. Lembaga keuangan tentu akan memberikan pertimbangan mengeluarkan pinjaman terhadap risiko seperti ini. Nah solusi yang mungkin diterapkan adalah menyediakan jaminan ganti rugi bagi mereka yang melakukan investasi tetapi mengalami kerugian.

Dengan penduduk mayoritas umat Islam, potensi zakat dan wakaf sangat besar. Berbagai penelitian menyebutkan potensi kedua sumber dana ini mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Kita bisa mengalokasikan sebagian dana zakat dan wakaf yang terkumpul untuk cadangan jaminan kerugian investasi. Secara fikih, mereka yang mengalami kerugian dapat kita golongkan termasuk gharimin, orang yang berutang. Karena itu mereka juga punya hak terutama memperoleh zakat.

Untuk mengoptimalkan zakat saat ini memang telah berdiri berbagai lembaga amil zakat. Tetapi ini juga harus dibarengi dengan membangun kesadaran masyarakat, dan inventarisasi data statistik terhadap pengumpulan zakat guna pengoptimalan strategi kebijakan nasional. Untuk wakaf, upaya yang sedang dilakukan saat ini untuk membentuk badan wakaf nasional seyogianya didukung dan diberi perhatian khusus terutama oleh pemerintah. Dengan potensi yang demikian besar, tentu zakat dan wakaf diharapkan dapat menjadi solusi kemandirian ekonomi bangsa.

Mustafa Edwin Nasution, Ketua IAEI
Republika Online

Tuesday 16 February 2010

Pro Ekonomi Syariah Pro Rakyat

Krisis berkepanjangan yang menimpa sejumlah negara besar masih meninggalkan sejumlah persoalan yang sangat serius bagi bangsa Indonesia. Dalam bahasa ekonom FEM IPB, Iman Sugema, ada tiga kiamat (trio doom) yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis finansial yang bermula dari AS, yang boleh jadi menjadi penyebab turning pointatau titik balik perekonomian nasional pada 2009.

Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di AS. Kemudian, financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30 persen, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%). Kiamat yang ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9 persen dan 15 persen.

Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan di sektor riil pun terganggu. 

Hal tersebut ditandai dengan semakin melemahnya permintaan di sejumlah pasar tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Memang jika dianalisis, kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan AS tidak terlalu memengaruhi kinerja ekspor nasional. Ini karena total ekspor kita ke AS hanya 9-10 persen dalam dua tahun terakhir, di mana angka ini kurang dari tiga persen PDB kita.

Namun, melemahnya perekonomian AS membawa efek berantai pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Dengan lemahnya permintaan di negara-negara tersebut, tidaklah mengherankan jika persentase tren ekspor Indonesia turun, bahkan drop 11,6 persen per Oktober 2008. 

Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat.

Sejumlah tantangan
Tantangan lain yang juga berat adalah masih rendahnya daya saing produk bangsa kita. Akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, akan terjadi persaingan memperebutkan pasar ekspor. Sebagai negara yang besar, tentu Indonesia berpotensi menjadi pasar potensial sejumlah produk impor. 

Diperkirakan Cina akan tetap merajai produk impor ke Tanah Air. Selama beberapa tahun terakhir ini dominasi Cina belum mampu dipatahkan. Ini menjadi tantangan mengingat penguatan pasar domestik menjadi salah satu solusi dalam menghadapi krisis global, di mana produk lokal yang mampu menjadi substitusi barang impor sangat dibutuhkan. 

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah peningkatan daya saing UKM. Indeks skor UKM kita terkecil bila dibandingkan dengan sejumlah negara anggota APEC. Padahal,share UKM terhadap PDB Indonesia lebih dari 50 persen. Tanpa perbaikan daya saing ini, UKM kita akan menghadapi sejumlah kesulitan dalam memasarkan produknya.

Meski demikian, kondisi berat tersebut bukan berarti akhir dari segalanya. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh oleh bangsa ini untuk keluar dari situasi krisis global. Banyak potensi bangsa yang masih dapat dioptimalkan. Misalnya, tingginya tingkat saving yang mencapai 34 persen dari rasio PDB. Ini menunjukkan dana-dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal peningkatan investasi produktif.

Kemudian, Indonesia dapat pula memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada sebagai underlying assetuntuk menarik investasi Timur Tengah berbasis sukuk. Meski ada permasalahan likuiditas global, kondisi Timteng relatif lebih baik. 

Tidaklah mengherankan beberapa waktu lalu PM Inggris Gordon Brown sempat melakukan 'safari' ke Timteng, meminta mereka secara aktif berinvestasi di Inggris dan terlibat dalam upaya mengurangi tekanan resesi global. Meski demikian, ada tiga kendala utama yang harus diperhatikan, mengingat ketiga hal ini sering menjadi bahan pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 

Pertama, instabilitas makro yang diindikasikan dengan tingginya laju inflasi dalam tiga tahun terakhir. Kedua, problematika infrastruktur yang ditandai dengan keterbatasan sejumlah sarana dan prasarana, seperti jalan, jalur kereta api, dan pasokan listrik. Ketiga, persoalan korupsi yang sangat akut. 

Survei Transparency International menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan 134 dari 163 negara yang disurvei. Khusus mengenai korupsi ini, penulis berharap peran KPK dapat lebih dioptimalkan dan upaya pelemahan fungsi KPK yang saat ini tampak harus segera diakhiri.

Kebijakan proekonomi syariah
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian. Pertama, memperkuat industri keuangan syariah secara umum yang lebih prosektor riil. Penguatan ini antara lain bisa dilakukan dengan meningkatkan volume aset perbankan syariah, antara lain melalui pendirian BUS baru (seperti Bank Bukopin Syariah), memperbesar volume UUS, serta menempatkan dana pemerintah di perbankan syariah. Kemudian, memperkuat posisi lembaga keuangan mikro syariah dan BPRS dengan konsolidasi dan pembentukan jaringan LKMS dan BPRS di tingkat nasional.

Selanjutnya, penguatan pasar modal syariah. Ada kecenderungan pada jangka panjang peran pasar modal akan semakin dominan. Namun, pelajaran yang dapat diambil dari krisis ini adalah ketika transaksi di lantai bursa dilakukan dengan tanpa adanya kejelasan underlying asset, yang terjadi adalah penggelembungan-penggelembungan nilai aset yang pada akhirnya justru merugikan. Bubble economy yang sangat rentan ini harus diatasi dengan penguatan pasar keuangan syariah.

Kedua, sukuk dapat dijadikan sebagai alat investasi untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita menyambut baik penerbitan perdana sukuk negara beberapa waktu lalu. Namun, jika dana sukuk digunakan untuk menutup defisit APBN pada pos-pos yang kurang produktif, dampaknya terhadap perekonomian kurang terasa. 

Seharusnya pemerintah menerbitkan sukuk yang digunakan untuk membangun pelabuhan, bandara, jalan raya, pembangkit listrik, dan sarana infrastruktur lainnya. Ini akan menciptakan multiplier effect yang sangat baik bagi perekonomian.

Ketiga, optimalisasi potensi zakat dan wakaf. Zakat harus dijadikan instrumen perlindungan hak-hak ekonomi kaum dhuafa, sekaligus sebagai alat mempertahankan daya beli kelompok miskin. Beban kemiskinan pun dapat dikurangi dengan memanfaatkan dana zakat melalui program-program karitatif, seperti layanan kesehatan gratis dan beasiswa pendidikan. 

Peningkatan produktivitas kelompok miskin dapat difasilitasi melalui program pendayagunaan zakat produktif, seperti pembiayaan dan pendampingan usaha kecil dan mikro. Secara makro, proses people to people transfer diyakini akan banyak membantu meningkatkan kondisi perekonomian. 

Selama ini kebijakan yang dilaksanakan berbasis pada konsep government to people transfer, yang dananya bersumber dari pajak dan utang luar negeri. Yang menjadi masalah, ketika utang luar negeri digunakan untuk pos bantuan sosial, beban APBN yang notabene beban rakyat, akan bertambah. Karena itu, zakat merupakan jalan keluar terbaik sehingga beban defisit APBN akan dapat dikurangi secara signifikan.

Wakaf, baik wakaf barang maupun uang, dapat dimanfaatkan sebagai engine of growth. Selama hampir empat abad sejarah mencatat wakaf uang mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu pada zaman Khilafah Turki Usmani yang menguasai sepertiga dunia. Penulis yakin insya Allah dengan menerapkan kebijakan ekonomi syariah secara serius, kepentingan ekonomi rakyat akan terangkat.


Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB
Republika Online

Wednesday 10 February 2010

New Intitutional Economics?

Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis.

Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan ekonomi syariah. Fenomena ini, jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional economics (NIE), pandangan tersebut mendekati kebenaran.

Empat Elemen NIE
Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri atas empat elemen. Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku individu atau kelompok masyarakat. Budaya, antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru, diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.

Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Ahmed, Habib, 2008). Dikaitkan dengan pengembangan ekonomi syariah di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan Syariah pada April 2008 lalu merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam ekonomi syariah. Hal ini kian menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain, seperti sistem peradilan untuk perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan ekonomi/perbankan syariah, legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak biru pengembangan perbankan syariah, dan peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan syariah.

Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.

Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi, termasuk unsur-unsur penunjangnya, seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu, ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktivitas pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (nonperforming financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.

Menuju paradigma ekonomi baru
Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, pendekatan NIE menunjukkan arah demikian. Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based, merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.

Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah. Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang berpenduduk Muslim minoritas seperti Cina, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan keuangan syariah.

Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan institusi perbankan dan keuangan syariah baru.

Terakhir, perlahan namun pasti, pasar industri syariah terus menunjukkan peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan keuangan syariah di tanah air.

Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan konsep NIE telah meletakkan fondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung, tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa, ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan kebaikan dari sistem ini. Wallahualam bishawab.

Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance, Durham University UK
Khairunnisa Musari, Mahasiwa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya
Republika Online

Sunday 7 February 2010

Membangun Sistem Moneter Islami

Perekonomian Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, sejak krisis moneter pada tahun 1997, bangsa ini belum mampu kembali bangkit. Seolah-olah keterpurukan menjadi pakaian yang menghiasi tubuh negara ini. Beberapa waktu lalu, misalnya, kita dikejutkan dengan terjadinya gejolak reksadana sebanyak dua kali sepanjang 2005. Yang pertama pada medio Maret-April, dan yang kedua pada medio Agustus-September. Para nasabah yang mempercayakan investasinya kepada investment manager untuk mengelola dana mereka melalui investasi reksadana, secara besar-besaran mengambil nilai aktiva bersih mereka (redemption).

Bapepam, selaku regulator, mencatat dana yang ditarik investor pada investasi reksadana sejak Januari hingga Agustus 2005 mencapai Rp 238,9 triliun. Sementara dana yang masuk sebesar Rp 192,2 triliun. Akibatnya, nilai aktiva bersih (NAB) industri reksadana menyusut tajam dari 108,2 triliun menjadi Rp 62,9 triliun (Republika, 26 September 2005).

Begitu pula halnya dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk memperkuat nilai kurs rupiah, maka di antara strategi yang diambil oleh otoritas moneter adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga. Bahkan, saat berbicara pada Indonesia Global Investment Forum di New York, pertengahan September lalu, Presiden SBY telah menegaskan bahwa tingkat suku bunga akan terus dinaikkan selama hal tersebut mendukung penguatan kurs rupiah. Naiknya suku bunga ini tentu saja akan berdampak pada sektor riil. Sehingga penulis khawatir bahwa upaya untuk mendongkrak peningkatan ekspor --terutama ekspor nonmigas-- akan menjadi sedikit terhambat. Bagaimanapun juga, bunga akan selalu berbanding terbalik dengan investasi di sektor riil. Semakin besar tingkat suku bunga, semakin berkurang pula investasi.

Padahal, saat ini kita perlu untuk meningkatkan investasi pada sektor riil. Hal ini mengingat tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di negara kita, yang telah mencapai 45,2 persen dari total penduduk, dengan tingkat pengangguran yang mencapai angka 50 juta jiwa (Depnakertrans RI). Tentu saja, menurut perkiraan penulis, angka ini akan cenderung bergerak naik, terutama pasca kebijakan menaikkan harga BBM pada 1 Oktober lalu. Semua hal di atas adalah sebagian kecil contoh ''kesemrawutan'' kebijakan ekonomi pemerintah yang berbasiskan pada teori konvensional. Penulis berkeyakinan bahwa sistem ekonomi konvensional telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Bunga masalah
Kalau kita bandingkan, perbedaan nyata dan signifikan antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah terletak pada sektor moneter. Dari sisi fiskal, perbedaan tersebut tidak terlalu terlihat nyata. Di antara faktor pembeda yang sangat signifikan adalah diharamkannya bunga pada sistem ekonomi syariah. Sementara bagi sistem konvensional, justru bunga itulah yang menjadi instrumen utama untuk menstabilkan perekonomian.

Kalau kita mau jujur, bunga adalah sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini dikarenakan bunga adalah institusi yang menjadikan ketidakseimbangan antara sektor riil dan sektor moneter. Mari kita ambil contoh sederhana berikut ini.

Pertama-tama, kita asumsikan seandainya bunga itu halal dalam pandangan Islam. Kemudian kita memiliki uang sebanyak Rp 1 miliar. Kita dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, uang tersebut kita depositokan ke bank dengan bunga 10 persen, atau kedua, uang tersebut kita investasikan untuk membangun pabrik dengan nilai expected return-nya juga 10 persen. Sebagai orang yang rasional, tentu saja pilihan pertama yang akan kita ambil, karena ia lebih menjamin kepastian return yang akan diterima, yaitu sebesar Rp 100 juta. Sementara pada pilihan kedua, terdapat risiko dan ketidakpastian. Belum tentu investasi tersebut menghasilkan return sebesar Rp 100 juta sebagaimana yang diperkirakannya.

Berdasarkan contoh tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa munculnya ketidakseimbangan ini lebih disebabkan struktur teori konvensional yang memang sudah tidak stabil akibat sistem bunga. Akibatnya kemudian, perekonomian pun menjadi labil. Kondisi moneter tidak mencerminkan kondisi sektor riil. Demikian pula sebaliknya, kondisi sektor riil tidak secara otomatis mencerminkan kondisi sektor moneter.

Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi syariah. Karena tidak ada jaminan kepastian return dalam bentuk bunga, maka sektor moneter memiliki ketergantungan terhadap sektor riil. Jika investasi dan produksi di sektor riil berjalan dengan lancar, maka return pada sektor moneter pun akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi sektor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil dan vice versa.

Itu adalah contoh kecil saja. Sehingga tidaklah mengherankan, jika saat ini, jumlah uang yang beredar di pasar uang adalah 500 triliun dolar AS, jauh lebih besar daripada jumlah uang yang beredar di pasar barang dan jasa yang hanya 6 triliun dolar AS (World Bank, 2004). Untuk itu, upaya mereformasi sektor finansial negara ini menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan. Harus ada perubahan paradigma yang jelas, dari paradigma konvensional menuju paradigma Islami.

Langkah perbaikan
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan di dalam upaya kita untuk mereformasi sistem keuangan negara ini. Pertama, memperkuat sistem perbankan syariah nasional. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan segera mengimplementasikan undang-undang (UU) yang mengatur tentang perbankan syariah. Tentu saja semakin cepat semakin baik. Paling tidak, akhir tahun ini atau awal tahun depan, UU tentang Perbankan Syariah sudah dapat diberlakukan.

Kemudian, Bank Indonesia perlu melakukan akselerasi dengan segera membentuk deputi gubernur yang khusus mengurusi bank syariah. Logika bahwa deputi gubernur ini nantinya akan secara otomatis dibentuk manakala industri perbankan syariah nasional telah semakin besar, harus diubah. Kita tidak perlu menunggu aset perbankan syariah mencapai 50 persen dari total aset perbankan nasional untuk membentuk deputi khusus ini. Mari kita belajar pada Malaysia yang mempersiapkan terlebih dahulu perangkat peraturannya dan baru kemudian mereka membentuk institusinya.

Penulis melihat bahwa di negara kita, peraturan selalu muncul belakangan dan terlambat. Seharusnya treatment terhadap bank syariah dilakukan secara khusus. Pembentukan deputi ini merupakan salah satu jawabannya. Kedua, membangun sistem pasar modal syariah yang kuat. Harus diingat bahwa pasar modal ini rentan dengan aktivitas spekulasi (meskipun banyak ekonom konvensional yang tidak mau mengakuinya sebagai spekulasi, melainkan investasi yang mengandung risiko). Untuk itu, harus ada aturan yang mendekatkan pasar modal dengan sektor riil.

Permasalahan utama sebenarnya terletak pada secondary market. Jual beli saham dan surat-surat berharga lainnya yang terjadi di pasar sekunder tidak memiliki dampak pada perusahaan yang menerbitkan sahamnya di lantai bursa. Perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, di mana tidak ada perubahan yang berarti dari nilai intrinsik saham. Sehingga harga yang berlaku, bisa berada di atas ataupun di bawah nilai riilnya.

Untuk itu, perlu ada aturan main tambahan yang menjamin agar nilai saham dapat sesuai dengan kondisi aktual perusahaan. Tujuannya agar terdapat aliran dana dari pasar modal kepada sektor riil. Penulis menyadari bahwa hal tersebut membutuhkan diskursus yang panjang. Membuat spekulasi menjadi aktivitas yang tidak menarik merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Ketiga, membangun sistem lembaga keuangan syariah (LKS) non-bank yang kuat. Hal ini juga sangat penting. Tentu saja dibutuhkan peran pemerintah (dalam hal ini Departemen Keuangan). Sudah saatnya Depkeu mendorong tumbuh dan berkembangnya LKS non-bank. Penulis melihat belum maksimalnya upaya yang dilakukan Depkeu. Sebagai contoh kecil, hingga saat ini belum ada satu pun direktorat yang khusus menangani asuransi syariah. Padahal, industri asuransi syariah saat ini tengah berkembang pesat. Wajarlah jika hal tersebut menuai kritik.

Bahkan salah satu rekomendasi agenda kerja Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam muktamarnya beberapa waktu lalu, adalah mendorong terbentuknya direktorat dimaksud. Keempat, adalah dengan terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekaligus memperkuat kerja sama dengan seluruh elemen yang ada, baik kalangan praktisi, akademisi, cendekiawan, ulama, pejabat, dan seluruh masyarakat. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Irfan Syauqi Beik, Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Thursday 4 February 2010

De Garengeot's Hernia


An 83-year-old woman presented with a 1-week history of an enlarging, painful bulge in the right groin. Examination of the abdomen revealed a diffusely tender and erythematous right-groin mass extending to the right labium (Panel A). The examination was otherwise unremarkable. On exploration of the right groin, an abscess was found and drained, and necrotic tissue was observed within the femoral canal. An infraumbilical abdominal incision was made. The appendix, with a necrotic distal portion (Panel B), was found within the femoral canal. The presence of a vermiform appendix in a femoral hernia sac, termed de Garengeot's hernia, was first described in 1731, which was 5 years before the first reported appendectomy. De Garengeot's hernia is often misdiagnosed as an incarcerated or strangulated femoral hernia. It is distinct from Amyand's hernia, in which the appendix is within an inguinal hernia sac. In this case, we performed an open appendectomy, and the hernia was primarily closed. Full wound closure was noted during a follow-up visit.


Geographic Tongue



A 61-year-old man was referred for treatment of painless white lesions on his tongue that had appeared 1 month earlier. He had been treated with topical and systemic antifungal drugs for presumed oral candidiasis, but the lesions remained unchanged. The patient reported that a similar episode 1 year earlier had resolved spontaneously. Lingual examination revealed multiple erythematous patches with an annular, well-demarcated white border. A diagnosis of geographic tongue was made. Geographic tongue (benign migratory glossitis) is a benign inflammatory condition that affects approximately 2% of the world's population. The classic manifestation is a maplike distribution of erythema caused by atrophy of the filiform papillae of the tongue, surrounded by a white hyperkeratotic rim. The lesions typically resolve spontaneously without sequelae but can develop quickly in other areas of the tongue.



Hydropneumothorax

A 47-year-old man with a history of cirrhosis associated with alcohol abuse presented with a 2-day history of shortness of breath. Before this symptom developed, he had been treated with repeated thoracentesis of the right side for cirrhosis-associated hydrothorax. On pulmonary examination, breath sounds were absent on the right side, and a succussion splash was audible in the right upper chest when the patient was gently shaken. Chest radiography showed hydropneumothorax with a collapsed right lung and an adjacent thoracic air–liquid level, which was probably the result of repeated thoracentesis. The patient was treated with chest-tube placement and diuretics. An analysis of the pleural effusion revealed transudative fluid without evidence of infection or cancer. The chest drain was removed 1 week later, after reexpansion of the lung.



Cutaneous Larva Migrain


A 42-year-old man presented with a 1-week history of intensely pruritic eruption on the dorsum of his right foot. He had gone for a barefoot stroll on the beach a few days before the onset of the rash. The lesion progressed daily, despite the application of antibacterial lotion to the eruption. The physical examination revealed serpiginous, erythematous raised tracts with bulla formation, findings that are clinically diagnostic of cutaneous larva migrans (Panel A). Cutaneous larva migrans is caused by the migration of hookworm larvae in human skin. It is most commonly caused by the hookworm that infects dogs and cats. The parasite's eggs are passed from animal feces into warm, moist soil or sand, where the larvae hatch. Transmission occurs when skin comes in direct contact with contaminated soil or sand. In humans, the larvae are unable to penetrate the basement membrane to invade the dermis, so disease remains limited to the epidermis. Cutaneous larva migrans is self-limited, though effective anthelmintic treatment (with thiabendazole, albendazole, mebendazole, or ivermectin) can diminish symptoms and shorten the duration of disease. Proper footwear is the key to preventing this condition. Two weeks after a course of albendazole, the patient's lesions showed signs of healing, with areas of desquamation and hyperpigmentation (Panel B).

Zakat sebagai Energi

Energi telah menjadi isu penting sejak terminologi industri diperkenalkan. Ketika semua mesin usaha harus bergerak, ketika manusia menuntut mobilitas yang semakin cepat, ketika semakin banyak orang berlomba menikmati hidup dengan beragam peranti kenyamanan, energi selalu dirindu datang dengan tegap dan siap, pantang mengenal siaran tunda.

Inilah 'nyawa' yang menggerakkan kehidupan karenanya banyak orang bersedia bertaruh nyawa mengingat begitu besar imbalan dan kepuasannya. Tentu, sungguh mulia siapa pun yang memberanikan diri menjadi jembatan 'terhidupkannya' manusia dan barisan usahanya dengan berjibaku menghadirkan ketersediaan energi ini. Dedikasi ini menjadikan kita lebih mudah tinggal antre sebentar, lalu kendaraan kita penuh terisi BBM seakan minyak tersebut memiliki sumur besar yang mengalir setiap hari tanpa perlu diisi.

Sayangnya energi di atas tak akan selamanya mudah dijumpai karena ketersediaannya yang terbatas dan berbiayai tinggi. Energi berbahan fosil telah memberikan warning kepada setiap kita bahwa keberadaannya memang bertenaga, namun tak bisa abadi. Dalam relasi inilah energi baru dan terbarukan menjadi ide sekaligus aksi yang tak sekadar pantas, namun juga sangat perlu kita kembangkan.

Mengutip definisi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Energi baru adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari energi terbarukan maupun energi tak terbarukan, antara lain: Hidrogen, Coal Bed Methane, Coal Liquifaction, Coal Gasification, dan Nuklir. Sementara energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain: panas bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Dalam perpres tersebut juga dicanangkan target pada 2025, share energy terbarukan mencapai 17 persen dari total konsumsi energi nasional.

Penulis sadar tak cukup kompeten bicara banyak tentang teknis energi terbarukan ini. Tulisan ini terinspirasi dari dianugerahkannya Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia (UI) kepada Prof Dr Ing BJ Habibie dalam bidang filsafat teknologi, akhir Januari 2010 lalu. Menurut Habibie, filsafat dan teknologi dapat bersinergi, baik secara positif maupun negatif. Keduanya memengaruhi kualitas moral, etika, budaya, dan peradaban manusia. Keterkaitan filsafat dan teknologi tidak dapat dipisahkan dan akan menentukan nasib manusia.

Dalam kerangka tersebut kami melihat relevansi filsafat menimbang zakat sebagai energi terbarukan. Zakat disyariatkan untuk diambil (khudz!), ''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.'' (At-Taubah: 103).

Zakat perlu 'ditambang' dengan pola penghimpunan yang profesional. Pilar Islam ini pun terbukti atau minimal diyakini mampu sebagai daya yang sanggup menghidupkan hati para muzaki (donator) dan menggerakkan pemberdayaan bagi para penerimanya.

Inilah kekuatan yang penting untuk tidak sekadar dipandang sebagai penggugur kewajiban seorang Muslim semata, namun lebih power full sebagai energi baru yang dapat terus berkembang hingga akhir zaman, bahkan mengantarkan berkah amal bagi pelakunya hingga masa kehidupan pascadunia.

Zakat juga bermakna tumbuh dan berkembang. Rasanya bukan sebuah kebetulan jika Islam mengarahkan bidang-bidang yang dizakati pada domain usaha yang bernilai keuntungan tinggi, karenanya hanya bagi mereka yang mencapai nisab sajalah yang mendapat kewajiban zakat. Dorongan untuk menjadi orang kaya yang saleh inilah yang mampu menjadi energi pemacu sebuah bangsa semakin maju pertumbuhan ekonominya.

Mari kita lihat Cina! Ekonominya berkembang sangat fantastis, bahkan overheated, di antaranya dipicu sebuah semangat yang diperkenalkan Deng Xiao Ping sejak awal masa pemerintahannya pada 1978. Waktu itu, Deng memperkenalkan semboyan 'Menjadi Kaya Itu Mulia' (zhi fu shi guangrong). Semangat ini ternyata disambut baik rakyat Cina di semua kalangan, semua berkejaran menjadi orang kaya.

Walaupun sejarah mencatat spirit ini berimbas negatif pada budaya korupsi tinggi di Cina, namun kita harus akui inilah salah satu semangat kebangkitan entrepreneurship dan ekonomi Cina yang kini menjadi raksasa dunia. Di sinilah nilai Islam menemukan ruangnya, di mana setiap orang didorong menjadi warga produktif secara ekonomi, berstandar kehidupan mapan dan sejahtera, namun menjadikan harta ada di genggaman tangannya, bukan di hatinya. Karenanya, ketika panggilan empati datang, tak berat rasanya melepaskan sebagian untuk berbagi.

Lebih Bersih
Keterbaruan kekuatan zakat terbaca dalam makna zakat sebagai penyuci harta dan jiwa. Zakat mampu menjadi energi pembaru bagi setiap pribadi atau institusi sehingga produktivitasnya berjalan semakin efektif karena selalu dibersihkan. Bukankah kebersihan berbanding lurus dengan kesehatan? Jika bersih harta, bersih jiwa, bersih fisik ini terbiasakan, insya Allah apa yang diharapkan setiap pribadi maupun perusahaan bisa terus berumur panjang dalam kebaikan, bukan mustahil direalisasikan.

Keunggulan lain yang kita kenal dari energi terbarukan adalah sifatnya yang lebih ramah lingkungan, lebih hijau. Inilah yang juga secara jelas terhasilkan jika zakat mampu dikelola dengan baik sehingga memberikan impact kesetiakawanan sosial dalam lingkaran sosial yang harmonis. Untuk inilah perlu pengorganisasian zakat lebih modern, profesional, dan amanah sesuai koridor syariah. Tentu, sangat diharapkan kehadiran pemerintah dan para regulator untuk menjaga energi kebaikan ini terus tereksplorasi dan berjalan saling melengkapi barisan energi positif di negeri ini.

Muhammad Trieha (Marketing & Development Group Rumah Zakat Indonesia)
Republika Online

Monday 1 February 2010

Peluang Dan Kendala Pengembangan Ekonomi Islam Di Indonesia

A. Pendahuluan
Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat Islam secara parsial dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata dan menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan dunia perbankan, pasar modal, asuransi, transaksi eksport import, dll. Bahkan mereka beranggapan bahwa Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai penghambat perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan ketentuan Ilahi.

Cara pandang di atas bisa dikatakan sempit dan belum melihat Islam secara “kaffah”. Islam adalah agama yang universal, bagi mereka yang dapat memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila didasari oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam penerapannya pada segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat.

Sistem Perekonomian Islam bersifat universal artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan norma-norma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan landasan hukum yang lengkap dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi antara lain:
- Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan lebih sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya : 107).
- Harta adalah amanat Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus sesuai dengan ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28).
- Larangan menjalankan usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281).
- Larangan merugikan orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183).
- Kesaksian dalam mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.

Anggapan tersebut telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan dibanggakan selama ini khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu untuk menanggulangi dan mengatasi kondisi yangada, bahkan terkesan sistem yang ada saat ini dengan tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya “perampok berdasi” yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia sendiri. Sebaliknya bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan Islam yang dalam operasionalnya bersendi pada Syari’ah Islam, krisis ekonomi dan moneter yang terjadi merupakan moment positif dimana bisa menunjukkan dan memberikan bukti secara nyata dan jelas kepada dunia perbankan khususnya bahwa Bank yang berlandaskan Syari’ah Islam tetap dapat hidup dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.

Dengan bukti di atas, sudah saatnya bagi para penguasa negara, alim ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk membuka mata dan merubah cara pandang yang ada bahwa Sistem Perbankan Syari’ah merupakan alternatif yang cocok untuk ditumbuh kembangkan dalam dunia perbankan Indonesia dewasa ini. Namun disayangkan perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia terkesan lambat dan kurang dikelola secara serius, terbukti dari data yang diperoleh dari BI Surabaya per Maret 2000 jumlah BPR Konvensional yang ada di Jawa Timur mencapai 427 sedangkan BPR Syari’ah baru mencapai 6 (1,4%), dimana 5 diantaranya tergolong sehat dan 1 kurang sehat.

Kurang berkembangnya Sistem Perekonomian Islam, khususnya Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam sendiri. Masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.

Dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pada perkembangan Perbankan Syari’ah sebagai sub unit financial yang merupakan bagian dari sub sistem ekonomi ditinjau dari mitos dan kenyataan yang terjadi dalam prakteknya, serta peranan Perguruan Tinggi sebagai sub sistem pendidikan dalam kaitannya dengan sub sistem ekonomi.

B. Kendala Perbankan Syariah
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan Bank Syari’ah, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip dari sistem keuntungan yang dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Permasalahan ini dapat berupa permasalahan yang bersifat operasional perbankan maupun aspek dari lingkungan makro. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan Bank Syari’ah antara lain :

1.Permodalan
Permasalahan pokok yang senantiasa dihadapi dalam pendirian suatu usaha adalah permodalan. Setiap ide ataupun rencana untuk mendirikan Bank Syari’ah sering tidak dapat terwujud sebagai akibat tidak adanya modal yang cukup untuk pendirian Bank Syari’ah tersebut, walaupun dari sisi niat ataupun “ghiroh” para pendiri relatif sangat kuat. Kesulitan dalam pemenuhan permodalan ini antara lain disebabkan karena :
a. Belum adanya keyakinan yang kuat pada pihak pemilik dana akan prospek dan masa depan keberhasilan Bank Syari’ah, sehingga ditakutkan dana yang ditempatkan akan hilang.
b. Masih kuatnya perhitungan bisnis keduniawian pada pemilik dana sehingga ada rasa keberatan jika harus menempatkan sebagian dananya pada Bank Syari’ah sebagai modal.
c. Ketentuan terbaru tentang Permodalan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia relatif cukup tinggi.

2. Peraturan Perbankan
Peraturan Perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional Bank Syari’ah mengingat adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional. Ketentuan-ketentuan perbankan yang ada kiranya masih perlu disesuaikan agar memenuhi ketentuan syari’ah agar Bank Syari’ah dapat beroperasi secara relatif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah hal-hal yang mengatur mengenai :
a. Instrument yang diperlukan untuk mengatasi masalah likwiditas.
b. Instrument moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah untuk keperluan pelaksanaan tugas Bank Sentral.
c. Standar akuntansi, audit dan pelaporan.
d. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dll.
Ketentuan-ketentuan di atas sangat diperlukan agar Bank Syari’ah dapat menjadi elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan mampu berkembang dan bersaing dengan Bank Konvensional.

3. Sumber Daya Manusia
Kendala dibidang SDM dalam pengembangan Perbankan Syari’ah disesabkan karena sistem perbankan syari'ah masih belum lama dikenal di Indonesia. Disamping itu lembaga akademik dan pelatihan ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang perbankan syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun bank sentral (pengawas dan peneliti bank).
Pengembangan SDM dibidang Perbankan Syari’ah sangat diperlukan karena keberhasilan pengembangan bank syari’ah pada level mikro sangat ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan serta ketrampilan pengelola bank. SDM dalam perbankan syari’ah memerlukan persyaratan pengetahuan yang luas dibidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syari’ah dalam praktek perbankan serta mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara konsisten.

4. Pemahaman Ummat
Pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai sistem dan prinsip Perbankan Syari’ah belum tepat, bahkan diantara ulama dan cendekiawan muslim sendiri masih belum ada kata sepakat yang mendukung keberadaan Bank Syari’ah, terbukti dari hasil pretest terhadap 37 Dosen Fakultas Syari’ah dalam acara Orientasi Perbankan yang telah dilakukan oleh Asbisindo Wilayah Jatim beberapa waktu yang lalu memberikan jawaban yang tidak konsekwen dan cenderung ragu-ragu. Dan masih adanya masyarakat yang mengaku paham akan Syari’ah Islam tetapi tidak mau menjalankannya seperti yang dialami oleh PT. BPR Syari’ah Baktimakmur Indah Sidoarjo dalam memberikan pembiayaan mudharabah dengan salah satu mitranya yang dikenal sebagai ulama yang mana sang ulama mau berbagi kerugian namun setelah untung tidak bersedia membagi keuntungannya dengan pihak Bank, yang tentunya bertentangan dengan akad yang telah disepakati di awal. Atau seorang ulama yang datang ke Bank dan menanyakan besarnya bunga atas simpanannya. Hal-hal seperti di atas merupakan kejadian nyata yang selalu dan kerap kali dialami dalam operasional bank Syari’ah sehari-harinya, bahkan mungkin lebih parah dari contoh-contoh di atas.

Dari kalangan ulama sendiri sampai saat ini belum ada ketegasan pendapat terhadap keberadaan Bank Syari’ah, kekurangtegasan tersebut antara lain disebabkan karena :
a. Kurang komprehensifnya informasi yang sampai kepada para ulama dan cendekiawan tentang bahaya dan dampak destruktif sistem bunga terutama pada saat krisis moneter dan ekonomi dilanda kelesuan.
b. Belum berkembangluasnya lembaga keuangan syari’ah sehingga ulama dalam posisi sulit untuk melarang transaksi keuangan konvensional yang selama ini berjalan dan berkembang luas.
c. Belum dipahaminya operasional Bank Syari’ah secara mendalam dan keseluruhan.
d. Adanya kemalasan intelektual yang cenderung pragmatis sehingga muncul anggapan bahwa sistem bunga yang berlaku saat ini sudah berjalan atau tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
Minimnya pemahaman masyarakat akan Sistem Perbankan Syari’ah antara lain disebabkan karena :
a. Sistem dan prinsip operasional Perbankan Syari’ah relatif baru dikenal dibanding dengan sistem bunga.
b. Pengembangan Perbankan Syari’ah baru dalam tahap awal jika dibandingkan dengan Bank Konvensional yang telah ratusan tahun bahkan sudah mendarah daging dalam masyarakat.
c. Keengganan bagi pengguna jasa perbankan konvensional untuk berpindah ke Bank Syari’ah disebabkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tetap dari bunga.

5. Sosialisasi
Sosialisasi yang telah dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang lengkap dan besar mengenai kegiatan usaha perbankan syari’ah kepada masyarakat luas belum dilakukan secara maksimal. Tanggungjawab kegiatan sosialisasi ini tidak hanya dipundak para bankir syari’ah sebagai pelaksana operasional bank sehari-hari, tetapi tanggungjawab semua pihak yang mengaku Islam secara baik secara perorangan, kelompok maupun instansi yang meliputi unsur alim ulama, penguasa negara/pemerintahan, cendekiawan, dll. Yang memiliki kemampuan dan akses yang besar dalam penyebarluasan informasi terhadap masyarakat luas. Sosialisasi yang dilakukan tidak hanya kepada masyarakat awam tetapi juga kepada ulama, pondok pesantren, ormas-ormas, instansi, institusi, pengusaha, dll. Yang selama ini belum tahu ataupun belum memahami secara detail apa dan bagaimana keberadaan dan operasional Bank Syari’ah walaupun dari sisi Fiqih dan Syari’ah mereka tahu benar.

6. Piranti Moneter
Piranti Moneter yang pada saat ini masih mengacu pada sistem bunga sehingga belum bisa memenuhi dan mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syari’ah, seperti kelebihan/kekurangan dana yang terjadi pada Bank Syari’ah ataupun pasar uang antar bank syari’ah dengan tetap memperhatikan prinsip syari’ah. Bank Indonesia selaku penentu kebijakan perbankan mencoba untuk menyiapkan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah seperti halnya SBI dan SBPU yang berlandaskan syari’ah Islam.

7. Jaringan Kantor
Pengembangan jaringan kantor Bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu kurangnya jumlah Bank Syari’ah yanga ada juga menghambat perkembangan kerjasama antar Bank Syari’ah. Jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efisiensi usaha serta meningkatkan kompetisi ke arah peningkatan kulaitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syari’ah.
Pengembangan jaringan Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
a. Peningkatan kualitas Bank Umum Syari’ah dan BPR Syari’ah yang telah beroperasi.
b. Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syari’ah.
c. Pembukaan kantor cabang syari’ah (full branch) bagi bank konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Pembukaan kantor cabang syari’ah dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain :
- Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kamtor, perlengkapan dan SDM yang baru.
- Mengubah kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syari’ah.
- Meningkatkan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syari’ah.

8. Pelayanan
Dunia perbankan senantiasa tidak terlepas pada masalah persaingan, baik dari sisi rate/margin yang diberikan maupun pelayanan. Dari hasil survei lapangan membuktikan bahwa kualitas pelayanan merupakan peringkat pertama kenapa masyarakat memilih bergabung dengan suatu bank.

Dewasa ini semua Bank Konvensional berlomba-lomba untuk senantiasa memperhatikan dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah, tidak telepas dalam hal ini Bank Syari’ah yang dalam operasionalnya juga memberikan jasa tentunya unsur pelayanan yang baik dan islami hahrus diperhatikan dan senantiasa ditingkatkan. Tentunya hal ini harus didukung oleh adanya SDM yang cukup handal dibidangnya. Kesan kotor, miskin dan tampil ala kadarnya yang selama ini melekat pada “Islam” harus dihilangkan.

C. Keterkaitan Institusi Pendidikan dalam Pengembangan Perbankan Syariah
Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu penghambat perkembangan Bank Syari’ah adalah keberadaan SDM. Guna menciptakan SDM yang handal dan profesional dibidang Perbankan Syari’ah tentunya tidak terlepas dari peranan Institusi Pendidikan yang dalam hal ini memang berperan sebagai pencetak SDM.

Mengingat prospek Bank Syariah dalam dunia perbankan sangat bagus bahkan mendapat tanggapan positif dari semua pihak, sebaliknya perkembangan Bank Syariah sendiri masih berada pada phase “growth” justru sangat kritis/riskan. Pilihan kita hanya satu yakni bagaimana mewujudkan keberhasilan atau sukses. Kiranya dalam pengembangan Bnak Syariah ini dipersyaratkan dukungan SDM yang berkualitas, berintegritas dan bermoral islami. Dan mengingat sampai saat ini masih belum ada lembaga/institusi pendidikan yang handal dan berkualitas dalam menciptakan SDM Perbankan Syariah, maka sudah saatnya bagi para cendekiawan muslim untuk turut serta memikirkan pengembangan Perbankan Syariah dengan cara menyiapkan SDM yang handal dan profesional di bidang perbankan syariah melalui institusi pendidikan yang dimilikinya.

Sebagai contoh apa yang telah dirintis oleh STIE Perbanas Surabaya dengan memberikan mata kuliah pilihan Syariah Banking pada mahasiswanya mulai tahun ajaran 1999/2000 yang dalam pelaksanaanya bekerjasama dengan PT. BPR Syariah Baktimakmur Indah sebagai tenaga pengajar. Dengan keberhasilan yang dicapai dalam taraf uji coba ini, direncanakan pada tahun ajaran berikutnya dapat ditingkatkan dengan membuka Program D-1 dan D-3 Perbankan Syariah.

D. Penutup
Pengembangan perbankan syariah pada dasarnya merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari Pengembangan Ekonomi Islam. Salah satu alternatif yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dalam rangka memperbaiki keterpurukan ekonomi yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah dengan cara mengembangbiakkan Perbankan Syariah yang beroperasional secara syariah Islam secara lebih luas. Tentunya pengembangan Perbankan Syariah ini tidak dapat berhasil dengan baik apabila tidak ada dukungan dari semua pihak baik pemerintah, ulama, cendekiawan, pengusaha, pengelola Bank bahkan masyarakat sendiri serta adanya satu kesatuan pola pikir tentang Bank Syariah dari semua pihak tersebut di atas, sehingga dalam perjalanan/operasional Bank Syariah tidak lagi ditemukan adanya perbedaan pendapat yang kontroversial. Karena kontroversi yang merebak hanya akan membingungkan umat, yang berakibat kepada keraguan mereka untuk menyambut kehadiran “bayi ekonomi Islam” yang untuk masa sekarang ini muncul sebagai pionir dalam bentuk/matra Perbankan Syariah.

Kekurang berhasilan Perbankan Syariah di Indonesia dikhawatirkan akan semakin menjauhkan umat dari kepercayaan atas kemungkinan diterapkannya konsep ekonomi Islam didalam kehidupan nyata.

Drs. Ec. H. Tjuk K Sukiadi - Komisaris Utama PT. BPR Syariah Baktimakmur Indah Sidoarjo
Tazkia Online